Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Rabu, 23 Oktober 2013

  • Bahaya Hasad

    Salah satu penyakit hati yang besar adalah hasad. Hasad (dengki) adalah sikap batin yang tidak senang terhadap kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya dari orang tersebut. Imam Ghazali mengatakan bahwa hasad adalah cabang dari syukh yaitu sikap batin yang bakhil berbuat baik.

    Kata hasad berasal dari bahasa Arab, yaitu “hasadun” yang berarti dengki, benci. Dengki merupakan suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan rasa marah, tidak suka karena iri. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata “hasad” diartikan membangkitkan hati seseorang supaya marah (melawan, memberontak, dan sebagainya). Dengan demikian yang dimaksud dengan hasad, yakni suatu perbuatan tercela sebagai akibat adanya rasa iri hati dalam hati seseorang.

    Rasulullah saw bersabda, Dari az-Zubair bin al-Awwam berkata, telah bersabda Nabi Saw, “Penyakit umat sebelum kalian telah menjalar kepada kalian yaitu hasad dan kebencian adalah pencukur. Aku tidak mengatakan pencukur rambut namun pencukur agama.”  [HR at-Turmudziy: 2510 dan Ahmad: I/ 165, 167. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan,]

    Lebih jauh para ulama mengemukakan pengertian hasad sebagai berikut; Pertama, menurut Al-Jurjani Al-Hanafi dalam kitabnya “Al Ta’rifaat” hasad  ialah menginginkan atau mengharapkan hilangnya nikmat dari orang yang didengki (mahsud) supaya berpindah kepadanya (orang yang mendengki atau hasad). Kedua, menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” hasad ialah membenci nikmat Allah Swt yang ada pada diri orang lain, serta menyukai hilangnya nikmat tersebut.

    Ketiga, menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya “Al Manar” hasad ialah kerja emosional yang berhubungan dengan keinginan agar nikmat yang diberikan Allah Swt kepada seseorang dari hambaNya hilang dari padanya. Baik cara yang dipergunakan oleh orang yang dengki itu dengan tindakan supaya nikmat itu lenyap dari padanya atas dasar iri hati, atau cukup dengan keinginan saja. Yang jelas motif dari tindakan itu adalah kejahatan.

    Rasulullah Saw dalam sabdanya memerintahkan untuk menjauhi sifat ini, “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap hasad (dengki), karena sesungguhnya sikap hasad itu memakan (menghabiskan) kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan (menghabiskan) kayu bakar“. (HR. Abu Daud -Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

    Yang sangat menarik dari redaksional hadits di atas adalah kata hasad dalam bentuk mufrad (singular) dan hasanaat dalam bentuk jamak (plurat), ini artinya satu kali berbuat hasad akan berakibat kepada rusaknya amal-amal kebaikan yang pernah dilakukan.

    Oleh karena itu prilaku hasad sebagaimana diutarakan diatas adalah termasuk satu dari jenis-jenis perbuatan yang terlarang. Rasulullah Saw bersabda,

    Artinya, “Janganlah kamu sekalian saling mendengki, membenci, dan saling belakang-membelakangi; tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Kendati demikian, perlu diketahui bahwa ada pula prilaku hasad yang dibolehkan, karena berdampak positif, yang dalam istilah lainnya disebut dengan al-ghibtah. Hasad dalam arti al-ghibtah ini dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw:

    “Tidak boleh hasad kecuali dalam dua hal, yaitu (hasad kepada) orang-orang yang diberi kemampuan (membaca) al-Quran oleh Allah, lalu dia menegakkan (melaksanakan membaca) al-Quran baik diwaktu siang ataupun malam dan (hasad kepada) orang-orang yang diberi harta oleh Allah lalu dia infakkan baik diwaktu malam ataupun diwaktu siang.” (HR. Muslim).

    BAHAYA HASAD

    Seperti disebut di atas, hasad adalah sifat negatif yang dimiliki oleh setip orang. Ada beberapa bahaya sifat hasad antara lain; Pertama, tidak menyukai apa yang Allah takdirkan. Merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain pada hakikatnya adalah tidak suka dengan apa yang telah Allah takdirkan dan menentang takdir Allah.

    Kedua, hasad itu akan melahap kebaikan seseorang sebagaimana api melahap kayu bakar yang kering karena biasanya orang yang hasad itu akan melanggar hak-hak orang yang tidak dia sukai dengan menyebutkan kejelekan-kejelekannya, berupaya agar orang lain membencinya, merendahkan martabatnya dll. Ini semua adalah dosa besar yang bisa melahap habis berbagai kebaikan yang ada.

    Ketiga, kesengsaraan yang ada di dalam hati orang yang hasad. Setiap kali dia saksikan tambahan nikmat yang didapatkan oleh orang lain maka dadanya terasa sesak dan bersusah hati. Akan selalu dia awasi orang yang tidak dia sukai dan setiap kali Allah memberi limpahan nikmat kepada orang lain maka dia berduka dan susah hati.

    Keempat, memiliki sifat hasad adalah menyerupai karakter orang-orang Yahudi. Karena siapa saja yang memiliki ciri khas orang kafir maka dia menjadi bagian dari mereka dalam ciri khas tersebut. Nabi bersabda, “Barang siapa menyerupai sekelompok orang maka dia bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, shahih).

    Kelima, seberapa pun besar kadar hasad seseorang, tidak mungkin baginya untuk menghilangkan nikmat yang telah Allah karuniakan. Jika telah disadari bahwa itu adalah suatu yang mustahil mengapa masih ada hasad di dalam hati.

    Keenam, hasad bertolak belakang dengan iman yang sempurna. Nabi saw bersabda, “Kalian tidak akan beriman hingga menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Ketujuh, hasad adalah penyebab meninggalkan berdoa meminta karunia Allah. Orang yang hasad selalu memikirkan nikmat yang ada pada orang lain sehingga tidak pernah berdoa meminta karunia Allah padahal Allah ta’ala berfirman,  “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Qs. an Nisa’: 32).

    Kedelapan, hasad penyebab sikap meremehkan nikmat yang ada. Maksudnya orang yang hasad berpandangan bahwa dirinya tidak diberi nikmat. Orang yang dia dengki-lah yang mendapatkan nikmat yang lebih besar dari pada nikmat yang Allah berikan kepadanya. Pada saat demikian orang tersebut akan meremehkan nikmat yang ada pada dirinya sehingga dia tidak mau menyukuri nikmat tersebut.

    Kesembilan, hasad adalah akhlak tercela. Orang yang hasad mengawasi nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang di sekelilingnya dan berusaha menjauhkan orang lain dari orang yang tidak sukai tersebut dengan cara merendahkan martabatnya, meremehkan kebaikan yang telah dia lakukan dll.

    Kesepuluh, ketika hasad timbul umumnya orang yang di dengki itu akan dizalimi sehingga orang yang di dengki itu punya hak di akhirat nanti untuk mengambil kebaikan orang yang dengki kepadanya. Jika kebaikannya sudah habis maka dosa orang yang di dengki akan dikurangi lalu diberikan kepada orang yang dengki. Setelah itu orang yang dengki tersebut akan dicampakkan ke dalam neraka.
    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Rabu, 09 Oktober 2013

  • Amalan di Bulan Dzulhijjah

    Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan mulia dalam Islam. Karena di dalamnya terdapat amalan-amalan mulia; shaum Arafah, haji ke Baitullah, ibadah qurban, dan lain sebagainya, yang sebagiannya tidak bisa dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

    Sejarah mencatat dua hamba Allah yang taat ini dan diabadikan-Nya dalam firmannya dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaffat [37]: 102-109,
    فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
    “Maka tatkala anak (Isma’il) itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim ‘alaihissalam, Ibrahim ‘alaihissalam berkata: ”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
    فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ () وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ () قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ () إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ () وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
    Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim ‘alaihissalam membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: ”Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS ash-Shaffat [37]:103-107)

    Pada ayat ini mengambarkan ketaatan dan keikhlasan Nabi Ibrahim as., Dan putranya Ismail dalam menjalankan perintah Rabbnya. Tak ada keraguan sedikit pun dalam hatinya untuk menjalankan perintah Allah walau dirasa berat. Dan hendaknya hal ini menjadi pelajaran bagi tiap muslim dalam menghadapi semua perintah Allah Subahanahu Wa Ta’ala, termasuk menyembelih hewan qurban dan amalan lainnya di bulan Dzulhijjah ini.

    Di antara amalan mulia tersebut adalah:

    a) Banyak Berdzikir
    Pada sepuluh hari yang pertama bulan Dzulhijjah, kita disyariatkan untuk banyak berdzikir kepada Allah sebagaimana firman-Nya,
    وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ 
    “...Dan supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj [22]: 28)

    Rasulullah bersabda: “Tidaklah ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para sahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah tidak lebih utama?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidaklah jihad lebih utama (dari beramal di hari-hari tersebut), kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan keduanya (karena mati syahid).” (HR. Al-Bukhari)

    b) Puasa Arafah
    Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman:
    لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
    Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj [22]: 28)

    Diterangkan dalam tafsirnya, bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat 28 surat Al-Hajj di atas adalah  hari raya haji dan hari tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Ini adalah karunia Allah Ta’ala bagi orang yang belum mampu menjalankan ibadah haji untuk mendapatkan keutamaan yang besar pula, yaitu beramal shalih pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

    Termasuk amal ibadah yang disyariatkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut –kecuali hari yang kesepuluh (Idul Adha)– adalah puasa. Apalagi ketika menjumpai hari Arafah, yaitu hari kesembilan di bulan Dzulhijjah, sangat ditekankan bagi kaum muslimin untuk berpuasa yang dikenal dengan istilah puasa Arafah, kecuali bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab: “(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)

    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa hari itu adalah hari pengampunan dosa-dosa dan hari dibebaskannya hamba-hamba yang Allah kehendaki dari api neraka. Sebagaimana dalam sabda beliau “Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka, lebih banyak daripada di hari Arafah.” (HR. Muslim)

    c) Haji ke Baitullah
    Haji ke Baitullah merupakan ibadah yang sangat mulia dalam agama Islam. Kemuliaannya memposisikannya sebagai salah satu dari lima rukun Islam.

    Agama Islam dibangun di atas lima perkara; bersyahadat bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beliau Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum di bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar ra.)

    Ibadah haji mempunyai hikmah yang besar, mengandung rahasia yang tinggi serta tujuan yang mulia, dari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi mereka.” (Al-Hajj [22]: 28)

    Di antara hikmah dan pelajaran penting tersebut adalah: Pertama, perwujudan tauhid yang murni dari noda-noda kesyirikan dalam hati sanubari, manakala para jamaah haji bertalbiyah. Kedua, pendidikan hati untuk senantiasa khusyu’, tawadhu’, dan penghambaan diri kepada Rabbul ‘Alamin, ketika melakukan thawaf, wukuf di Arafah, serta amalan haji lainnya.

    Ketiga, pembersihan jiwa untuk senantiasa ikhlas dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika menyembelih hewan qurban di hari-hari haji.

    Keempat, kepatuhan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tanpa diiringi rasa berat hati, ketika mencium Hajar Aswad dan mengusap Rukun Yamani.

    Kelima, Dengan pakaian yang sama, berada di tempat yang sama, serta menunaikan amalan yang sama pula (haji), menandakan bahwa umat Islam adalah satu, tidak ada perbedaan yang mengharuskan perpecahan umat. Dengan inipula kehidupan berjamaah dan berimamah harus diupayakan, sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat Ali Imran: 103, “Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah seraya berjama’ah dan jangan berpecah belah...”

    d) Menyembelih Hewan Qurban
    Menyembelih hewan qurban pada hari raya Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (tanggal 11,12, 13 Dzulhijjah) merupakan syariat Islam pada bulan Dzulhijjah. Di antara  bukti kemuliaannya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya semenjak berada di kota Madinah hingga wafatnya. Sebagaimana yang diberitakan sahabat Abdullah bin Umar ra.

    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun tinggal di kota Madinah senantiasa menyembelih hewan qurban.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi,  Tirmidzi  berkata: ‘Hadits ini hasan’)

    Penyembelihan hewan qurban, bila dirunut sejarahnya, juga tidak lepas dari sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan putra beliau Nabi Ismail ‘alaihissalam. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan dalam kitab suci Al-Qur`an: (Ash-Shaffat [37]: 102-109) Pada ayat ini mengambarkan ketaatan dan keikhlasan Ibrahim as., Dan putranya Ismail dalam menjalankan perintah Rabbnya. Tak ada keraguan sedikit pun dalam hatinya untuk menjalankan perintah Allah walau dirasa berat.

    Sekali lagi, Ini tentunya harus menjadi teladan mulia bagi kita semua, dalam hal ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala khususnya dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang terkait pada bulan Dzulhijjah. (An/berbagai sumber)

    Waallahu a'lamu bishowab.

  • Rabu, 02 Oktober 2013

  • Ibadah Haji dan Kesatuan Ummat Islam

    Jutaan tamu-tamu Allah pada bulan Dzulhijjah menunaikan rukun Islam kelima yakni ibadah haji ke Baitullah. Pengorbanan fisik, material, mental, jiwa, dan raga, ditunaikan oleh mereka guna menggapai haji mabrur karena Allah. Kedudukannya yang tinggi sebagai puncak rukun Islam yang lima, senantiasa mengundang rindu umat Islam. Sehingga walaupun sudah pernah pergi menghadap Allah langsung di depan Ka’bah, berkunjung ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Masjid Nabawi, keinginan itu terus saja muncul. Mengingat begitu besarnya pahala keridhoan-Nya.

    Allah menyebutkan di dalam firman-Nya :
     وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
    Artinya : "..... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Maha Kaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam". (QS. Ali Imran [3] : 97).

    وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
    Artinya : "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi faqir." (QS Al-Hajj [22] : 27-28).

    Di dalam hadits disebutkan :
     اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ اِلاَّ الْجَنَّةَ
    Artinya : “Haji mabrur itu tidak lain balasan baginya kecuali surga.” (HR Bukhari dan Muslim).

    Pelajaran dari Haji

    Syariat haji di samping sebagai ibadah individu, di dalamnya kental dengan nilai-nilai sosial, kebersamaan dan kesatuan umat. Ritual-ritual sarat makna yang dilakukan sebagai kesempurnaan ibadah haji, seperti memakai kain ihram, mengucapkan talbiyah, melakukan thawaf mengitari Ka’bah, Sa’i dari Shafa ke Marwah, wuquf di Arafah, dan lempar jumrah, sarat dengan makna keberjamaahan.

    Pertama Berpakaian Ihram yang sama putih tak berjahit, menandakan bahwa sesunguhnya tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat. Semua memiliki derajat sama di hadapan Allah, kecuali takwanya.

    إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
    Artinya : "..... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (QS Al-Hujurat [49] : 13).

    Kedua, Thowaf, mengandung isyarat keluar dari lingkungan manusia yang buas masuk ke dalam lingkungan Rabbaniyah yang penuh kasih sayang, saling menghargai dan saling menghormati. Sebelum thowaf, jamaah haji terlebih dahulu melontar jumrah sebagai pertanda mengusir setan yang menggoda Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as dan Siti Hajar. Itu artinya, setiap jemaah haji harus selalu berusaha mengusir godaan setan yang bersarang dalam dirinya.

    Lempar jumrah juga pertanda penumpasan terhadap segala bentuk kezaliman, penjajahan, dan penindasan antar sesama. Musuh-musuh Islam tidak dapat dikalahkan hanya dengan satu atau dua orang berpecah-belah. Tetapi hanya dapat ditaklukkan dengan cara hidup berjamaah, bersatu dalam kepemimpinan yang mengikuti jejak kenabian.

    Ketiga, Sa'i, mengandung isyarat kesediaan menjalankan tugas dan tanggung jawab (berjalan) bagi jemaah haji ke arah hal-hal yang positif dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.

    Keempat, Tahallul, (memotong rambut) mengandung isyarat pembersihan, penghapusan sisa-sisa cara berfikir yang kotor dari manusia. Jemaah haji yang telah menjalankan tahallul mesti harus memiliki cara pikir, konsep kehidupan yang bersih, baik tidak menyimpang dari etika dan norma sosial maupun agama.

    Makna sosial ibadah haji adalah mengajarkan kepada umat Islam umumnya dan jemaah haji khususnya senantiasa merubah pikiran, sikap serta perilaku (tindakan) yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan orang lain, jangan sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru yang paling esensial adalah sibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, menghargai serta saling menjunjung tinggi martabat manusia.

    Sabda Rasululullah dalam kitab Ruhu Bayan Jilid II: "Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal; (1) sikap wara' yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, (2) sikap sabar yang dapat meredam amarah, (3) dan bergaul baik dengan sesama manusia."

    Di sinilah makna sosial dari ibadah haji. Semoga saudara-saudara Muslim yang sekarang diberi kenikmatan dapat menjalankan ibadah haji bisa mengambil makna sosial dari ibadah haji, tanpa harus mengurangi kualitas amalan ritual dalam ibadah hajinya.

    Dan bagi yang belum berkesempatan menunaikan rukun Islam ini, hendaknya senantiasa berdo’a dan berusaha, selanjutnya, dapat mengambil hikmah dari pelajaran nilai-nilai haji ini untuk diaplikasikan seraya mengapai ketaqwaan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Kesatuan Ummat

    Wihdatul ummah (kesatuan umat) inilah hikmah terbesar dalam seluruh rangkaian ibadah haji, di mana jamaah dari seluruh dunia larut dalam satu kesatuan pakaian serba putih. Para hujjaj pun thawaf mengelilingi Ka’bah yang satu, menyembah Tuhan yang satu, mengikuti manasik dari nabi yang satu, membaca talbiyah dan berdzikir dalam bahasa yang satu.

    Lewat perhelatan akbar haji Allah mengingatkan bahwa sesungguhnya umat Islam di seluruh dunia adalah umat yang satu. Sebagaimana Firman Allah,
    إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
    Artinya : “Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (QS. Al-Anbiya [21] : 92)

    Kewajiban kaum muslimin hidup berjama'ah merupakan syari'at Allah. Karena itu, mengamalkannya sama dengan menegakkan syari'at Allah di permukaan bumi ini.

    Sesuai dengan firman Allah di dalam ayat-Nya :
    وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
    Artinya : "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali [agama] Allah seraya berjama'ah dan janganlah kamu bercerai berai....." (QS. Ali Imran [3] : 103).
    تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْا
    Artinya : “Tetaplah engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imaam mereka.” (Hadits Shohih Riwayat Bukhari dan Muslim).

    Semoga dengan perjalanan ibadah haji dapat membangkitkan kesadaran sosial akan pentingnya kesatuan dan persatuan sesama umat Islam. Serta momentum utama menjauhkan diri dari pertikaian, perpecahan, dan pertumpahan darah sesama muslim. Amin Yaa Robbal 'Alamin.

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism