Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Sabtu, 29 Juni 2013

  • Memurnikan Tauhid


    Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ (١) ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ (٢) لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ (٣) وَلَمۡ يَكُن لَّهُ ۥ ڪُفُوًا أَحَدٌ (٤)/ الإخلاص [١١٢]: ١-٤.

    (Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (1) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (2)Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, (3) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (4) – Q.S. Al-Ikhlash [112]: 1-4)

    Asbabun Nuzul
    Ada beberapa versi tentang sebab-sebab turunnya surat ini. Tirmidzi, Hakim dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab bahwa kaum musyrikin meminta penjelasan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berkata, “Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu.” Maka turunlah surat ini.Berdasar riwayat ini, sebagian ulama menyatakan bahwa surat ini Makiyah.

    Sementara itu Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa tokoh-tokoh Yahudi di antaranya Kaab bin Al-Asyraf dan Huyai bin Akhtab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan berkata, “Hai Muhammad, jelaskan kepada kami sifat Tuhanmu yang mengutusmu.” Maka turunlah surat ini. Berdasar riwayat ini, sebagian ulama menyatakan bahwa surat ini Madaniyah. Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa surat ini turun dua kali, sekali di Makkah dan sekali di Madinah.

    Surat ini dinamai Al-Ikhlash yang berarti suci atau murni karena kandungan ayat-ayatnya mensucikan dan memurnikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala sifat yang tidak layak bagi Allah.
    قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ / الإخلاص [١١٢]: ١.

    (Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, – Q.S. Al-Ikhlash [112]: 1)
    Ayat pertama menyatakan, “Katakanlah wahai Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Dia, Tuhan yang wajib ada-Nya dan yang berhak disembah adalah Allah, Tuhan yang Satu (Esa).”

    Kata “Allah” adalah isim ‘alam (nama diri), khusus ditujukan kepada yang wajib disembah secara benar. Nama ini tidak boleh digunakan untuk selain Allah. Orang-orang Arab Jahiliyah jika ditanya mengenai siapakah yang menciptakan langit dan bumi, mereka memberikan jawaban Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
    وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ/ لقمان [٣١]: ٢٥.

    (Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. – Q.S. Luqman [31]: 25).

    Begitu juga, jika mereka ditanya siapa yang menciptakan diri mereka, mereka menjawab Allah, Sebagaimana firman-Nya:
    وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ/ الزخرف [٤٣]: ٨٧.

    (Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? – Q.S. Az-Zukhruf [43]: 87)

    Kata “ahad” menurut sebagian ulama berbeda dengan “wahid”. Kata “ahad” tidak dapat menerima penambahan dan tidak termasuk dalam rentetan bilangan. Sedang kata “wahid” dapat menjadi dua, tiga dan seterusnya. Jadi walau arti ahad dan wahid dalam bahasa Indonesia adalah satu, tapi satunya kata ahad dengan kata wahid berbeda. Satu pada kata ahad tidak terdiri dari beberapa unsur sedang satu pada kata wahid dapat terdiri dari beberapa unsur.

    Namun menurut al-Baghawi tidak ada perbedaan antara kata ahad dan wahid karena Ibnu Mas’ud membaca ayat di atas dengan قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ الواحِد
    ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ / الإخلاص [١١٢]:٢.

    (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. – Q.S. Al-Ikhlash [112]: 2)
    Ayat yang kedua menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tempat bergantung semua makhluk (ٱلصَّمَدُ).

    Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada ayat ini berbentuk ma’rifat (definite) yakni dihiasi dengan alif dan lam berbeda dengan ahad yang berbentuk nakirah (indefinite). Menurut Ibnu Taimiyah kata ahad dalam kedudukannya sebagai sifat tidak digunakan kecuali terhadap Allah berbeda dengan ash-shamad yang digunakan terhadap Allah ataupun yang lain. Hanya saja sebagai tempat bergantung, antara Allah dengan makhluk-Nya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. 1) Allah menjadi tempat bergantungnya makhluk tanpa batas (unlimited), 2) Allah tidak memerlukan apa dan siapapun sebagai sandaran.
    لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ / الإخلاص [١١٢]:٣.

    (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, – Q.S. Al-Ikhlash [112]: 3)
    Ayat yang ketiga adalah untuk membantah kepercayaan orang bahwa Tuhan beranak dan diperanakkan.
    وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا(٨٨)  لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩) تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا (٩١) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)/ مريم [١٩]: ٨٨-٩٢.

    (Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak" (88) Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, (89) Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, (90) Karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. (91) Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. (92) – Q.S. Maryam [19]: 88-92)

    Orang musyrik Arab mengatakan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah, orang Yahudi mengatakan Uzair putra Allah dan orang Nasrani mengatakan Isa putra Allah.

    Kata “yalid” dan “yulad” terambil dari kata “walada” yang digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan hubungan keturunan sehingga kata “walid” (والِد) berarti ayah kandung berbeda dengan “ab” (أب) yang bisa berarti ayah kandung atau ayah angkat.

    Kepercayaan tentang Tuhan beranak dan diperanakkan adalah doktrin buatan manusia bukan berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

    Dalam agama Kristen kepercayaan ini diciptakan Paulus (10-67 M) yang berasal dari “kebingungan” Tuhan menghadapi kesalahan Nabi Adam Alaihi Salam. Dalam kitab Injil bab Kejadian fasal 6:6 disebutkan bahwa ketika Nabi Adam Alaihi Salam memakan buah terlarang di Surga, Tuhan “bingung” di antara sifat adil-Nya dengan menghukum Adam Alaihi Salam dan sifat kasih sayang-Nya dengan memaafkan Adam Alaihi Salam.

    Bahkan Tuhan menyesal sebab telah menjadikan manusia di bumi. Akhirnya setelah berlalu beribu-ribu tahun didapatkan keputusan bahwa Dia sendiri akan menebus dosa Adam Alaihi Salam dan dosa semua manusia yang mereka warisi dari dosa Adam Alaihi Salam dengan datang ke dunia tetapi dalam penjelmaan sebagai anak-Nya yang bernama Isa melalui jalan masuk rahim seorang perempuan suci keturunan Adam Alaihi Salam yang bernama Maryam. Dia berkorban dengan mati di tiang salib. Ini dijelaskan dalam Injil Yahya (Yohanes) yang berbunyi, “Ialah menjadi korban perdamaian karena segala dosa kita, bukannya dosa-dosa kita saja, melainkan karena dosa seisi dunia ini juga (Yohannes I, 2:2)

    Ayat keempat menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang setara dengan Allah dan tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ayat ini merupakan penegasan dari ayat-ayat sebelumnya bahwa apabila Allah memiliki sifat-sifat yang disebut sebelumnya berarti tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah.

    Surat Al-Ikhlash ini menurut beberapa hadis memiliki beberapa keistimewaan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
    قل هو الله أحد تعدل ثلاث القرآن/ احمد.

    (Qul huwallah ahad itu sama nilainya dengan sepertiga Al-Qur’an – H.R. Ahmad)
    Hal ini menurut Al-Ghazali karena urgensi Al-Qur’an adalah untuk ma’rifat kepada Allah, hari akhirat dan shiratal mustakim. Sedang surat Al-Ikhlash mengandung salah satu dari tiga ma’rifat tersebut.

    Pada hadis yang lain disebutkan:
    ثلاث من جاء بهن مع الإيمان دخل من اي أبواب الجنة شاء وزوج من الحور العين حيث شاء: من عفا قاتله وأدى دينا خفيا وقرأ في دبر كل صلاة مكتوبة عشر مرات (قل هو الله أحد) قال فقال أبو بكر أو إحدا هن يا رسول الله؟ قال أو إحدا هن/ أبو يعلى.

    (Tiga hal barang siapa melakukannya dengan iman, ia akan masuk surga lewat pintu mana saja dia berkehendak dan dinikahkan dengan bidadari yang dia kehendaki yaitu: memaafkan pembunuhnya, membayar hutang yang diragukan dan membaca (qul huwa Allah ahad) sepuluh kali setiap selesai shalat wajib. Perawi berkata, “Abu Bakar berkata, apa dengan salah satunya ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya dengan salah satunya”. – H.R. Abu Ya’la).

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

    KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, M.A.*
    *Pimpinan Ma’had Al-Fatah Indonesia

  • Rabu, 12 Juni 2013

  • Kewajiban Mengamalkan Khilafah


    Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Surah Al-Baqarah ayat 30 menyebutkan : artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Surah Al-Baqarah ayat 30).

    Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurthubi disebutkan, ayat ini merupakan dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan, dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya khilafah.

    Dalam ayat lain, Allah Menegaskan dalam FirmanNya: Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Yang demikian itu adalah yang lebih baik dan sebaik baiknya penyelesaian.” (Q.S. An-Nisa : 59).

    Pada ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada orang yang beriman untuk mentha’ati ulil amri. Ulil amri adalah pemimpin atau khalifah yang mengurusi umat Islam. Tentu saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memerintahkan umat Islam untuk mentha’ati seseorang yang tidak wujud. Sehingga jelaslah bahwa mengamalkan kepemimpinan Islam atau khilafah adalah wajib.

    Tentang kewajiban adanya pemimpin juga didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, antara lain yang artinya : “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi amir atau pemimpin.” (Hadits Riwayat Ahmad).

    Asy-Syaukani berkata : “Hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan adanya pemimpin, umat Islam akan terhindar dari perselisihan, sehingga akan terwujud kasih sayang di antara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak mengikuti pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Disamping itu, kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : Artinya : “Adalah Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap nabi meninggal diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku, dan akan ada beberapa khalifah yang banyak. Para shahabat berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda, “Tetapilah bai’at yang pertama kemudian yang pertama. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah menanyakan kepada mereka tentang apa yang diserahkan oleh Allah kepada mereka.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

    Itulah sentral kepemimpinan umat Islam, sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat lainnya :

    Artinya : “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya, dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (Q.S. An Nisa : 83).

    SINYAL KHILAFAH
    Kini gaung kebangkitan khilafah semakin keras terdengar, khusunya di Indonesia belum lama ini telah diadakan event besar untuk menyadarkan dan menyuarakan tentang kewajiban muslimin menegakkan khilafah. walau sesungguhnya sinyal kebangkitan khilafah sebagai usaha penyatuan umat Islam telah lama diupayakan.

    Berawal muncul dengan adanya gerakan All Khilafat Conference di India (tahun 1919). Gerakan ini secara tetap mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan dan mengusahakan tegaknya kembali kekhilafahan. Dilanjutkan pertemuan serupa di Karachi, Pakistan (1921).

    Tahun 1926 di Kairo diselenggarakan Kongres Khilafah yang diprakarsai para ulama Al-Azhar. Kemudian Kongres Islam Sedunia di Mekkah (1926), Konferensi Islam Al-Aqsha di Yerussalem (1931), Konferensi Islam International kedua di Karachi (1949), Konferensi Islam International ketiga di Karachi (1951), Pertemuan Puncak Islam di Mekkah (1954), Konferensi Muslim Dunia di Mogadishu (1964), Konferensi Muslim Dunia di Rabat Maroko yang melahirkan OKI (1969), dan Konferensi Tingkat Tinggi Islam di Lahore Pakistan (1974).

    Di Indonesia usaha penyatuan muslimin dalam khilafah juga dilakukan oleh beberapa tokoh Islam seperti HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansur, KH Munawar Cholil, Dr. Abdul Karim Amrullah, dan Syaikh Wali Al-Fattaah. Dimulai dengan penyelenggaraan Komite Khilafah berpusat di Surabaya (1926). Dilanjutkan dengan Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta (1949), dan Kongres Alim Ulama Mubalighin Seluruh Indonesia di Medan (1953).

    Hingga diamalkannya kembali sistem khilafah ala minhajin nubuwwah dengan imaamnya Syaikh Wali Al-Fattaah tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. / 20 Agustus 1953 M. (Suara Merdeka Rabu, 12 Agustus 1953, Mimbar Indonesia, Jumat 21 Agustus 1953).

    Sinyal kebangkitan khilafah adalah secercah harapan kejayaan Islam dan muslimin dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat Islam yang membawa misi rahmatan lil ’alaimin.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Kamis, 06 Juni 2013

  • Islam dan Kepemimpinan Dunia


    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 26)

    Asbabun Nuzul

    Imam Al Baghawi dan Al Wahidy meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhasil membebaskan kota Makkah, beliau menjanjikan kepada umat Islam bahwa Kerajaan Persi dan Kerajaan Romawi juga akan dibebaskan. Kemudian orang munafiq dan orang yahudi berkata, “Tidak mungkin, tidak mungkin. Dari mana Muhammad dapat membebaskan Kerajaan Persi dan Romawi karena kerajaan ini sangat kuat dan kokoh. Apakah Makkah dan Madinah tidak cukup bagi Muhammad sehingga ingin menguasai Kerajaan Persi dan Romawi?” Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat tersebut.

    Penjelasan

    Ayat ini merupakan sebagian ayat yang menjelaskan tentang kekuasaan dan kepemimpinan atas yang lain yang sering disebut dengan istilah hegemoni. Pada ayat ini disebutkan bahwa Allah lah penguasa yang sebenarnya. Sebagaimana disebutkan pada ayat ini: “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Mulk [67]: 1)

    Kekuasaan manusia betapapun besarnya hanyalah pinjaman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan naiknya seseorang menjadi penguasa hanyalah setelah adanya pengakuan dari orang lain. Sedang Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai Maha Kuasa tidaklah berkuasa karena diangkat dan seandainya semua makhluk di muka bumi tidak mau mengakui kekuasaan Allah, Allah tetap Maha Kuasa.

    Maka pada ayat di atas, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengajarkan kepada manusia dengan ungkapan penuh ta’dzim tentang kekuasaan. Dilihat dari segi kata-kata, ayat di atas bernuansakan doa; dari segi makna merupakan pengharapan; dari segi isi merupakan sentuhan halus pada perasaan manusia agar tidak berambisi kepada kekuasaan; dari segi ‘kauniyah’ menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah dalam mengatur alam raya ini dan manusia hanya bagian kecil dari bagian alam raya yang Mahaluas ini.

    Menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi ayat di atas merupakan penghibur untuk Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menghadapi orang yag menentang Islam sekaligus sebagai peringatan untuk beliau akan kekuasaan Allah yang mampu menolong agama-Nya dan meluhurkan kalimat-Nya.

    Muhammad Ramadlan Al Buthy menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berjuang bukanlah untuk mecapai suatu hegemoni (kekuasaan) atau mencapai jabatan tertinggi kepada sebagai penguasa atau raja.

    Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa ‘Utbah bin Rabiah, salah satu cendikiawan kafir Quraisy datang menghadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar beliau menghentikan dakwahnya sambil berkata, “Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang anda lakukan itu anda ingin mendapatkan harta, maka akan kami kumpulkan harta yang ada pada kami untuk anda sehingga anda menjadi orang yang terkaya di kalangan kami. Jika anda menginginkan kehormatan dan kemuliaan, anda akan kami angkat sebagai pemimpin dan kami tidak memutuskan persoalan apapun tanpa persetujuan anda. Jika anda ingin menjadi raja, kami bersedia menobatkan anda sebagai raja kami. Jika anda tidak sanggup menangkal jin yang merasuk ke dalam diri anda, kami bersedia mencari tabib untuk menyembuhkan anda tanpa menghitung biaya yang diperlukan sampai anda sembuh.”

    Ketika tawaran Utbah ini ditolak oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para pembesar Quraisy beramai-ramai mendatangi beliau dengan menawarkan apa yang ditawarkan oleh Utbah. Kepada mereka beliau menyampaikan, “Aku tidak memerlukan semua yang kamu tawarkan. Aku berdakwah tidak karena menginginkan harta kekayaan, kehormatan atau kekuasaan. Tetapi Allah mengutusku sebagai Rasul. Dia menurunkan Kitab kepadaku dan memerintahkan aku menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan.”

    Dari sini tampak jelas bahwa tujuan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukan untuk mencari kekuasaan dan beliau tidak mau menggunakan kekuasaan untuk menegakkan risalahnya, seperti yang dilakukan para penganjur ideologi sekuler yang memanfaatkan kekuasaan untuk memaksakan ideologi kepada orang lain.

    Jika cara seperti ini dibenarkan dan dianggap sebagai “kebijaksanaan” yang syar’i, niscaya tidak ada bedanya dakwah Islam dan penganjur kebaikan karena dakwah Islam berdasar kerelaan, sebagaimana firman Allah:

    “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat... (Q.S. Al Baqarah : 256)

    Sedang penganjur kebatilan berdasar kesewenang-wenangan, dan penindasan. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Fir´aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir´aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qashash [28]: 4)

    Pejalanan Hegemoni Islam

    Hegemoni Islam mulai mendunia di masa Islam di bawah kekuasaan Bani Umayyah. Sekalipun di awal kekuasaannya menimbulkan kontroversi yang dahsyat di kalangan umat Islam, tetapi kekuasaan Bani Umayyah telah menyumbangkan kepada umat Islam kekuasaan imperium yang luar biasa. Tidaklah salah bila dikatakan bahwa pada masa ini, hegemoni dan pengaruh Islam di luar jazirah Arab telah mencapai prestasi yang mencenggangkan.

    Secara syar’i, Bani Umayyah dengan pemimpin yang pertama Muawiyah bin Abi Shafyan telah mengubah sistem khilafah menjadi monarki. Abul A’la al-Maududi menyebut pemerintahan Bani Umayyah sebagai kerajaan. Ketika menulis khalifah di depan nama Muawiyah, ia menulisnya dengan menggunakan tanda kutip, “Khalifah.” Menurut Maududi, kekuasaan Bani Umayyah tidak berdasarkan persetujuan kaum muslimin, dan tidak pula dipilih oleh umat Islam secara bebas melainkan berdasarkan kekuatan pedang.

    Hegemoni umat Islam atas manusia berakhir dengan ruhtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang ditengarai dengan munculny Kemal Al-Tatruk yang mengganti sistem Islam dengan sistem kapitalisme. Sejak itu kebesaran Turki Utsmani benar-benar tenggelam bahkan tidak lama kemudian pada tahun 1924 Kekhilafahan dihapuskan. Semua daerah kekuasaannya yang luas baik Asia, Afrika maupun Eropa dijajah oleh negara-negara Barat.

    Ketika hegemoni Islam mendunia, keamanan dunia relatif dapat tercipta, para pengikut berbagai macam agama hidup dengan tenang dan terhormat karena mereka diberlakukan dengan sangat baik.

    Kemajuan ekonomi pada masa kejayaan Islam dititik beratkan pada perdagangan dan industri. Bidang perdagangan, yang terutama adalah pakaian dan tekstil yang dikonsumsi oleh orang-orang Cina dan Eropa. Sedangkan di bidang industri, adalah penenunan yang mencakup produksi kain, bahan pakaian, dan karpet.

    Di dunia Islam tidak mengenal sistem perbankan, mereka tidak menggunakan uang kertas (fiat money), tetapi mereka menggunakan dirhan (perak) mengikuti orang-orang Persi, dan dinar emas, mengikuti orang-orang Bizantium. Karena nilai logam ini relatif tidak berfluktuasi maka terbentuknya sistem keuangan yang sangat efisien, sehingga sebuah cek yang dikeluarkan di Baghdad dapat diuangkan di Maroko.

    Penjajahan Barat terhadap dunia Islam diawali dengan Perang Salib yang berlatar belakang sebagai berikut:

    (1). Mercenary, yaitu untuk mencari keuntungan di negeri-negeri Islam. (2). Missionary, yaitu menyebarkan agama Kristen ke negeri-negeri Islam. (3.) Military, yaitu perluasan daerah militer.

    Selain hal di atas, yang melatarbelakangi penjajahan Barat adalah faktor ekonomi dan kekuasaan.

    Bentuk-bentuk penjajahan Barat terhadap dunia Islam berupa penyerangan, penaklukan, sehingga wilayah-wilayah Islam yang jatuh ke negara-negara Barat, rakyatnya ditindas dan diperbudak.

    Hegemoni Barat terhadap dunia Islam ternyata membawa implikasi yang sangat luas bagi perkembangan peradaban Islam, baik peradaban material yang berupa teknologi baru maupun peradaban mental.

    Hegemoni Barat telah memicu gerakan pembaharuan Islam yang bertujuan untuk memurnikan agama Islam dari pengaruh asing dan menggali sumber-sumber Islam dan menyadarkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah.

    Umat Islam menyadari bahwa hegemoni Barat terhadap dunia Islam dikarenakan kaum muslimin tidak dalam kondisi bersatu. Perpecahan terjadi di seluruh wilayah dan para pemimpin Islam saling bermusuhan serta tidak memiliki seorang pemimpin. Oleh karena itu muncullah kesadaran umat Islam untuk kembali menghidupkan sistem kesatuan kepemimpinan yang disebut dengan sistem khilafah.

    Di Indonesia, kesadaran ini dipelopori oleh Imam Wali Al-Fataah ketika beliau bersedia untuk dibaiat sebagai Imaamul Muslimin dalam sebuah gerakan yang awalnya disebut gerakan Hizbullah. Selanjutnya gerakan ini menemukan bentuknya sesuai dengan dalil-dalil yang qath’i yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah dalam bentuk Jama’ah Muslimin (Hizbullah).

    Bersamaan berkembangnya Jama’ah Muslimin (Hizbullah), hegemoni Barat terhadap dunia Islam mulai melemah. Hal ini adalah sebagai isyarat firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.”(Q.S. As-Shaff [61]: 9)

    Melemahnya hegemoni Barat terhadap Islam tampak dimulai dari kerusakan-kerusakan dalam kehidupan mereka: (1). Kerusakan sistem politik, yang faktanya kedaulatan bdagi para pemilik modal. Kedua, (2). Kerusakan sistem ekonomi, membawa Yunani, Brazil, Amerika Serikat, dsb bangkrut. (3). Kerusakan sistem sosial, kebejatan mora dan sek bebas, sehingga poligami dianggap kriminal.

    Kerusakan-kerusakan di atas, membuka peluang untuk menyebarkan dakwah Islam yang menjadi jalan keselamatan bagi umat manusia.

    Islam mengajarkan bahwa kekuasaan bukan merupakan suatu tujuan tetapi anugerah Allah Ta’ala sehingga perebutan kekuasaan yang merupakan salah satu sumber kerusakan dapat dihindari. (MINA)

    Wallahu A’lam bis Shawab.
    Oleh: KH. Yakhsyallah Mansur, MA.

  • Rabu, 05 Juni 2013

  • Lima Peristiwa Penting di Bulan Rajab


    Bulan Rajab, bulan ke tujuh dari kalender Hijrah, termasuk bulan yang haram seperti Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram. Rajab dalam tafsir Ibn Katsir diartikan dengan kemulyaan, keagungan atau kebesaran. Orang–orang jahiliyah menamakan bulan ini dengan bulan keagungan karena itu dilarang dan haram berperang. Setelah diutusnya Nabi Shallallahu ’Alaihi Wa sallam, beliau mengekalkan bulan ini dengan sebutan bulan haram, seperti yang difirmankan Allah: Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan (telah ditetapkan) dalam Kitab Allah sewaktu dia menciptakan landi dan bumi, dan di antaranya, ada empat bulan yang dihormati..”. (QS. Al-Taubah:36)

    Adalah penting buat kita semua untuk mengingatkan sejarah yang terjadi pada bulan Rajab ini, di antaranya :

    1. Hijrah Ke Habasyah.

    Ketika umat Islam berada pada periode Mekah, maka banyak sekali tekanan, hinaan, ejekan, bahkan kepada siksaan badan yang hampir-hampir tidak terkendali.

    Khabbab bin ‘Art, Ammar bin Yasir dan istrinya, serta Bilal bin Rabah, telah mendapat siksaan badan oleh orang kafir Quraisy. Keadaan yang hampir tidak terkendali, demi menyelamatkan iman dan demi untuk mengembangkan da’wah, maka Nabi mengarahkan untuk berhijrah, seraya bersabda yang artinya : ‘’Sesungguhnya di Negeri Habasyah terdapat seorang raja yang tak seorang pun yang dizalimi di sisinya, pergilah ke negerinya, hingga Allah membukakan jalan keluar bagi kalian dan penyelesaian atas peristiwa yang menimpa kalian. (Fathul Bari 7;189)

    Nabi juga pada waktu yang sama mengirim surat untuk disampaikan kepada sang raja (Najasyi).

    Habasyah, merupakan satu tempat yang berada di wilayah Ethophia yang berbangsa sudan, dimana kulitnya ke hitam-hitaman, yang berada jauh dari kota Mekah. Perjalanan yang tidak bisa digambarkan seperti sekarang mereka telah merintasi padang pasir menuju pelabuhan Jeddah untuk menaiki kapal kecil dan membayar dengan mata uang setengah dinar. Para sahabat yang jumlahnya dalam sebagian riwayat 15 orang, sebelas muslimin dan empat muslimat. Di antara mereka adalah Ustman bin Affan dan Rukoyah binti Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa sallam.

    Mereka telah diterima oleh Raja Najasyi dengan hati terbuka untuk melindungi keberadaannya selama di Habasyah.

    Peristiwa itu terjadi pada bulan Rajab tahun ke lima daripada diutusnya kerasulan, merupakan catatan sejarah umat Islam dalam memperjuangakan agama Allah, ada kalanya ketika mendapat tantangan dahsyat yang hampir tidak terkendali, adalah dianjurkan untuk berhijrah.

    Banyak sejarah umat sebelumnya berbuat demikian. Ashabul Kahfi umpamanya, telah diceritakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat al-Kahfi, merupakan golongan pemuda yang menghadapi pemerintah dzalim dan suasana membahayakan terhadap keimana mereka. Maka, mereka telah berhijrah ke satu gua sehingga tertidur di dalamnya hingga sekitar tiga ratus tahun lamanya.

    2. Peristiwa Isra dan Mi’raj

    Pada bulan Rajab juga telah terjadi peristiwa penting bagi sirah atau perjalanan Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa sallam. Di mana tatkala Rasulullah dilanda duka dengan kematian istri tercinta Khadijah binti Khuwailid yang seluruh harta dan jiwanya dicurahkan sepenuhnya untuk mendukung kegiatan dakwah Rasul dan sang paman Abu Thalib yang selama hidupnya telah menjaga dan memelihara baginda Nabi.

    Walaupun terdapat perselisihan pendapat tentang terjadinya peristiwa Isra dan Mi’raj, tapi para ahli sejarah mencatat bahwa bulan Rajab adalah tanggal yang mendekati kepada kebenaran akan terjadinya peristiwa yang amat menghibur Rasulullah itu.

    Terkait dengan peristiwa tersebut Allah berfirman: Artinya: “Maha suci Allah yang telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam (di Mekah) ke Masjidil Aqsa (di Palestina), yang Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami. Sesungguhnya Allah jualah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Isra:1).

    Dengan demikian Isra adalah perjalanan Rasulullah di tengah malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa. Sedangkan Mi’raj adalah diangkatnya Rasulullah dari Masjid al-Aqsa ke langit hingga ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Ada yang berpendapat hanya ruhnya saja, sedangkan yang lain berpendapat ruh dan jasadnya.

    3. Perang Tabuk

    Perang tabuk terjadi pada 19 Rajab 9 H. Tabuk diambil dari satu tempat di Utara Semenanjung Arab dimana Rasulullah mengirim 30 ribu pasukan ke tempat tersebut untuk menghadapi pasukan Romawi. Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang terjadi di masa Rasulullah.

    Persiapan pasukan Islam sangat luar biasa dimana segala kekuatan dikerahkan, baik itu kekayaan, tenaga dan pemikirannya. Rasulullah dan para Sahabatnya mempersiapkan segala kekuatan yang ada. Harta kekayaan dihimpun dari bebagai lapisan masyarakat, sehingga di antara mereka ada yang memberikan harta seluruhnya, seperti Abu bakar; ada yang separuhnya, seperti Ustman bin Affan; ada sebagian kecilnya, tergantung kemampuannya.

    Setelah mendengar seruan Rasulullah, maka dari setiap kabilah dan rombongan mempersiapkan diri masing-masing. Tidak mau ketinggalan atas seruan tersebut, bahkan orang yang fakir miskin pun tidak mau ketinggalan. Ada di antara mereka yang datang menghadap Rasulullah, namun menyadari akan keadaan mereka, maka Rasulullah bersaudara yang artinya : “Aku tidak ada sesuatu yang boleh membawa kamu semua”.

    Maka, mereka kembali dari situ dengan muka berlinangan air mata, berdukacita karena tidak dapat turut serta dan ketiadaan sesuatu untuk membiayai peperangan.

    Hal itu karena mereka tidak mampu dari segi keuangan, kendaraan (kuda atau unta) amat terbatas, sedang peserta begitu banyak jumlahnya. Karena itu Allah berfirman:

    Artinya : “Tidak ada padaku kendaraan yang hendak ku berikan untuk membawa kamu, mereka kembali sedang mata mereka mengalirkan airmata yang bercucuran, karena sedih mereka tidak mempunyai sesuatu pun yang hendak mereka belanjakan untuk pergi berjihad pada jalan Allah “. (QS. Al-Taubah:92).

    Melihat persiapan yang begitu rapi oleh pihak Muslimin, maka pasukan Romawi terpecah secara berkelompok-kelompok karena ketakutan akan besarnya jumlah kaum Muslimin, dan ketuanya bernama Ailah Yuhanna (John) mengajak berdamai kepada Rasulullah.

    Maka, Rasul pun menerima ajakannya dengan syarat membayar Jizyah (upeti). Lalu dibuatlah perjanjian antara Rasulullah dan Kaum Muslimin dengan pasukan Romawi. Akhirnya, perang Tabuk tidak terjadi karena umat Islam dianggap menang setelah tentara Romawi menyerah dan berdamai.

    4. Terbukanya Baitul Maqdis

    Umar bin Khatab telah mengukir kegemilangan ketika masa kekhilafahannya walaupun hanya beberapa tahun dalam memegang amanahnya sebagai khalifah akibat terkena fitnah dan dibunuh oleh oknum dari kalangan sahabat sendiri.
    Dengan izin Allah telah Khalifah Umar membuka Baitul Maqdis, kota yang telah sekian lama di kuasai oleh orang Romawi yang didalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa, Palestina.
    Bagaimanapun akibat dari perselisihan dan perpecahan umat akhirnya Baitul Maqdis dapat di ambil alih oleh tentara salib. Mereka mengambil kesempatan dari kelemahan umat Islam akibat perpecahan dan persengketaan yang berterusan setelah menguasainya selama 500 tahun.
    Bagaimanapun, tentara Salib tersebut hanya dapat menguasai selama 60 tahun karena atas kepemimpinan Shalahuddin al-Ayubi, umat Islam dapat menguasai kembali pada bulan Rajab 583 H.
    Baitul Maqdis di bawah kepemimpinan Islam itu berlanjut hingga tahun 1948 saat diproklamirkan secara sepihak negara Yahudi ‘Israel’. Pada tahun 1967, Zionis Israel menjajah Baitul Maqdis secara keseluruhan sekaligus Masjid Aqsa hingga hari ini.
    Maka tugas kita adalah berusaha dengan segala kemampuan yang ada untuk mengembalikan Masjid Al-Aqsa tersebut ke pangkuan umat Islam sekaligus membebaskan Palestina, seperti yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab dan Sholahuddin al-Ayubi.

    5. Lahirnya Imaam Syafi’i

    Bagi orang Palestina, khususnya jalur Gaza dan umum bagi umat Islam, sepatutnya bersyukur atas anugerah yang Allah karuniakan dengan lahirnya seorang insan yang amat jenius pemikirannya, yang Allah karuniakan kebaikan atasnya. Bayangkan, dalam umur sembilan tahun beliau sudah hafal al-Qur’an. Pada umurnya yang relatif muda, beliau telah hafal kitab karya gurunya Imam Malik, ‘al-Muwatha’.

    Beliau adalah Muhammad Bin Idris Bin Abbas Bin Uthman bin Syafie Bin Saib Bin Abdu Yazid Bin Hasyim Bin Abdul Mutalib Bin Abdul Manaf, yang dikenal dengan sebutan Imaam Syafi’i. Beliau lahir pada bulan Rajab tahun 150 H. Beliau bertemu dengan asal usul keturunan Rasulullah pada Abdul Muthalib dan Abdul manaf.

    Karena kepintarannya, pada umur 20 tahun sudah bisa dipercaya untuk memberikan fatwa terhadap segala permasalahan umat Islam. Hingga kini madzhabnya telah diikuti oleh banyak negara terutama di beberapa negara ASEAN. Kitab hasil karyanya terus menjadi rujukan umat Islam seperti Al-Um dan Risalah, khususnya muslimin di Indonesia.

    Imam Syafi’i adalah ulama yang amat menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendaknya, apalagi menganggap benar pendapatnya sendiri dan yang lain salah. Ini terbaca dari perkataannya yang mulia, “ini adalah pendapatku yang aku yakini kebenarannya, tapi bisa jadi pada kalian ada kebenaran.”

    Demikian lima peristiwa yang terjadi pada bulan Rajab yang erat kaitannya dengan sejarah umat Islam sepanjang masa di mana tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Adapaun tulisan ini hanya sekedar mengingatkan untuk dijadikan pelajaran oleh kita semua.

    Wallahu A’lam bis Shawwab

    Oleh: Dudin Shobaruddin
    (Kepala Biro Kantor Berita Islam Mi’raj News Agency (MINA) Malaysia)

  • Sabtu, 01 Juni 2013

  • Tentang Buletin Jum'at Ar-Risalah


    Website ini merupakan versi digital dari Buletin Jum'at Ar-Risalah yang diterbitkan Oleh :
    LEMBAGA BIMBINGAN IBADAH DAN PENYULUHAN ISLAM ( L B I P I )

    Penanggung Jawab : KH. Abul Hidayat Saerodjie,
    Penanggung Jawab Rubrik Fiqih: KH. Drs. Yakhsyallah Mansur & Deni Rahman
    Koord. Pelaksana : Abdillahnur
    Koord. Website : Misbahuddin Nur

    REDAKSI 
    Kompleks Ponpes Al-Fatah, Pasir Angin, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat 16820,
    Telpon/Fax : (021) 824 98 933

    e-mail : abdillah_run@yahoo.com atau arrisalah.buletin@gmail.com

    LANGGANAN
    Bila ingin berlangganan edisi cetak Buletin Jum'at Ar-Risalah silahkan menghubungi alamat redaksi kami.
    Pesanan minimal 50 eks. dengan infaq Rp. 200,-/eks,

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism