Kamis, 04 Juli 2013

  • Shaum dan Kepribadian Manusia


    Tidak terasa, sesaat lagi Ramadhan mubarrak kita temui, insyallah. Sebagai seorang muslim moment ini tentu sangat di tunggu-tunggu, bulan dimana berkah, rahmat dan ampunan Allah turun padanya. Untuk itu penting rasanya bagi kita untuk memahami makna shaum ini sebagai upaya membangun kepribadian individu maupun sosial menjadi manusia bertaqwa.

    Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum (berpuasa) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 183)

    Penjelasan ayat tersebut pada kalimat “telah diwajibkan atas kamu berpuasa” tidak menggunakan kata furida atau wujiba, tetapi menggunakan kata kutiba dalam arti an naqsyu ‘ala al hajarah. mengukir di atas batu. Dengan kalimat tersebut dimaksud agar shaum benar-benar membekas dalam jiwa yang pengaruhnya mampu mengukir karakter atau kepribadian orang yang berpuasa.

    Shaum juga berarti al imsaaku artinya menahan diri atau pengendalian diri dari perkara yang tidak terpuji. Orang yang berpuasa adalah orang yang terlatih dalam hal pengendalian diri, matang dalam berpikir bijak dan hati-hati dalam bertindak, tidak ‘grasa-grusu’.

    Kama kutiba ‘alalladzina min qoblikum seperti yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, artinya puasa tidak bisa lepas dari manusia. Baik manusia dulu maupun manusia sekarang bahkan manusia akan datang. Jika ingin tetap eksis mempertahankan dirinya dan terangkat martabatnya sebagai manusia yang mulia di sisi Allah, maka harus menjalani prosesi kematangan diri yang disebut shaum atau puasa.

    La’allakum tattaqun agar kamu bertaqwa, artinya shaum atau puasa yang benar akan melahirkan manusia taqwa, suatu kedudukan derajat tertinggi bagi manusia di sisi Allah. Sebaliknya, shaum yang hanya dilakukan secara tradisi, sekedar menggugurkan kewajiban dengan menahan diri dari tidak makan dan tidak minum pada siang hari, tetapi tidak mengindahkan kaifiyatus shaum dengan benar maka shaumnya sia-sia. Dan itu yang tidak dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sayang sekali jika shaum yang kita lakukan setiap tahun menahan lapar dan dahaga di siang hari, ngantuk karena kurang tidur di malam hari, lelah dan capek satu bulan lamanya kalau hanya terjebak pada ritual tanpa makna. Ceremonial tanpa mendapatkan hikmah dan arti apa-apa.

    Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah dan Ath Tabrani dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi hasil yang diperoleh dari puasanya hanya lapar dan dahaga saja. Dan berapa banyak dari orang yang shalat malam tetapi hasil yang diperoleh hanya berjaga malam saja.”

    Adapun definisi shaum menurut para Ulama Syara’ tidak lain sebagai berikut : ”Shaum yaitu menahan diri dari makan, minum dan menggauli istri, dari waktu fajar hingga maghrib, karena menghadap akan Allah (ikhlas hanya karena Allah semata-mata) dan untuk mempersiapkan diri menjadi orang yang bertaqwa kepada Nya. Dengan jalan memperhatikan Allah dan mendidik kehendak.”(Tafsir Al Manar 11 : 157)

    Dengan definisi shaum tersebut diatas, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan antara lain:

    1. Shaum tidak hanya menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan Shaum. Tetapi lebih jauh dari itu shaum harus dilakukan karena Allah dan hanya dipersembahkan hanya kepada Allah dengan mengharap keridhoan-Nya semata-mata.
    2. Melatih jiwa raga dengan shaum agar menjadi orang yang bertaqwa dengan cara mendekatkan diri dan memperhatikan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta Allah Rabbul Jalali wal ikram, yang telah memelihara serta menjamin semua keperluan hidup kita.
    3. Mendidik kehendak yang selalu bergolak mengikuti irama selera yang tak ada habis-habisnya, memilih mana yang yang harus diikuti dan mana yang harus di tinggalkan. Sehingga keluar dari bulan Ramadhan pribadi-pribadi yang matang secara emosional dan spiritual.


    ADABIYAH SHAUM

    Untuk melakukan shaum yang berkualitas, perlu memperhatikan adabiyah shaum antara lain sebagai berikut :
    Pertama, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat merusak shaum, seperti mengumpat, menggunjing, mencela, memaki, dan sebagainya.

    Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan, ’zur’ (dusta, umpat, fitnah, dan perkataan yang menimbulkan murka Allah, permusuhan) dan tidak meninggalkan pekerjaan itu serta sikap jahil, maka tak ada hajat bagi Allah ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)

    Kedua, tidak rakus dengan memperbanyak berbagai macam makanan dan minuman dikala berbuka dan bersahur.

    Ketiga, tidak banyak tidur di siang hari, tetap tetap beraktivitas dan meningkatkan ibadah dan amal sholeh.

    Keempat, menahan hati dan pikiran dari angan-angan dan keinginan-keinginan yang rendah apalagi tidak terpuji.

    Kelima, mentafakuri dahsyatnya lapar dan dahaga serta sengsaranya hari kiamat yang pasti akan dialami oleh setiap manusia.

    Keenam, menumbuhkan kepekaan iman,ketajaman penglihatan mata hati, dan rasa harap-harap cemas apakah shaum kita diterima atau ditolak.

    ATSAARUS SHIYAM (Pengaruh Puasa)

    Jika puasa kita lakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulullah maka puasa akan berpengaruh dan memberi sibghah terhadap karakter dan mampu mewarnai sikap dan prilaku :

    Pertama : Dengan Imanan wahtisaban menciptakan iklim kondusif bagi hubungan seorang hamba kepada Allah dan hubungan sosial yang harmonis. Dan ini menjadi sumber segala keutamaan dan kemaslahatan. Keikhlasan dan kejujuran hanya muncul bila seseorang mampu menghubungkan jiwanya kepada Allah sehingga dimanapun dia selalu merasa dikontrol, diawasi Allah SWT.

    Karena itulah puasa sarat akan makna yang berdimensi nilai spiritual dan sosial yang sangat tinggi, mulia, dan suci. Al-Quran menyebut sebagai Hablum minallah wahablum minannas. Dengan dua hal tersebut manusia terangkat harkat dan martabat diri dan terjaga dari kehinaan dimata Allah SWT.(QS.Ali Imran ;112)

    Kedua : Puasa dengan karakternya akan menyentuh relung hait nurani, menggugah rasa cinta kasih terhadap sesama dan membangkitkan ketulusan jiwa yang melahirkan sikap itsariyah atau altruisme yaitu sikap tenggang rasa, kepekaan Sosial dalam kebersamaan serta rela berkorban untuk perduli dan kebahagiaan orang lain dengan simpati dan empati. Dan hebatnya lagi dilakukan atas dasar mahabbah lillahi ta’ala tanpa pamrih. Maka bisa kita saksikan betapa rahimnya para shaimin dan shaimah di bulan Ramadhan. Bertebaran shadaqah di mana-mana, Ibu-ibu dengan wajah sumringah menyediakan ta’jil makanan untuk buka bersama. Anak-anak yatim piatu, fakir miskin bisa sejenak melepas derita dan terhibur.

    Ketiga : Puasa menurut penelitian para psikolog dan kenyataan membuktikan mampu mengembangkan superego (nafsul muthmainnah). Kematangan emosional dan pengendalian diri dalam segala keadaan baik senang maupun susah, lapang maupun sempit tetap stabil. Tidak meledak-ledak seperti petasan atau merajuk-rajuk gelap mata dalam keputus asaan dari rahmat Allah. Dan kematangan superego atau nafsul muthmainnah ini menjadi produk puasa yang mampu mengikis emosional yang destruktif, egoisme, dan arogan.

    Keempat : Puasa yang benar dengan segala adabiyahnya akan memberikan terapi terhadap berbagai macam penyakit Sosial. Seperti akibat buruk dari falsafah sekuler, liberalisme, hedonisme, eksistensialisme dari barat yang di ekspor ke berbagai Negara muslim termasuk Indonesia sehingga umat Islam meninggalkan syareat agamanya dan cendrung menjadi penganut mereka yang permissire soecity, masyarakat bebas nilai, jor-joran semau ‘gue.’

    Akibatnya korupsi, manipulasi, prostitusi, aborsi, mutilasi, dan ekstasi merajalela di negeri yang notabene berpenduduk muslim ini. Ini semua adalah produk dari manusia yang jiwanya sakit, nuraninya mati, karena kufur kepada Allah. Banyak orang pintar keblinger, banyak orang kaya harta miskin jiwa, banyak orang berpangkat tinggi tetapi martabatnya rendah. Banyak orang pandai bersolek mempercantik diri menjadi tampan dan cantik tapi hatinya busuk dan keji. Naudzubillahi mindzalik.

    Upaya memperbaiki keadaan seperti itu, harus diperbaiki manusianya. Manusia hanya bisa diperbaiki dengan konsep dan cara-cara yang datang dari yang menciptakan manusia yaitu Allah SWT. Allah telah menegaskan bahwa manusia yang hidup itu punya jiwa, nafsu dan syahwat. Sedang nafsu dan syahwat itu hanya bisa dikendalikan oleh shaum atau puasa bukan dengan yang lain.

    KESIMPULAN

    Shaum atau puasa adalah ibadah khusus yang berdimensi spiritual dengan ibdatur sirri mampu menciptakan iklim kondusif bagi tumbuhnya iman dan ihsan yang menjadi inti dan sumber segala kebajikan dan keutamaan manusia. Dengan shaum diharapkan mampu menciptakan individu bertaqwa yang memiliki kepribadian luhur. Sehingga shaum melahirkan ketaatan terhadap segala perintah Allah (QS.An-Nur ;51). Tulus dan ikhlas mengabdi tanpa pamrih (QS.Al Bayyinah ;5). Menempatkan sekala prioritas Allah, Rasul dan jihad diatas segalanya (QS.At Taubah ;24). Hidup terpimpin, taat, tertib dan disiplin dalam satu kepemimpinan yang mengikuti pola kenabian (QS.Al-Maidah 55-56 /An-Nisa ;59)

    Wallahu a’lam bishshawaab

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism