Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Rabu, 31 Juli 2013

  • Zakat Fitrah, Pembersih Diri


    Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ad-Daruquthni dari Ibn Abbas, "Rasulullah Shalallah 'Alaihi wa Salam mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang shaum dari perbuatan yang sia-sia dan tutur kata yang keji dan untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikan sebelum shalat 'Id itulah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat 'Id, maka suatu sedekah biasa."

    Zakat fitrah tersebut wajib diberikan atas nama dirinya dan orang lain dalam tanggungannya, seperti istri, anak, pembantu dan sebagainya.

    Karena tujuan zakat fitrah adalah untuk memberi makan orang miskin pada hari raya, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Salam memerintahkan agar fitrah itu berupa bahan makanan. Diriwayatkan dalam sebuah hadits: "Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Salam mewajibkan zakat fitrah dari shaum Ramadhan segantang kurma atau segantang gandum atas hamba, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua, dari orang Islam." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

    Menurut takaran di Indonesia satu gantang itu kurang lebih 3,5 liter (dari beras yang biasa di makan-red). Menurut madzhab Syafi'I, zakat fitrah harus berupa makanan pokok. Tetapi menurut madzhab Hanafi dan sebaian ulama kontemporer saat ini, boleh mengeluarkan zakat dengan harganya. Menurut mereka, mengeluarkan harganya lebih bermanfaat bagi fakir miskin, karena orang yang diberi dapat menggunakan sesuai dengan kebutuhan mereka.

    Zakat fitrah ini wajib dibayarkan semenjak matahari terbenam di malam Idul Fitri. Menurut Imam Syafi'I boleh dibayarkan sejak awal bulan Ramadhan. Bukhari meriwayatkan bahwa para sahabat memberikan zakat fitrah sebelum hari raya sehari atau dua hari. (File/an/YM)

  • Pelaksanaan Shalat Idul Firti


    1. Menetapkan 1 Syawwal dengan hilal

    Sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dan sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, umat Islam dalam menentukan awal Syawwal sebagaimana awal Ramadhan hendaklah berdasarkan hasil rukyatul hilal, dinegeri manapun dapat terlihat.

    Rasulullah SAW., bersabda: “Shuuma liru’yatihi wa afthiru liru’yatihi”, Shaumlah kalian karena melihat hilal, dan idul fitrilah karena melihat hilal. (Muttafaq Alaihi)

    Allah Ta’ala berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al-Baqarah: 189)

    Ibnu Umar ra., Berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW., Bersabda: “Apabila engkau sekalian melihat bulan berpuasalah, dan apabila engkau sekalian melihat bulan berbukalah dan jika awan menutupi kalian, perkirakanlah”. (Muttafaq Alaihi). Menurut Riwayat Muslim: “Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah/genapkanlah tigapuluh hari.”

    2. Waktu Shalat. Dalam sebuah hadits dijelaskan, "Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Salam shalat Idul fitri dan Idul Adha bersama kami ketika matahari tinggi kira-kira sepenggalah." (HR. Ahmad dari Jundub)

    3. Mengatur Barisan. Imam hendaknya mengatur barisan (shaf) shalat hingga lurus dan rapat dengan susunan shaf sebagai berikut: Shaf yang paling depan laki-laki dewasa, kemudian anak-anak laki-laki, kemudian dibelakangnya anak-anak wanita, dan shaf yang paling akhir adalah wanita dewasa. (HR. Bukhari dan Muslim)

    4. Tidak didahului Shalat Sunnah. "Dari Ibnu Abbas, Bahwa Nabi saw. Shalat dua rakaat pada Idul Fitri. Tidaklah beliau shalat sebelum dan sesudahnya..." (HR. Bukhari)

    5. Tidak ada Adzan dan Qamat. "Sesungguhnya Nabi Salallahu 'Alaihi wa Salam shalat hari raya tanpa adzan dan qamat." (HR. Abu Dawud) Tidak pula dengan ucapan "Ash-Shalatu Jamiah". Demikian menurut pentahkikan Ibnu Qayyim,

    6. Takbiratul Ihram. Shalat Idul Fitri dilaksanakan dengan dua rakaat. Pada rakaat pertama setelah takbiratul ihram, sebelum membaca surat Al-Fatihah disunahkan membaca takbir tujuh kali (7x), dan pada takbir kedua sebanyak lima kali (5x), Demikian menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah.

    Diriwayatkan oleh Al-Farabi dengan sanad shahih dari Al-Walid, Ibnu Muslim berkata: “Saya bertanya kepada Malik bin Anas tentang yang demikian itu, yakni angkat tangan pada takbir-takbir tambahan. Ia menjawab: Ya, angkatlah tanganmu bersama dengan setiap takbir. Dan saya tidak mendengar lagi sesuatu yang lain."

    Ash-Shan'ani menyebutkan, "Adalah Ibn Umar dengan kosistennya mengikuti sunah dia mengangkat tangan setiap kali takbir.”

    7. Surat yang di baca imam. Setelah takbir dan membaca surat Al-Fatihah imam disunahkan membaca surat Al-A'la (surat ke-87) atau surat Qaaf (50) pada rakaat pertama, dan surat Al Ghasiah (88) atau surat Al Qamar (54) pada rakaat kedua. (HR. Muslim)

    8. Khutbah Id. Setelah selesai shalat hendaklah makmum mengikuti khutbah dengan khusyu dan tenang. Khutbah Idul Fitri dan Idul Adha menurut riwayat Bukhari dilaksanakan tanpa menggunakan mimbar. Dalam kitab shahihnya, "Bab keluar ke tanah lapang (untuk shalat) tanpa menggunakan mimbar"

    Al Hafidz Ibn Hajar ketika menjelaskan bab ini menukil hadits: "Maka berdirilah seorang-laki-laki lalu berkata: Hai Marwan! Kamu telah menyalahi sunnah, yaitu kamu mengeluarkan mimbar pada hari 'Id, padahal tidak ada orang yang mengelurkannya." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah & Ahmad)

    Khutbah shalat Id dilakukan sekali, tanpa diselingi dengan duduk.

    9. Pulang dari Shalat Id. Disunnahkan menempuh jalan yang berbeda dengan yang dilalui ketika berangkat. Berdasarkan hadits: "Adalah Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Salam pada waktu hari raya menempuh jalan yang berbeda." (HR. Bukhari dari Jabir)

    Wallahu a’lam

  • I'tikaf, Keutamaan dan hukum hukumnya

    I’tikaf berasal dari kata i’tikafan-ya’takifu-i’tikafan. Menurut bahasa, i’tika adalah menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan. Sedangkan i’tikaf menurut istilah syara’ ialah menetapnya seorang muslim di dalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Orang yang beri’tikaf disebut mu’takif atau ‘aakif.

    Syariat i’tikaf disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 187, serta dalam banyak hadis seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, dan Baihaqi dari Aisyah, Ia berkata, “Adalah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam biasanya beritikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sampai beliau wafat kemudian istri-istri beliu melaksanakan ik’tikaf sepeninggalnya.”

    Hukum i’tikaf ada dua macam, yaitu i’tikaf wajib dan i’tikaf sunnah. I’tikaf wajib adalah i’tikaf yang wajib dilakukan oleh seseorang karena terealisasinya nazar yang diniatkan. Sedangkan i’tikaf sunnah ialah i’tikaf yang dilaksankan oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, mencari pahala dan meneladani Rasulullah SAW. Seperti i’tikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW setiap bulan Ramadhan sampai wafat.

    Syariat i’tikaf adalah muslim, baligh, suci dari janabat, haid dan nifas. Adapun rukun i’tikaf adalah adanya niat dari mu’takif serta bertempat di masjid.


    I’tikaf dapat dimulai setelah matahari terbenam pada sepuluh malam terakhir (malam 21 bulan Ramadhan) berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Barangsiapa yang hendak i’tikaf bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh malam terakhir.”

    Atau pagi hari (ba’da shubuh) tanggal 21 Ramadhan, berdasarkan hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Syaikhani, “Adalah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bila hendak i’tikaf, beliau shalat shubuh dulu, kemudia masuk ketempat i’tikaf, sehingga mereka berpendapat bahwa permulaan waktu i’tikaf adalah permulaan siang.”

    Adapun berakhirnya i’tikaf adalah setelah terbenamnya matahari, tanggal terakhir bulan Ramadhan.

    Hal-hal yang disunahkan bagi orang yang beri’tikaf antara lain; memperbanyak ibadah sunnat, menyibukan diri dengan shalat berjama’ah lima waktu, shalat-shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, dzikir, istigfar, berdo’a, membaca shalawat, dan ibadah-ibadah lain yang dapat menedekatkan diri dengan Allah Ta’ala.

    Dimakruhkan sewaktu i’tikaf melakkan hal-hal yang tidak perlu dan tidak bermanfaat, baik berupa perkataan maupun perbuatan seperti bercanda, mengobrol, dan sebagainya. Orang yang beri’tikaf diperbolehkan keluar dari masjid karena keperluan mendesak, seperti; mandi, buang hajat, makan dan minum jika tidak ada yang mengantarkan makanan, berobat jika sakit, dan boleh pula mengeluarkan kepala keluar masjid untuk di cuci atau disisir.

    Hal-hal yang membatalkan i’tikaf antara lain keluar dari masjid dengan sengaja tanpa ada keperluan sekalipun sebentar, murtad, hilang akal baik yang disebabkan gila maupun mabuk, haid, nifas, serta bersetubuh. Selama i’tikaf disunnahkan memperbanyak membaca “Allahumma innaka ‘afuuwwun tuhibbul ‘afwa fa’ fu’anni”, (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Suka Memaafkan, maka maafkanlah aku) (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi) (file/an/YM)

    Wallahu a’lam bisshowab.

  • Rabu, 24 Juli 2013

  • Buah dari Ramadhan


    Setengah dari Ramadhan telah meninggalkan kita, senang bagi mereka yang menganggap bulan puasa hanya menjadi beban semata, sedih bagi kita yang berupaya dengannya dapat meningkatkan kualitas taqwa sekaligus tempat pelebur dosa-dosa dan pembebas dari api neraka.

    Tujuan utama dari Ramadhan tidak lain adalah taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam akhir surat Al-Baqarah : 183, La’allakum tattaqun.

    Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum (berpuasa) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 183)

    La’allakum tattaqun agar kamu bertaqwa, artinya shaum atau puasa yang benar akan melahirkan manusia taqwa, suatu kedudukan derajat tertinggi bagi manusia di sisi Allah. Sebaliknya, shaum yang hanya dilakukan secara tradisi, sekedar menggugurkan kewajiban dengan menahan diri dari tidak makan dan tidak minum pada siang hari, tetapi tidak mengindahkan kaifiyatus shaum dengan benar maka shaumnya sia-sia. Dan itu yang tidak dikehendaki Allah Ta’ala.

    RAMADHAN

    Ramadhan secara bahasa adalah panas, atau panas yang menyengat atau membakar, orang-orang arab biasanya memberikan nama-nama bulan disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat itu terjadi. Sebagai mana Bulan Muharram, diberi nama Muharram karena Allah mengharamkan pada bulan tersebut untuk berperang, demikian juga Ramadhan, karena pada bulan tersebut di negeri arab suhu udara sangatlah panas, seolah-olah membakar tubuh kita.

    Demikian pula Shaum yang dilakukan pada bulan Ramadhan, selain membakar dalam arti hisyiah, membakar koresterol dan lemak dalam tubuh, membakar disini lebih dalam arti maknawiyah, ‘membakar’ hawa nafsu kita agar terkendali, bukan membunuh tetapi mengendalikan dan mendidik keinginan-keinginan yang mengantarkan kepada perbuatan dosa, baik yang dihalalkan (ketika berpuasa) apalagi dilarang oleh Allah dan Rasulnya.

    Sebagaimana yang termaktub dalam ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam maya pada ini, biasa disebut ayat kauniyah, hendaknya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran darinya. Logam emas yang ditempa dan dibakar, tidak lain untuk menguji ketinggian kadar emas yang dikandungnya, begitu juga dengan tanah lempung yang sebelumnya hina, diinjak-injak, tidak berharga, ketika telah dibentuk dan dibakar, maka kedudukannya menjadi naik, lebih berharga dan memiliki nilai, kini menduduki tempat yang tinggi menjadi atap genting.

    Demikian pula shaum yang telah menempa tiap individu seorang muslim, hendaknya dapat menaikan derajat ketakwaan, kedudukan dan kehormatan seorang muslim di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena salah satu pengertian taqwa adalah melaksankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

    Dalam sekup yang lebih luas, dengan konsistensi umat Islam terhadap aturan Allah dan Sunah Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam, meneguhkan keimanan, melaksankan isi Al-Qur’an, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, niscaya predikat dari umat yang terpuruk, dilecehkan dan dihinakan, serta mudah dipecah belah oleh Yahudi dan Nasrani karena tidak bersatu, dengan melaksanakan semua aturan Allah dan Rasulnya, serta hidup berjamaah (QS. Ali Imran: 103) niscaya hal tersebut akan menguatkan kekuatan muslimin di mata dunia, menjadi umat yang disegani, tidak hanya kekuatannya, kekompakannya saja sudah mampu mengentarkan musuh-musuh Allah. Sehingga khairul ummah yang telah Allah sematkan benar-benar nyata dan dapat dirasakan.

    “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

    Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip sebuah hadits dari Bahz bin Hakim bahwa tatkala membaca ayat ini Rasulullah s.a.w. bersabda: “Kalian adalah penyempurna dari 70 umat, kalian yang terbaik di antara mereka dan termulia di sisi Allah ‘Azza wa Jalla” (HR. At-Tirmidzi).

    Karena itu, hendaknya momen Ramadhan ini kita jadikan ajang untuk memperbaiki diri, keluarga, dan masyarakat untuk kembali kepada aturan Allah dan Rasulnya, sehingga title khoirul umat itu tetap melekat pada umat Islam.

    RAMADHAN DAN KETAQWAAN

    Gool dari perintah Allah akan shaum Ramadhan kepada umat Islam yang terdahulu hingga hari ini tidak lain agar para pelakunya memiliki nilai takwa dalam dirinya. Yaitu senantiasa melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Menurut Ibnu Katsir at taqwa makna asalnya ialah mencegah diri dari hal-hal yang tidak disukai, mengingat bentuk kata kerjanya adalah qawa yang berasal dari al wiqayah (pencegahan).

    Menurut Syara’, taqwa berarti : “Menjaga dan memelihara diri dari siksa dan murka Allah Ta’ala dengan jalan melaksanakan perintah-perintahNya, taat kepadaNya dan menjauhi larangan-laranganNya serta menjauhi perbuatan maksiat”.

    Rasulullah SAW pernah menjelaskan hakikat taqwa dengan sabdanya : “Taqwa yaitu mentaati Allah dan tidak mengingkari perintah-Nya, sentiasa mengingati Allah dan tidak melupakanya, bersyukur kepada-Nya dan tidak mengkufuri nikmat-Nya”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Abas ra. )

    Taat dan tidak mengingkariNya

    Ibadah puasa yang Allah turunkan merupakan ujian ketaatan seorang hamba kepada khaliknya, betapa tidak, ibadah puasa adalah ibadah rahasia (syirriah), yang diketahui hanya oleh dirinya atau hati nurani seseorang dan Allah saja. Untuk itu ketaatan seorang hamba akan perintah ini dipertaruhkan, apakah ia seorang yang taat, atau ingkar.

    Puasa merupakan satu-satunya ibadah yang urusannya diatur langsung oleh Allah. “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang membalasnya secara khusus,” demikian Allah berfirman dalam Hadist Qudsi. Apabila ibadah-ibadah mahdhoh lainnya, seperti syahadat, shalat, zakat, dan haji, dapat dengan mudah diketahui atau bahkan disaksikan oleh orang lain, maka untuk ibadah puasa hanya dirinya (si pelaku ibadah) dan Allah sajalah yang mengetahui. Seseorang dapat saja di muka umum berpura-pura, sepertinya sedang puasa, namun ketika dia menyendiri di tempat yang tersembunyi dia melakukan perbuatan yang dilarang Allah.

    Untuk itu, ketakwaan yang dilahirkan dari ibadah puasa sesuai perintah Allah dalam Qur’an surat Al-Baqarah:183, diharapkan mampu menjadikah hamba-hambanya bertaqwa, senantiasa mendengar dan mentaati segala perintah Allah dan Rasulnya, dimanapun dan kapan pun. Baik dalam waktu lapang maupun sempit.

    Selalu mengingat Allah

    Allah Ta’ala berfirman, "Maka igatlah kepada Ku, niscaya Aku akan ingat kepadamu, bersyukurlah kepada Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada Ku “. ( Qs. Al Baqarah : 152)

    Dijelaskan dalam tafsir As-Sa’di karangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di bahwa: adzquruni adzqurkum, “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu” Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengingat-Nya, dan menjanjikan baginya sebaik-baik balasan yaitu bahwa Allah akan mengingatnya pula, yaitu bagi orang yang ingat kepadanya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw :Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

    Bersyukur, tidak kufur

    Shaum Ramadhan menghendaki para pelakunya mempunyai sifat kepedulian kepada saudaranya, saling memberi serta mensyukuri karunia yang Allah telah berikan kepadanya seraya tidak mengkufurinya.

    Setelah Allah memerintahkan untuk selalu mengingat-Nya kapan dan dimanapun, perintah berikutnya dalam surat Al Baqarah : 152 adalah memerintahkan untuk bersyukur, tidak berbuat kufur.

    Wasykurulii “Dan bersyukurlah kepada Ku”. Maksudnya terhadap apa yang kami nikmatkan kepada kalian dengan nikmat-nikmat tersebut, dan Aku jauhkan dari kalian berbagai macam kesulitan. Syukur itu dilakukan dengan hati berupa pengakuan atas kenikmatan yang didapatkan, dengan lisan berupa dzikir dan pujian, dan dengan anggota tubuh berupa ketaatan kepada Allah serta kepatuhan terhadap perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

    Syukur itu menyebabkan kelanggengan nikmat yang telah didapatkan dan menambah kenikmatan yang belum didapatkan. Dan ketika kebalikan dari rasa syukur adalah pengingkaran maka Allah melarang pengingkaran tersebut seraya berfirman : Walatakfuru. ”Dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku” Maksud dari pengingkaran disini adalah satu hal yang bertolak belakang dengan bersyukur yaitu ingkar terhadap kenikmatan yang diberikan dan menampiknya serta tidak bersyukur kapada-Nya. Kemungkinan juga maknanya bersifat umum, maka pengingkaran terhadap Allah adalah pengingkaran yang paling besar, kemudian bermacam-macam kemaksiatan dengan segala bentuk dan jenisnya dari kesyirikan dan selainnya.

    BUAH TAQWA

    Selalu menta’ati Allah, mengingat-Nya di manapun, dan bersyukur atas segala karuniannya dan tidak mengingkarinya merupakan penjabaran dari taqwa. Dan inilah yang mampu menjadi penyebab turunnya rizki, firman Allah, yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya...” (QS. ath-Thalaq: 2-3).

    Dan taqwa itu dapat diraih dengan shaum Ramadhan yang tengah kita lakukan. (An/Ahso)

  • Rabu, 17 Juli 2013

  • Bertadarus Al-Qur’an Sepanjang Ramadhan


    Al-Quranul Karim adalah bacaan yang paling mulia (QS Al-Waqi’ah [56] : 77)., karena ia merupakan kalam Allah Yang Maha Mulia, dibawa oleh malaikat yang mulia Jibril Alaihis Salam, diterima oleh Rasul-Nya yang mulia Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, awal mula diturunkan pun pada bulan paling mulia yakni bulan suci Ramadhan.

    Al-Quran diimani dan diikuti oleh umatnya yang mulia, yakni umat Islam. Orang yang mengetahui kemuliaan Al-Quran, ia pasti akan mencintanya, membacanya, menghayati kandungan isinya, berusaha menghafal ayat demi ayat-Nya, dan yang paling pokok adalah berusaha mengamalkannya secara keseluruhan/kaaffaah (totalitas) dalam kehidupan sehari-hari. Karena Al-Quran sebagai bacaan yang mulia itulah, maka seorang muslim yang membacanya pun akan mendapatkan pahala dari huruf demi huruf yang dibacanya. Rasulullah SAW bersabda:

    "Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya..." (HR At-Tirmidzi).

    “Orang yang mahir membaca Al Qur’an, ia akan bersama para malaikat mulia yang selalu berbakti. Adapun orang yang membaca Al Qur’an dan bacaannya belum bagus dan merasa kesulitan, ia akan memperoleh dua pahala.” (HR Muslim)

    Karena itu, sesuai dengan namanya, Al-Quran adalah bacaan, maka kita sendirilah yang menjadikan Al-Quran itu menjadi bacaan bagi diri kita sendiri. Bagi orang yang melalaikan Al-Quran sebagai bacaan, berarti ia sendiri telah menghilangkan Al-Quran itu sendiri dalam kehidupannya. Na’udzubillahi min dzalik.

    Al-Quran sebagai Petunjuk
    Kandungan Al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia, dan pembeda antara yang haq dan yang batil.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, Artinya : “…..Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang haq dan yang batil)…..”. (QS Al-Baqarah [2] : 185)..

    Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa Al-Quran sebagai petunjuk maknanya, Al-Quran secara keseluruhan jika dikaji dan diteliti secara mendalam, akan menghasilkan hukum halal dan haram, nasihat-nasihat, serta hukum-hukum yang penuh hikmah. Al-Hafidz Al-Suyuthi juga menjelaskan, bahwa Al-Quran mengandung petunjuk yang dapat menghindarkan seseorang dari kesesatan, ayat-ayatnya sangat jelas serta berisi hukum-hukum yang menunjukkan seseorang kepada jalan yang benar.

    Al-Quran sebagai Penawar
    Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Artinya : “Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (QS Al-Isra [17] : 82).

    Al-Quran dapat menjadi penawar data hati gundah dan pikiran resah. Sebagaimana dikisahkan, pada suatu hari, seseorang menemui sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, salah satu sahabat besar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, untuk meminta nasihat. Katanya, ”Wahai Ibnu Mas’ud, berilah nasihat yang dapat kujadikan sebagai obat bagi jiwaku yang sedang gelisah. Dalam beberapa hari ini, aku merasa tidak sakinah, jiwaku resah, dan pikiranku gundah. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.”

    Maka, Ibnu Mas’ud menasihatinya, ”Kalau itu penyakit yang menimpamu, bawalah dirimu mengunjungi tiga tempat. Pertama, datanglah ke tempat orang yang sedang membaca Al-Quran. Di sana, engkau ikut membaca Al-Quran atau cukup mendengarkannya dengan baik. Kedua, pergilah ke tempat majelis ta’lim yang mengingatkan hati kepada Allah. Ketiga, carilah tempat yang sepi di malam sunyi. Di sana, engkau menyendiri bersama Allah waktu tengah malam buta untuk shalat tahajud. Lalu, mintalah kepada Allah ketenangan jiwa, ketenteraman pikiran, dan kemurnian hati.”

    Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan keadaan setiap penghuni rumah tangga muslim agar menghiasi rumahnya dengan alunan ayat-ayat suci Al-Quran. Sebab, rumah yang di dalamnya tidak dibacakan ayat-ayat Alquran akan banyak keburukan perilaku, kegersangan jiwa, dan kesempitan pandangan kehidupan.

    Apalagi pada bulan suci Ramadhan. Kita dianjurkan memperbanyakkan bacaan Al-Quran di dalamnya karena ia adalah bulan Al-Quran.

    Bahkan, Malaikat Jibril senantiasa bertadarus Al-Quran dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam setiap hari sepanjang Ramadan.

    Dengan selalu berinteraksi dengan Al-Quran akan senantiasa terhubung dengan Allah, hal itu akan mampu memberikan spirit, inspirasi, dan motivasi dalam kehidupan. Di sinilah Al-Quran dikatakan sebagai mukjizat dan rahmat bagi manusia dan alam.

  • Puasa dan Do’a


    Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman yang artinya, ; “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 186)

    Menurut Ibnu Abi Hatim, ayat ini (Q.S. Al-Baqarah [2]: 186) turun berkenaan dengan datangnya seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang bertanya, “Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami cukup berbisik kepada-Nya atau jauh sehingga kami harus menyeru-Nya?” Beliau terdiam, sehingga turunlah ayat di atas sebagai jawaban atas pertanyaan itu.

    Ayat yang satu ini terletak di tengah-tengah rangkaian ayat yang membicarakan tentang puasa dan hukum-hukumnya. Hal ini menunjukkan betapa eratnya hubungan puasa dengan doa.

    Doa dalam pengertian syari’at adalah permohonan kepada Allah dengan jalan merendahkan diri.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan dalam beberapa hadits, bahwa doa dan puasa itu memiliki hubungan yang erat antara lain; Tiga orang yang tidak ditolak doa mereka: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga dia berbuka dan doa orang yang dizalimi, diangkat oleh Allah di atas awan pada hari qiamat dan dibuka baginya pintu-pintu langit dan Allah berfirman, Demi kemuliaan-Ku pasti Aku menolong engkau walaupun hanya menunggu masa sahaja. (H.R. Ibn Majah)

    Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam Musnadnya yang bersumber dari Abdullah bin Amr, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

    Bagi orang yang berpuasa ketika dia berbuka doanya mustajab (terkabul)

    Maka Abdullah bin Amr ketika berbuka dia panggil keluarganya dan anaknya kemudian berdoa.

    At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

    “Tiga yang menjadi hak Allah untuk tidak menolak doa mereka, orang berpuasa sehingga berbuka, orang yang dizalimi sehingga dibantu, dan orang bermusafir sehinggalah ia pulang" (Riwayat Al-Bazaar)

    Pada ayat di atas, Allah menjelaskan beberapa prinsip dalam berdoa.

    Pertama, Allah itu dekat, maka dalam berdoa tidak perlu menggunakan perantara (wasilah) dan tidak perlu dengan suara keras.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

    “Hai manusia, bertasbihlah dirimu. Karena kamu tidak berseru kepada yang tuli dan yang ghaib di tempat jauh. Sesungguhnya kamu menyeru kepada yang selalu mendengar, dekat dan Dia selalu besertamu.”

    Kedua, semua doa pasti dikabulkan. Tidak ada doa yang tidak didengar dan tidak dipedulikan.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
    “Tiada setiap muslim berdoa dengan suatu doa, dalam doa itu tidak ada unsur dosa dan memutus tali silaturahim, kecuali Allah pasti memberikan kepadanya salah satu dari tiga hal; adakalanya disegerakan doanya baginya, adakalanya disimpan untunya diakhirat kelak, dan adakalanya dirinya dihindarkan dari keburukan.” Para sahabat bertanya: “Jika kami memperbanyak doa?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah lebih banyak (mengabulkan doa).”

    Ketiga, supaya permohonan itu mendapat perhatian dari Allah, hendaknya orang yang memohon itu menyambut seruan Allah.

    Keempat, hendaknya orang yang berdoa benar-benar beriman (percaya) kepada Allah.

    Kelima, dengan menyambut seruan/tuntunan Allah dan percaya penuh kepada-Nya, orang yang berdoa akan diberi petunjuk oleh Allah jalan yang akan ditempuh untuk merealisasikan doanya hingga tidak akan salah jalan dan tidak putus asa bila doanya belum dikabulkan.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

    "Akan dikabulkan doa seseorang jika tidak buru-buru berkata saya telah berdoa tapi belum dikabulkan juga." (H.R. Bukhori)

    Perlu diketahui, berdoa bukanlah mendikte Allah dengan menentukan apa yang kita minta. Karena kalau kita menentukan sendiri apa yang kita minta kalau tidak diberi kita akan kecewa.

    Cara Nabi Ayub Alaihi Salam dalam berdoa patut ditiru. Ketika sudah demikian besar malapetaka menimpa dirinya, doa beliau hanya demikian:

    ... "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". Q.S. Al-Anbiya [21]: 83.

    Seorang bertanya kepada Ibrahim bin Adhan, kenapa doanya tidak dikabulkan Allah, padahal Allah berfirman:

    …"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…”  Q.S. Ghafir [40]: 60.

    Beliau menjawab, “Karena hatimu telah mati.”

    Adapun yang mematikan hati, ada 8 perkara:

    1. Mengerti hak Allah tetapi tidak menunaikannya.
    2. Membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengamalkan isinya.
    3. Mengaku mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tetapi tidak mengamalkan sunnahnya.
    4. Berkata takut mati tetapi tidak menyiapkan bekalnya.
    5. Mengikuti ajakan setan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Q.S. Fathir [35]: 6), tetapi berkumpul dengannya untuk melakukan dosa.
    6. Berkata takut neraka tetapi menganiaya diri.
    7. Senang surga tetapi tidak beramal untuknya.
    8. Bangun tidur melemparkan kesalahan sendiri di balik panggung tetapi kesalahan sendiri di balik panggung tetapi kesalahan orang lain dibentangkan di mukanya.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

    Oleh: KH. Yakhsyallah Mansur, MA.
    *Pimpinan Ma’had Al-Fatah Indonesia

  • Jumat, 12 Juli 2013

  • Jawal Kajian LBIPI di Radio


    Jadwal Siaran Kajian LBIPI di radio-radio :

    A. Hikmah Pagi di Radio Shilaturahin AM 720 Cibubur. <www.radiosilaturahim.com>
    • Pada hari-hari berikut setiap pukul 06.00-07.00 WIB
    • Senin : Kajian Aqidah.
    • Selasa : Kajian Hadits Arba'in.
    • Rabu : Kajian Tafsir Maudu'i.
    • Kamis : Kajian Shirah Nabawiyah.
    • Jum'at : Kajian Keluarga Islami.

    B. Mutiara Hikmah di Radio DAKTA FM 107 Bekasi.
    • Setiap Sabtu pukul 16.00-17.00 WIB

  • Kamis, 11 Juli 2013

  • Meraih Kemuliaan Ramadhan


    Sungguh termasuk diantara keutamaan dan nikmat Alloh yang sangat besar kepada para hambanya adalah mempersiapkan kepada mereka musim dan waktu yang penuh dengan keutamaan, agar menjadi ladang menuai pahala bagi orang-orang yang taat dan medan bagi orang yang ingin berlomba-lomba kebaikan, bulan itu adalah Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh barokah, penuh dengan keutamaan yang banyak, Alloh berfirman:

    Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqoroh: 185).

    `Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Telah datang kepada kalian bulan ramadhan, bulan yang penuh berkah. Alloh mewajibkan puasa atas kalian di dalamnya. Pada bulan itu dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu setan-setan. Alloh menjadikan pada bulan itu sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tercegah dari kebaikannya, maka sungguh dia tercegah untuk mendapatkannya”.[HR.Ahmad dan Nasai]

    Untuk itu, guna meraih keberkahan dan kemulaiaan bulan suci Ramadhan ini, hendaknya kita isi dengan amalan-amalan ibadah yang telah banyak Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Diantara amalan-amalan tersebut adalah:

    1. Niat sebelum puasa
    Hendaklah dalam hati terdapat niat untuk melaksanakan puasa Ramadhan, baik pada permulaan Ramadhan ataupun pada tiap fajar. Pada keduanya para ulama tidak memperselisihkan.

    2. Sahur
    Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan“. [HR.Bukhari, Muslim]

    Hadits ini berisi anjuran untuk sahur sebelum puasa, karena di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak dan membawa berkah.

    3. Membaca al-Qur’an
    Hendaknya kita hiasi bulan yang penuh berkah ini dengan membaca al-Qur’an. Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an. Perbanyaklah membaca, mentadabburi dan memahami isinya pada bulan ini. Rasulullah sebagai teladan kita beliau selalu mengecek bacaan al-Qur’annya pada malaikat Jibril tiap bulan Ramadhan.

    4. Menjaga anggota badan
    Puasa tidak hanya menahan makan dan minum semata. Akan tetapi lebih dari itu, yaitu menahan anggota badan dari bermaksiat kepada Alloh. Menahan mata dari melihat yang haram, menjauhkan telinga dari mendengar yang haram, menahan lisan dari mencaci dan menggibah, menjaga kaki untuk tidak melangkah ke tempat maksiat.

    5. Jagalah lisan
    Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda:  “Puasa adalah perisai. Maka janganlah berkata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada yang memerangimu atau mencelamu, maka katakanlah aku sedang puasa”. [HR. Bukhari, Muslim]

    Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan amarahnya serta kebodohan, maka Alloh tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.[HR.Bukhari]

    6. Memperbanyak amalan shalih
    Manfaatkan bulan ramadhan ini dengan perbuatan baik. Penuhi dengan amalan shalih. Manfaatkan waktu yang ada dengan dzikir, membaca al-Qur’an, mengkaji ilmu agama, banyak bershadaqoh, dan lain-lain. Karena semakin banyak ibadah yang kita kerjakan pada bulan mulia ini semakin besar pula ganjarannya. Demikian pula sebaliknya apabila bulan mulia ini kita kotori dengan kemaksiatan, maka akan semakin besar pula dosanya. (Majmu’ Fatawa 34/180).

    7. Hukum-hukum seputar orang yang berpuasa

    A. Pembatal puasa

    Para ulama telah menyebutkan dalam berbagai kitab fiqih mereka beberapa pembatal puasa, yaitu:

       1. Jima’
       2. Mengeluarkan mani dengan sengaja
       3. Makan dan minum dengan sengaja
       4. Segala sesuatu yang semakna dengan makan dan minum
       5. Muntah secara sengaja
       6. Keluar darah haidh dan nifas

    B. Berbuka puasa secara sengaja

    Berbuka puasa secara sengaja pada bulan Ramadhan tanpa alasan yang syar’I adalah perbuatan dosa besar. Rasulullah bersabda:

    Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba datang kepadaku dua orang yang kemudian memegang bagian bawah ketiakku dan membawaku ke sebuah gunung yang terjal. Keduanya berkata, “Naiklah”. Aku menjawab: “Aku tidak mampu”, keduanya berkata, “Baiklah, akan kami bantu engkau”. Akhirnya aku naik juga, tatkala aku sampai pada pertengahan gunung, aku mendengar suara yang sangat mengerikan, aku bertanya: “Suara apa ini?” keduanya berkata: “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa lagi, dan aku melihat sekelompok orang yang kaki-kaki mereka digantung, tulang rahang mereka dipecah, darah mengalir dari tulang rahang mereka.[168] Aku bertanya: “Siapakah mereka itu?” Keduanya menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”.[HR.Nasai, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Hakim ]

    C. Puasanya orang yang diberi udzur

    1.Musafir
    Orang yang musafir (bepergian jauh). Jika berpuasa sangat memberatkannya, maka boleh berbuka. Tatkala fathu makkah, para sahabat merasakan sangat berat dalam berpuasa. Akhirnya Rasulullah berbuka, akan tetapi ada sebagian sahabat yang tetap memaksakan puasa. Maka Rasulullahpun berkata: “Mereka itu orang yang bermaksiat, mereka itu orang yang bermaksiat”. [HR.Muslim]

    2.Orang yang sakit
    Pertama; Orang yang sakitnya terus menerus, berkepanjangan, tidak bisa diharapkan sembuh dengan segera seperti sakit kanker, maka dia tidak wajib puasa. Karena keadaan sakit seperti ini tidak bisa diharapkan untuk bisa puasa. Hendaklah ia memberi makan satu orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.

    Kedua; Orang yang sakitnya bisa diharapkan sembuh, seperti sakit panas dan sebagainya. Maka orang yang sakit seperti jika tidak memberatkan dan membahayakannya, maka wajib puasa. Jika itu dirasakan memberatkan, boleh berbuka.

     3.Wanita hamil dan menyusui
    Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya dan anaknya, maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqodho (mengganti) di hari yang lain kapan saja sanggupnya menurut pendapat mayoritas ahli ilmu, karena dia seperti orang yang sakit yang khawatir terhadap kesehatan dirinya. (QS.al-Baqarah 184).

    Dalam sebuah Muktamar kedokteran yang digelar di Kairo pada bulan Muharram 1406 H dengan tema “Sebagian perubahan kimiawi yang bisa ditimbulkan dari puasanya wanita hamil dan menyusui” demi menjawab pertanyaan yang kerap muncul apakah puasa berpengaruh terhadap wanita yang hamil dan menyusui. Setelah melalui penelitian para dokter ahli disimpulkan bahwa tidak ada bahaya bagi wanita hamil dan menyusui untuk berpuasa di bulan ramadhan. [As-Siyam Muhdatsatuhu wa Hawaditsuhu hal.210 oleh Muhammad Aqlah, lihat Ahkam Mar’ah al-Hamil hal.54 oleh Yahya Abdurrahman al-Khathib.]

    8. Bila waktu berbuka tiba

    1. Segerakan berbuka
    Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa. [HR.Bukhari 1957, Muslim 1098]

    2.Berdoa ketika berbuka puasa, salahsatunya, “dzahabadhomau’ wabtalatiluruqu watsabatil ajru insyaallah” (telah hilang dahaga, telah basah tengorokan dan tetaplah pahala (shaum), insyaallah)

    3. Jangan berlebihan
    Adalah Rasulullah berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat. Apabila tidak ada kurma basah, beliau berbuka dengan kurma kering, apabila tidak ada kurma kering, beliau berbuka dengan air. [HR.Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Hakim]

    4. Memberi makan orang yang berbuka puasa
    Barangsiapa yang memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala semisal orang yang berpuasa, tanpa dikurangi dari pahala orang yang berpuasa sedikitpun. [HR.Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah]

     9. Shalat tarawih
    Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang mengerjakan shalat malam di bulan ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala Alloh, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. [HR. Bukhari, Muslim]

    Wallahu A’lam Bish Shawwab

  • Jumat, 05 Juli 2013

  • Persiapan Menyambut Ramadhan


    Dalam menyambut Bulan Ramadhan kita disunnahkan melakukan beberapa hal, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam diantaranya :

    1. Memperbanyak doa
    Rasulullah SAW berdoa, "Ya Allah berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan." "Ya Allah bulan Ramadhan telah menaungi kami dan telah hadir, serahkanlah ia pada kami dan serahkanlah kami padanya, karunikanlah kami kesanggupan untuk berpuasa, dan menegakkan malam-malamnya. Dan karuniakanlah kami kesungguhan kekuatan dan semangat serta jauhkanlah kami dari fitnah di dalamnya." "Ya Allah sampaikanlah kami pada Ramadhan dengan aman, keimanan, keselamatan, Islam, kesehatan dan terhindar dari penyakit serta bantulah kami untuk melaksanakan shalat, puasa dan tilawah al-Quran padanya.” (HR. Ahmad dan Thabrani)

    2. Memperbanyak puasa di bulan Sya’ban
    Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam hadis Bukhari-Muslim, Aisyah ra. berkata : Tidaklah aku lihat Rasul menyempurnakan puasanya sebulan penuh kecuali pada Ramadhan dan tidak juga aku lihat beliau memperbanyak puasa sunnatnya kecuali di bulan Sya’ban”.

    3. Memperbanyak tilawah Quran
    Sebagaimana yang diungkapkan Anas bin Malik bahwa para sahabat jika memasuki bulan Sya’ban, mereka segera mengambil mushaf dan membacanya.

    4. Segera membayar hutang puasa
    Bagi yang masih memiliki hutang puasa, hendaknya segera untuk membayarnya, karena waktu semakin mendekati ramadhan. Jangan sampai kita merugi karena masih memiliki hutang.
    Persiapan Menjelang Ramadhan

    5. Saling maaf memaafkan
    Sebelum Ramadhan datang hendakhnya sesama muslim saling maaf memaafkan, sehingga dalam memasuki Ramadhan dosa kita dengan sesama sudah terhapuskan sehingga pada bulan Ramadhan hanya menyelesaikan dosa kepada Allah Ta’ala saja, dan pada saat hari raya Idul Fitri tiba, kita benar-benar berada dalam keadaan fitrah.

    6. Mengkaji fiqih shaum
    Beramal hendaknya dilandasi dengan ilmu dan sesuai dengan contoh Rasulullah saw., sehingga ibadah yang dilakukan diterima sebagai amalan sohiha, dan bukan amalan yang ditolak. Khususnya menjelang Ramadhan ini hendaknya kita bersiap mengkaji fiqih yang terkait dengan ibadah Ramadhan, sehingga pelaksanaannya berjalan dengan baik berdasarkan pemahaman yang benar.

    7. Mengisi Ramadhan dengan amal soleh
    Setelah memasuki bulan Ramadhan nanti, hendaknya kita menghidupkannya dengan berbagai aktivitas yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan ini hendaknya diisi dengan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT, memperpanjang ruku’, sujud, shalat tarawih, bermunajat kepada Allah, memperbanyak sholat sunnah, senantiasa berzikir, tilawah dan tadabbur Al-Qur’an. Sedangkan pada akhir Ramadhan, mari isi dengan I’itikaf pada sepuluh hari terakhirnya, mengurangi waktu tidur pada siang hari, melaksanakan tahajut pada sepertiga malamnya, semoga Lailatul Qodrnya dapat kita raih. Amin ya Rabbal alamin.

  • Kamis, 04 Juli 2013

  • Shaum dan Kepribadian Manusia


    Tidak terasa, sesaat lagi Ramadhan mubarrak kita temui, insyallah. Sebagai seorang muslim moment ini tentu sangat di tunggu-tunggu, bulan dimana berkah, rahmat dan ampunan Allah turun padanya. Untuk itu penting rasanya bagi kita untuk memahami makna shaum ini sebagai upaya membangun kepribadian individu maupun sosial menjadi manusia bertaqwa.

    Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum (berpuasa) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 183)

    Penjelasan ayat tersebut pada kalimat “telah diwajibkan atas kamu berpuasa” tidak menggunakan kata furida atau wujiba, tetapi menggunakan kata kutiba dalam arti an naqsyu ‘ala al hajarah. mengukir di atas batu. Dengan kalimat tersebut dimaksud agar shaum benar-benar membekas dalam jiwa yang pengaruhnya mampu mengukir karakter atau kepribadian orang yang berpuasa.

    Shaum juga berarti al imsaaku artinya menahan diri atau pengendalian diri dari perkara yang tidak terpuji. Orang yang berpuasa adalah orang yang terlatih dalam hal pengendalian diri, matang dalam berpikir bijak dan hati-hati dalam bertindak, tidak ‘grasa-grusu’.

    Kama kutiba ‘alalladzina min qoblikum seperti yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, artinya puasa tidak bisa lepas dari manusia. Baik manusia dulu maupun manusia sekarang bahkan manusia akan datang. Jika ingin tetap eksis mempertahankan dirinya dan terangkat martabatnya sebagai manusia yang mulia di sisi Allah, maka harus menjalani prosesi kematangan diri yang disebut shaum atau puasa.

    La’allakum tattaqun agar kamu bertaqwa, artinya shaum atau puasa yang benar akan melahirkan manusia taqwa, suatu kedudukan derajat tertinggi bagi manusia di sisi Allah. Sebaliknya, shaum yang hanya dilakukan secara tradisi, sekedar menggugurkan kewajiban dengan menahan diri dari tidak makan dan tidak minum pada siang hari, tetapi tidak mengindahkan kaifiyatus shaum dengan benar maka shaumnya sia-sia. Dan itu yang tidak dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sayang sekali jika shaum yang kita lakukan setiap tahun menahan lapar dan dahaga di siang hari, ngantuk karena kurang tidur di malam hari, lelah dan capek satu bulan lamanya kalau hanya terjebak pada ritual tanpa makna. Ceremonial tanpa mendapatkan hikmah dan arti apa-apa.

    Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah dan Ath Tabrani dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi hasil yang diperoleh dari puasanya hanya lapar dan dahaga saja. Dan berapa banyak dari orang yang shalat malam tetapi hasil yang diperoleh hanya berjaga malam saja.”

    Adapun definisi shaum menurut para Ulama Syara’ tidak lain sebagai berikut : ”Shaum yaitu menahan diri dari makan, minum dan menggauli istri, dari waktu fajar hingga maghrib, karena menghadap akan Allah (ikhlas hanya karena Allah semata-mata) dan untuk mempersiapkan diri menjadi orang yang bertaqwa kepada Nya. Dengan jalan memperhatikan Allah dan mendidik kehendak.”(Tafsir Al Manar 11 : 157)

    Dengan definisi shaum tersebut diatas, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan antara lain:

    1. Shaum tidak hanya menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan Shaum. Tetapi lebih jauh dari itu shaum harus dilakukan karena Allah dan hanya dipersembahkan hanya kepada Allah dengan mengharap keridhoan-Nya semata-mata.
    2. Melatih jiwa raga dengan shaum agar menjadi orang yang bertaqwa dengan cara mendekatkan diri dan memperhatikan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta Allah Rabbul Jalali wal ikram, yang telah memelihara serta menjamin semua keperluan hidup kita.
    3. Mendidik kehendak yang selalu bergolak mengikuti irama selera yang tak ada habis-habisnya, memilih mana yang yang harus diikuti dan mana yang harus di tinggalkan. Sehingga keluar dari bulan Ramadhan pribadi-pribadi yang matang secara emosional dan spiritual.


    ADABIYAH SHAUM

    Untuk melakukan shaum yang berkualitas, perlu memperhatikan adabiyah shaum antara lain sebagai berikut :
    Pertama, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat merusak shaum, seperti mengumpat, menggunjing, mencela, memaki, dan sebagainya.

    Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan, ’zur’ (dusta, umpat, fitnah, dan perkataan yang menimbulkan murka Allah, permusuhan) dan tidak meninggalkan pekerjaan itu serta sikap jahil, maka tak ada hajat bagi Allah ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)

    Kedua, tidak rakus dengan memperbanyak berbagai macam makanan dan minuman dikala berbuka dan bersahur.

    Ketiga, tidak banyak tidur di siang hari, tetap tetap beraktivitas dan meningkatkan ibadah dan amal sholeh.

    Keempat, menahan hati dan pikiran dari angan-angan dan keinginan-keinginan yang rendah apalagi tidak terpuji.

    Kelima, mentafakuri dahsyatnya lapar dan dahaga serta sengsaranya hari kiamat yang pasti akan dialami oleh setiap manusia.

    Keenam, menumbuhkan kepekaan iman,ketajaman penglihatan mata hati, dan rasa harap-harap cemas apakah shaum kita diterima atau ditolak.

    ATSAARUS SHIYAM (Pengaruh Puasa)

    Jika puasa kita lakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulullah maka puasa akan berpengaruh dan memberi sibghah terhadap karakter dan mampu mewarnai sikap dan prilaku :

    Pertama : Dengan Imanan wahtisaban menciptakan iklim kondusif bagi hubungan seorang hamba kepada Allah dan hubungan sosial yang harmonis. Dan ini menjadi sumber segala keutamaan dan kemaslahatan. Keikhlasan dan kejujuran hanya muncul bila seseorang mampu menghubungkan jiwanya kepada Allah sehingga dimanapun dia selalu merasa dikontrol, diawasi Allah SWT.

    Karena itulah puasa sarat akan makna yang berdimensi nilai spiritual dan sosial yang sangat tinggi, mulia, dan suci. Al-Quran menyebut sebagai Hablum minallah wahablum minannas. Dengan dua hal tersebut manusia terangkat harkat dan martabat diri dan terjaga dari kehinaan dimata Allah SWT.(QS.Ali Imran ;112)

    Kedua : Puasa dengan karakternya akan menyentuh relung hait nurani, menggugah rasa cinta kasih terhadap sesama dan membangkitkan ketulusan jiwa yang melahirkan sikap itsariyah atau altruisme yaitu sikap tenggang rasa, kepekaan Sosial dalam kebersamaan serta rela berkorban untuk perduli dan kebahagiaan orang lain dengan simpati dan empati. Dan hebatnya lagi dilakukan atas dasar mahabbah lillahi ta’ala tanpa pamrih. Maka bisa kita saksikan betapa rahimnya para shaimin dan shaimah di bulan Ramadhan. Bertebaran shadaqah di mana-mana, Ibu-ibu dengan wajah sumringah menyediakan ta’jil makanan untuk buka bersama. Anak-anak yatim piatu, fakir miskin bisa sejenak melepas derita dan terhibur.

    Ketiga : Puasa menurut penelitian para psikolog dan kenyataan membuktikan mampu mengembangkan superego (nafsul muthmainnah). Kematangan emosional dan pengendalian diri dalam segala keadaan baik senang maupun susah, lapang maupun sempit tetap stabil. Tidak meledak-ledak seperti petasan atau merajuk-rajuk gelap mata dalam keputus asaan dari rahmat Allah. Dan kematangan superego atau nafsul muthmainnah ini menjadi produk puasa yang mampu mengikis emosional yang destruktif, egoisme, dan arogan.

    Keempat : Puasa yang benar dengan segala adabiyahnya akan memberikan terapi terhadap berbagai macam penyakit Sosial. Seperti akibat buruk dari falsafah sekuler, liberalisme, hedonisme, eksistensialisme dari barat yang di ekspor ke berbagai Negara muslim termasuk Indonesia sehingga umat Islam meninggalkan syareat agamanya dan cendrung menjadi penganut mereka yang permissire soecity, masyarakat bebas nilai, jor-joran semau ‘gue.’

    Akibatnya korupsi, manipulasi, prostitusi, aborsi, mutilasi, dan ekstasi merajalela di negeri yang notabene berpenduduk muslim ini. Ini semua adalah produk dari manusia yang jiwanya sakit, nuraninya mati, karena kufur kepada Allah. Banyak orang pintar keblinger, banyak orang kaya harta miskin jiwa, banyak orang berpangkat tinggi tetapi martabatnya rendah. Banyak orang pandai bersolek mempercantik diri menjadi tampan dan cantik tapi hatinya busuk dan keji. Naudzubillahi mindzalik.

    Upaya memperbaiki keadaan seperti itu, harus diperbaiki manusianya. Manusia hanya bisa diperbaiki dengan konsep dan cara-cara yang datang dari yang menciptakan manusia yaitu Allah SWT. Allah telah menegaskan bahwa manusia yang hidup itu punya jiwa, nafsu dan syahwat. Sedang nafsu dan syahwat itu hanya bisa dikendalikan oleh shaum atau puasa bukan dengan yang lain.

    KESIMPULAN

    Shaum atau puasa adalah ibadah khusus yang berdimensi spiritual dengan ibdatur sirri mampu menciptakan iklim kondusif bagi tumbuhnya iman dan ihsan yang menjadi inti dan sumber segala kebajikan dan keutamaan manusia. Dengan shaum diharapkan mampu menciptakan individu bertaqwa yang memiliki kepribadian luhur. Sehingga shaum melahirkan ketaatan terhadap segala perintah Allah (QS.An-Nur ;51). Tulus dan ikhlas mengabdi tanpa pamrih (QS.Al Bayyinah ;5). Menempatkan sekala prioritas Allah, Rasul dan jihad diatas segalanya (QS.At Taubah ;24). Hidup terpimpin, taat, tertib dan disiplin dalam satu kepemimpinan yang mengikuti pola kenabian (QS.Al-Maidah 55-56 /An-Nisa ;59)

    Wallahu a’lam bishshawaab

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism