Rabu, 31 Juli 2013

  • I'tikaf, Keutamaan dan hukum hukumnya

    I’tikaf berasal dari kata i’tikafan-ya’takifu-i’tikafan. Menurut bahasa, i’tika adalah menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan. Sedangkan i’tikaf menurut istilah syara’ ialah menetapnya seorang muslim di dalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Orang yang beri’tikaf disebut mu’takif atau ‘aakif.

    Syariat i’tikaf disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 187, serta dalam banyak hadis seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, dan Baihaqi dari Aisyah, Ia berkata, “Adalah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam biasanya beritikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sampai beliau wafat kemudian istri-istri beliu melaksanakan ik’tikaf sepeninggalnya.”

    Hukum i’tikaf ada dua macam, yaitu i’tikaf wajib dan i’tikaf sunnah. I’tikaf wajib adalah i’tikaf yang wajib dilakukan oleh seseorang karena terealisasinya nazar yang diniatkan. Sedangkan i’tikaf sunnah ialah i’tikaf yang dilaksankan oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, mencari pahala dan meneladani Rasulullah SAW. Seperti i’tikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW setiap bulan Ramadhan sampai wafat.

    Syariat i’tikaf adalah muslim, baligh, suci dari janabat, haid dan nifas. Adapun rukun i’tikaf adalah adanya niat dari mu’takif serta bertempat di masjid.


    I’tikaf dapat dimulai setelah matahari terbenam pada sepuluh malam terakhir (malam 21 bulan Ramadhan) berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Barangsiapa yang hendak i’tikaf bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh malam terakhir.”

    Atau pagi hari (ba’da shubuh) tanggal 21 Ramadhan, berdasarkan hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Syaikhani, “Adalah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bila hendak i’tikaf, beliau shalat shubuh dulu, kemudia masuk ketempat i’tikaf, sehingga mereka berpendapat bahwa permulaan waktu i’tikaf adalah permulaan siang.”

    Adapun berakhirnya i’tikaf adalah setelah terbenamnya matahari, tanggal terakhir bulan Ramadhan.

    Hal-hal yang disunahkan bagi orang yang beri’tikaf antara lain; memperbanyak ibadah sunnat, menyibukan diri dengan shalat berjama’ah lima waktu, shalat-shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, dzikir, istigfar, berdo’a, membaca shalawat, dan ibadah-ibadah lain yang dapat menedekatkan diri dengan Allah Ta’ala.

    Dimakruhkan sewaktu i’tikaf melakkan hal-hal yang tidak perlu dan tidak bermanfaat, baik berupa perkataan maupun perbuatan seperti bercanda, mengobrol, dan sebagainya. Orang yang beri’tikaf diperbolehkan keluar dari masjid karena keperluan mendesak, seperti; mandi, buang hajat, makan dan minum jika tidak ada yang mengantarkan makanan, berobat jika sakit, dan boleh pula mengeluarkan kepala keluar masjid untuk di cuci atau disisir.

    Hal-hal yang membatalkan i’tikaf antara lain keluar dari masjid dengan sengaja tanpa ada keperluan sekalipun sebentar, murtad, hilang akal baik yang disebabkan gila maupun mabuk, haid, nifas, serta bersetubuh. Selama i’tikaf disunnahkan memperbanyak membaca “Allahumma innaka ‘afuuwwun tuhibbul ‘afwa fa’ fu’anni”, (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Suka Memaafkan, maka maafkanlah aku) (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi) (file/an/YM)

    Wallahu a’lam bisshowab.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism