Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Selasa, 24 Desember 2013

  • Kedudukan Wanita Dalam Islam

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
    فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِّنْ عِندِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
    “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik". (Q.S. Ali Imran [3]: 195)

    Asbabun Nuzul

    Dalam sebuah riwayat bahwa Umu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, Saya tidak mendengar Allah menyebut khusus kaum wanita dalam Al-Qur’an mengenai peristiwa hijrah.” Maka Allah menurunkan ayat ini. (H.R. Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ibnu Abi Hatim).

    Melalui ayat ini Allah menjelaskan bahwa dunia ini tidak didominasi oleh orang laki-laki. Kaum wanita pun memiliki peran yang sangat penting. “Sebagian kalian adalah sebagian yang lain.” Artinya semua pekerjaan dalam masyarakat adalah perpaduan antara kerja laki-laki dan wanita. Laki-laki berasal dari laki-laki dan wanita dan demikian pula wanita berasal dari laki-laki dan wanita. Amal mereka semua akan diterima oleh Allah dan tidak akan disia-siakan. Laki-laki dan wanita di hadapan Allah kedudukannya sama, tidak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.

    Inilah pandangan Islam terhadap kaum wanita. Sebelum Islam datang, kaum wanita dalam keadaan teraniaya, tidak berharga, dihina dan diperbudak. Ini terjadi pada semua bangsa di dunia. Dan hal itu dibenarkan oleh hukum dan undang-undang bangsa tersebut, bahkan menurut agama Yahudi dan Nasrani sekalipun.

    Allah menggambarkan bagaimana reaksi orang arab ketika isterinya melahirkan bayi wanita, sangat marah, mengurung diri, merasa terhina bahkan berupaya menguburkan bayinya (Q.S. An-Nahl [16]: 58-59). Tetapi Allah jelaskan, pada akhir ayatnya “Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”

    Kondisi kaum wanita seperti ini terus berlangsung hingga Islam datang memperbaiki dan mengangkat kedudukan mereka. Dalam rangka memperbaiki dan mengangkat kedudukan kaum wanita, Islam menggariskan pokok-pokok ajaran antara lain:

    Menetapkan wanita adalah manusia

    يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
    “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al Hujurat [49]: 13)

    Pada ayat yang lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
    يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا 
    “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; ...(Q.S. An Nisaa [4]: 1)

    Pada saat itu di beberapa negara kaum pria berselisih mengenai status wanita. Apakah wanita termasuk manusia yang mempunyai jiwa dan roh seperti pria atau tidak? Apakah wanita boleh diajari agama atau tidak. Kalau boleh, sahkah atau diterimakah ibadahnya atau tidak? Untuk menyelesaikan pendapat-pendapat soal status wanita, maka sebuah konferensi yang diselenggarakan di Roma menetapkan bahwa wanita adalah binatang najis, tidak mempunyai roh dan tidak bisa hidup kekal, akan tetapi mereka diwajibkan beribadah dan menjadi pelayan kemudian mulutnya harus diberangus seperti unta dan anjing galak agar tidak bisa tertawa dan berbicara, sebab mereka itu perangkap setan.

    Memerintahkan wanita menutup aurat

    Allah Ta’ala berfirman:
    يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
    “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al Ahzab [33]: 59)

    Jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh. Pakaian islami yang diwajibkan atas wanita adalah semua pakaian yang tidak membentuk lekuk tubuh, tidak transparan dan tidak menyerupai laki-laki.
    Di samping itu kaum wanita diwajibkan memakai kerudung. Sebagaimana firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya… (Q.S. An Nur [24]: 31)

    Khimar adalah kain penutup kepala sedang al-jaib bagian pakaian yang terbuka di atas dada.

    Adapun soal cadar, para ulama berselisih pendapat tentang pemakaiannya. Jumhur ulama tidak mewajibkan wanita memakai cadar. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya… (Q.S. An Nur [24]: 31)

    Jumhur ulama di kalangan sahabat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘apa yang biasa tampak’ adalah wajah dan telapak tangan. Penafsiran ini diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas dan Anas bin Malik, Aisyah Radhiyallahu ‘Anhum.

    Di lain pihak ada sebagian ulama yang berpendapat, seorang wanita muslimah wajib mengenakan cadar dengan alasan hadis di atas adalah dhaif. Di samping itu mereka berpegang pada hadis dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ‘Rombongan-rombongan haji melintasi kami yang sedang dalam keadaan ihram bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jika salah satu rombongan itu sejajar dengan kami, maka setiap kami akan menurunkan jilbabnya dari arah kepalanya untuk menutup wajahnya. Bila mereka telah menjauh dari kami, maka kami membuka wajah kami kembali. (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)

    Al-Qur’an tidak menentukan bentuk pakaian wanita secara detail. Yang ditekankan adalah menutup aurat. Maka bentuk (mode) pakaian dapat sesuai dengan waktu dan tempat.

    Memberikan warisan kepada wanita

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An Nisaa : 7)

    Ayat ini adalah kunci dalam masalah waris. Ia merupakan ayat pertama yang berbicara tentang implementasi waris secara prinsip sesuai dengan urutannya dalam Al-Qur’an. Intinya masing-masing pihak yang memiliki pertalian nasab berhak mendapatkan bagian dari harta pusaka, besar maupun kecil sesuai dengan ketentuan yang dijabarkan secara detail di dua ayat sesudahnya yaitu ayat 11 dan 12. Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, mengemukakan bahwa tiga ayat ini (7, 11 dan 12) merupakan salah satu rukun Ad-Din (pilar agama), penguat hukum, dan induk ayat-ayat Al-Qur’an.

    Membatasi jumlah isteri

    Allah berfirman: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An Nisaa [4]: 3)

    Sebelum ayat ini turun, pria Arab, Yahudi, dan bangsa-bangsa lain mengambil wanita sebagai isteri sekehendak hati, jumlahnya tidak terbatas dan sama sekali tidak disyaratkan adil terhadap isteri-isterinya. Maka datanglah ayat di atas, menentukan batas, pria tidak boleh beristeri lebih dari empat orang dan bagi pria yang ragu dirinya tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, diwajibkan agar beristeri satu saja.

    Menghormati kaum ibu

    Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:

    “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (Q.S. Al Ahqaf : 15)

    Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Rasulullah menyatakan ibu disebut sebanyak tiga kali dibanding bapak yang hanya satu kali untuk di pergauli dengan baik oleh anaknya.

    Ketika menyebutkan hadis ini, Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan, “Ibnu Bathal berkata, “Hadis tersebut menunjukkan bahwa hendaknya seorang ibu mendapatkan tiga kali lipat dari pada seorang ayah dalam hal berbakti. Hal ini dikarenakan seorang ibu mengalami kesulitan saat mengandung, melahirkan, dan meyusui. Ketiga hal ini merupakan bagian yang hanya dirasakan oleh ibu. Sedangkan ayah hanya terlibat dalam mendidik anak.” Hal inilah yang diisyaratkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya: (Q.S. Luqman [31]: 14)

    Ayat dan hadis di atas adalah sebagian dalil yang menunjukkan bahwa syariat Islam sangat menghargai dan memuliakan seorang ibu.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Rabu, 18 Desember 2013

  • Intifadhah Baru Palestina

    Media Palestina Al-Ray edisi 4 Desember 2013 mengungkap statemen Perdana Menteri Palestina di Jalur Gaza Ismail Haniyyah yang menyebutkan, saat ini Palestina sedang menyiapkan Intifadhah baru melawan arogansi Israel.

    Menurut Haniyyah, kejahatan berlarut-larut penjajah Israel terhadap warga Palestina dan penodaan Masjid Al-Aqsha merupakan pemicunya.

    Pengusiran dan penggusuran warga di Tepi Barat serta blokade darat, laut dan udara di sepanjang Jalur Gaza turut mempercepat aksi perlawanan tersebut.

    Awal Intifadhah

    Intifada berasal dari bahasa arab intifadhah, asal kata nafadha artinya gerakan,goncangan,revolusi,berjuang sampai mati, bangun mendadak dari tidur atau dari keadaan tak sadar.

    Istilah intifadhah digunakan oleh gerakan perlawanan Islam Hamas (harakah al-muqawwamah al-islamiyyah) dalam melawan penjajahan Israel di Palestina.
    Ilustrasi Intifadhah

    Intifadhah Pertama (1987-1993) dikumandangkan awal mula 9 Desember 1987. Seluruh warga  yang ada di Palestina merapatkan barisan, menjadi satu shaf, tua muda, laki-laki dan sebagian perempuan. Banyak media yang menyebut sebagai perlawanan terdahsyat sejak proklamasi sepihak Zionis Israel tahun 1948.

    Hebatnya lagi, pada Intifadhah ini, Palestina berperang tanpa persenjataan dan tanpa dibantu negara-negara Arab tetangganya.

    Satu-satunya senjata yang kemudian menjadi legenda sampai kini dan dijadikan sebagai salah satu ikon perlawanan adalah batu (intifadhah al-hijarah).

    Diperkirakan 1.100 warga Palestina terbunuh dan 164 orang Israel tewas.

    Intifadhah Pertama dianggap selesai 13 September 1993, saat Perjanjian Oslo ditandantangani di Gedung Putih AS. PM Israel Yitzhak Rabin dan Ketua PLO (Palestine Liberation Organisation) Yasser Arafat bersalaman disaksikan Presiden AS Bill Clinton.

    Namun, belum genap tiga tahun, Perjanjian itu sudah dianggap mati, ditandai kebijakan represif Israel terhadap Palestina yang tak kunjung berhenti.

    Terlebih ketika Perdana Menteri Ariel Sharon, menginjakkan kaki kotornya ke Masjid Al-Aqsha tahun 2000. Intifadhah Jilid Kedua pun (2000-2007) serentak meletus, yang kemudian dikenal dengan Intifadhah Al-Aqsha.

    Intifadhah Al-Aqsha secara resmi belum dan tidak akan pernah berakhir berakhir. Namun, alih-alih meredam perlawanan para pejuangan pergerakan, disepekatilah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Sharm el-Sheikh tahun 2005 berupa gencatan senjata seluruh pihak terkait di Palestina.

    Januari 2006 Hamas memenangkan pemilu legislatif Palestina, dan tokoh Hamas Ismail Haniyyah menjadi Perdana Menteri. Hal ini memicu kemarahan Israel dan Amerika Serikat. Kekerasan pun kembali terjadi. Haniyyah yang terpilih secara demokratis tidak diakui dunia internasional.

    Pada Juni 2006 Israel kembali menginvasi Jalur Gaza  dalam Operasi Hujan Musim Panas. Namun pada 26 November 2006 Israel dan kelompok militan Palestina menyetujui gencatan senjata. Pada Mei 2007 kekerasan kembali terjadi, menyusul serangan udara Israel ke Gaza dan gempuran roket Al-Qassam ke Israel.

    Korban tewas dari militer dan sipil sepanjang konflik 2000-2007 diperkirakan 4.219 Palestina dan 1.024 Israel.

    Tahun 2012 pasukan Israel kembali membombardir Jalur Gaza sepanjang siang malam. Namun, akhirnya Israel kembali meminta gencatan senjata karena tidak sanggup lagi menghadapi roket-roket baru dari Jalur Gaza yang menghujani Tel Aviv. Kala itu seluruh sayap militer bersatu menyerang bersama, dari divisi Hamas, Fatah, Jihad Islami, dan kelompok perjuangan lainnya.

    Intifadhah Baru

    PM Haniyyah menyatakan, intifadhah baru jilid ketiga kali ini melawan dari segala sektor atas pelanggaran berulang-ulang Israel terhadap hak-hak Palestina.

    Haniyyah menggambarkan, keadaan saat ini di Tepi Barat dan di Jalur Gaza hampir sama dengan yang terlihat sebelum Intifadhah Pertama tahun 1987.

    "Kini orang-orang Palestina akan melanjutkan perjuangan mereka melalui intifadhah baru ini, sampai penjajah Israel hengkang dari seluruh tanah Palestina," katanya.

    Munis Shafiq, seorang cendekiawan Palestina menyatakan bahwa Intifadhah Palestina saat ini adalah sebuah keharusan.

    Dia menekankan bahwa ada indikator kuat kemungkinan pecahnya Intifadhah ini, mengingat kondisi dalam negeri AS yang semakin rapuh dan mulai mengurangi bantuan militer untuk Israel.

    “Rakyat Palestina harus mengeksploitasi kelemahan AS ini untuk meluncurkan Intifadhah Ketiga mencapai tujuan kemerdekaan,” ujarnya.

    Bukan hanya di Jalur Gaza saja bibit intifadhah baru ini akan bangkit kembali. Pengamat politik Eyad el-Qara mengatakan bibit-bibit intifadhah di Tepi Barat juga mulai membesar. Terlebih dengan maraknya pembangunan pemukiman ilegal, penggusuran dan pengusiran warga Palestina keturuanan Arab Badui, hingga yahudisasi kawasan Masjid Al-Aqsha.

    Sementara itu, Kepala Biro Politik Hamas, Khalid Meshaal dalam lawatannya ke Kuala Lumpur 1-4 Desember kemarin mengajak seluruh kekuatan dunia Islam bersatu menghadapi Zionis Israel yang selama ini menjajah Palestina dan menodai Masjid Al-Aqsha.

    Menurutnya, semua umat Islam wajib bersatu dan bekerjasama dari berbagai sektor dalam perjuangan suci pembebasan Masjid Al-Aqsha dan Palestina secara keseluruhan dari penjajahan Israel.

    Termasuk di dalamnya penguasaan ilmu pengetahun dan teknologi yang dapat menandingi kekuatan Israel, sebagai bagian penting dari intifadhah.

    Dukungan Internasional

    Pada bagian lain, Majelis Umum PBB merencanakan untuk menetapkan tahun 2014 sebagai Tahun Solidaritas Internasional untuk RakyatPalestina.

    Tahun solidaritas itu untuk lebih menyuarakan aspirasi rakyat Palestina bagi berdirinya negara  Palestina yang independen dan berdaulatpenuh.

    Signal-signal intifadhah baru yang dirasakan Haniyyah itu pun semestinya dirasakan pula oleh umat Islam dan dunia pada umumnya.

    Sampai tidak ada lagi penjajahan di muka bumi ini karena memang tidak sesuai dengan ajaran agama manapun, perikemanusiaan dan perikeadilan. (Opini/Republika/MINA)


    Wallahu A’lam bis Shawwab.


  • Rabu, 11 Desember 2013

  • Syariat Bai'at dalam Islam

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman yang artinya,  “Bahwasanya orang-orang yang ber-bai’at (berjanji setia) kepadamu, sesungguhnya mereka ber-bai’at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barang siapa yang melanggar bai’at-nya, niscaya akibat pelanggaran itu akan menimpa pada dirinya sendiri. Dan barang siapa yang menepati bai’at-nya kepada Allah, maka Allah memberinya pahala yang besar (surga).” (QS. Al-Fath (48): 10).
    Ilustrasi Bai'at

    Ayat ini adalah salah satu ayat yang mengabarkan tentang syariat “bai’at”, yaitu jual beli atau janji setia kepada Allah melalui perantara khalifah/imarah/pemimpin.

    Tidak seperti syariat shalat, semua Muslim mengenal dan tahu apa itu shalat dan bagaimana tata cara pelaksanaannya. Namun syariat bai’at, masih banyak yang belum mengetahui.

    Bahkan, sebagian dari yang mengetahui, lebih memilih menjauhi orang-orang yang melaksanakan syariat bai’at, karena telah tercitra bahwa bai’at adalah syariat yang berhubungan atau identik dengan kelompok-kelompok garis keras yang menebar teror dengan aksi-aksi peledakan. Ini anggapan yang salah dan harus diluruskan.

    Bai’at adalah syariat sumpah setia kepada Allah (QS. Al-Fath (48): 10). Bai’at adalah syariat untuk mentaati Allah Subhana Wa Ta’ala, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ulil amri (QS. An-Nisaa’ (4): 59). Bai’at adalah transaksi jual beli dengan Allah (QS. At-Taubah (9): 111). Bai’at adalah syariat yang tidak bisa dipisahkan dari syariat jama’ah imamah (sistem kepemimpinan kaum muslimin) sebagaimana atsar Umar bin khaththab radhiyallahu ‘anhu. Bai’at adalah ciri khas seorang Muslim (al-Hadits).

    Pemahaman yang mengatakan bahwa syariat bai’at hanya berlaku pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, adalah pemahaman yang keliru dan harus dikaji ulang. Karena setelah Rasulullah wafat, syariat bai’at tetap dilaksanakan oleh para sahabat.

    Dari Az Zuhri, telah mengkabarkan kepada kami Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia mendengar khutbahnya Umar yang akhir ketika ia duduk di atas mimbar. Waktu itu pagi hari ketika wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kata Umar: “Sesungguhnya Abu Bakar telah diangkat menjadi pimpinanmu, maka berdirilah kamu semua dan ber-bai’at-lah kepadanya.” (HR. Bukhari).

    Para ahli ilmu setidaknya membagi bai’at menjadi 3 macam, yaitu:

    Bai’at masuk Islam. 
    Dari Mujasyi bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia dan anak saudaranya datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hendak berbai’at untuk hijrah. Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Janganlah (berbai’at untuk hijrah), akan tetapi berbai’atlah untuk Islam, karena sesungguhnya tidak ada hijrah sesudah Fathu Makkah (Pembebasan Makkah), dan mengikutinya dengan kebaikan.” (Shahih Ahmad).

    Bai’at imarah (imam/khalifah/pemimpin). 
    Bai’at untuk mengangkat seorang khalifah/imaam. Dari Abdurrahman bin Abdu Rabbil Ka’bah dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barang siapa membai’at seorang imam, lalu ia memberikan telapak tangan dan buah hatinya, maka berikanlah kepadanya apa yang ia mampu. Maka jika datang yang lainnya untuk merebut, maka pukullah batang lehernya.” (HR. Abu Dawud – Muslim).

    Bai’at duniawi. 
    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ”Tiga golongan manusia yang tidak akan berbicara Allah kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan membersihkannya dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu: 

    (1) seseorang yang kelebihan air di tengah jalan, tidak diberikan ke ibnu sabil. (2) Seseorang yang berbai’at kepada imam, tidaklah ia berbai’at kecuali karena dunia, jika diberinya apa yang diingininya, ia sempurnakan bai’atnya dan jika tidak diberinya, ia tidak menepatinya. (3) Seseorang yang berjualan dengan barang jualannya sesudah Ashar, kemudia bersumpah atas nama Allah, sungguh akan diberikannya sekian dan sekian lalu dibenarkannya, kemudian diambil tapi tidak diberikannya.” (HR. Bukhari – Ahmad).

    Syariat bai’at adalah syariat Islam yang juga harus dilaksanakan secara wajar dan terbuka, sebagaimana melaksanakan syariat yang lain. Bai’at adalah bagian dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat.  Maka itu Rasulullah memberi kabar gembira bagi mereka yang melaksanakan sunnahnya.

    Dari Sa’id al-khudry radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  pernah bersabda, “Barang siapa makan (makanan) yang baik, dan beramal di dalam sunnah, dan selamat manusia dari kejahatannya, masuk surga.” (HR. Ad Daruquthny, sahih Al Hakim).

    Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Enam (macam orang) yang mengutuk saya kepada mereka dan Allah mengutuk mereka (juga), padahal tiap-tiap Nabi itu diperkenankan (permohonannya), yaitu: 

    (1) orang yang menambahi kitab Allah, (2) orang yang mendustakan ketentuan Allah, (3) orang yang mengalah kepada pemerintahan yang sombong (kejam), (4) lalu dengan itu ia memuliakan orang yang direndahkan Allah dan merendahkan orang yang dimuliakan Allah, (5) orang yang menghalalkan dari pada keturunan saya yang telah Allah haramkan, dan (6) orang yang meninggalkan sunnah saya.” (HR. At-Tirmidzi, Al-Hakim, hadits sahih).

    Namun alhamudulillah, syariat bai’at ini masih dipraktekkan oleh sebagian umat Islam, sehingga syariat yang begitu menguntungkan ini tidak hilang sama sekali. 

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Rabu, 04 Desember 2013

  • Memuliakan Tetangga

    Tetangga itu ada tiga macam, ada yang hanya mempunyai satu hak, ada yang mempunyai dua hak, dan ada yang mempunyai tiga hak. Adapun tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang serahim. Dia mempunyai hak sebagai tetangga, sebagai Muslim dan sebagai saudara serahim.

    Adapun yang mempunyai dua hak ialah tetangga Muslim yang tidak serahim, dia mempunyai hak tetangga dan seiman. Sedang yang hanya mempunyai satu hak ialah tetangga yang musyrik, juga yang kafir, demikian menurut pendapat para ulama. (lihat Alsukukul ijtima’i fil Islam).

    Cara memuliakan tetangga ada banyak macam. Abu Jumrah merinci beberapa di antaranya: senantiasa ingin berbuat baik untuk mereka, menasihatinya dengan nasihat yang baik, mendoakan supaya mendapatkan hidayah Allah, dan tidak membahayakannya.

    Terhadap tetangga, setiap manusia berkewajiban untuk menahannya dari perbuatan jelek dan munkar. Kita berhak memperlihatkan Islam pada tetangga kita, menyebutkan kebaikan dan kelebihan Islam, mendorongnya dengan penuh lemah-lembut agar mereka menerima Islam.

    Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam menjelaskan berkaitan dengan berbuat baik dengan tetangga, seperti yang dikatakannya kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, jika kamu memasak sayur, maka perbanyaklah airnya, dan berilah tetanggamu bagian dari sayur itu.” (HR. Muslim).
    Kepada para wanita Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam juga memperingatkan, “Wahai wanita-wanita muslimat, jangan ada seorang tetangga wanita menghina (menganggap remeh) tetangga wanita lain meskipun sebesar ujung kuku biri-biri.” (HR. Bukhari).

    Kepada orang yang tidak mau tahu menahu permasalahan tetangganya, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam memberi peringatan, “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur malam dalam keadaan kenyang, sedang tetangga yang di sampingnya kelaparan, dan dia pun mengetahuinya dan menyadarinya.” (HR. Tabrani).

    Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Jangan menganggap remeh berbuat baik kepada tetangganya, meskipun hanya sedikit.”

    Sementara itu secara lebih rinci dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut, antara lain: harus memulai memberi salam, banyak berbicara dengannya, jangan kerap bertanya mengenai keadaannya yang menyebabkan mereka bingung, menjenguk yang sakit, menyertainya jika mereka kena musibah, ikut merasakan senang jika mereka senang, memaafkan kekurangan dan kekeliruannya, tidak mengintip dan membuka rahasianya, tidak menempelkan batang kayu pada dinding rumahnya, tidak menumpahkan air di depan rumahnya, tidak menyempitkan jalan menuju rumahnya.

    Hendaknya kita selalu menutup aib dan kesalahannya, serta tidak membukanya, turut memantau (membantu mengawasi) rumahnya jika mereka sedang bepergian, tidak mendengar pembicaraannya, memalingkan mata dari memandang istrinya, dan menunjukkan kepada mereka apa yang tidak mereka ketahui berkenaan dengan masalah-masalah agama.

    Hak-hak Tetangga

    Beberapa hak tetangga yang wajib kita ditunaikan adalah:

    Pertama, tidak menyakitinya baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan. Dalilnya telah disebutkan di atas.

    Kedua, menolongnya dan bersedekah kepadanya jika dia termasuk golongan yang kurang mampu. Termasuk hak tetangga adalah menolongnya saat dia kesulitan dan bersedekah jika dia membutuhkan bantuan. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, “Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan sesama muslim, maka Alloh akan menghilangkan darinya satu kesulitan dari berbagai kesulitan di hari kiamat kelak” (HR. Bukhori). Beliau juga bersabda, “Sedekah tidak halal bagi orang kaya, kecuali untuk di jalan Alloh atau ibnu sabil atau kepada tetangga miskin …” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

    Ketiga, menutup kekurangannya dan menasihatinya agar bertaubat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala Jika kita mendapati tetangga kita memiliki cacat maka hendaklah kita merahasiakannya. Jika cacat itu berupa kemaksiatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala maka nasihatilah dia untuk bertaubat dan ingatkanlah agar takut kepada adzabNya. Rasululloh Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, “Barangsiapa menutupi aib muslim lainnya, maka Alloh akan menutup aibnya pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari).

    Keempat, berbagi dengan tetangga. Jika kita memiliki nikmat berlebih maka hendaknya kita membagikan kepada tetangga kita sehingga mereka juga menikmatinya. Rasululloh Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, “Jika Engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya dan bagikan kepada tetanggamu.” (HR. Muslim).

    Tidak sepantasnya seorang muslim bersantai ria dengan keluarganya dalam keadaan kenyang sementara tetangganya sedang kelaparan. Rasululloh Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, “Bukanlah seorang mukmin yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangga sebelahnya kelaparan.” (HR. Bukhori dalam Adabul Mufrod).

    Kelima, jika tetangga menyakiti kita. Untuk permasalahan ini, maka cara terbaik yang dapat kita lakukan adalah bersabar dan berdo’a kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar tetangga kita diberi taufik sehingga tidak menyakiti kita. Kita menghibur diri kita dengan sabda RasulullohShalallahu 'Alaihi Wassalam, “Ada tiga golongan yang dicintai Allah (salah satunya adalah) seseorang yang memiliki tetangga yang senantiasa menyakitinya, namun dia bersabar menghadapi gangguannya tersebut hingga kematian atau perpisahan memisahkan keduanya.” (HR. Ahmad).

    Hak tetangga itu akan lebih besar lagi jika mereka itu seorang anak yatim, janda fakir, miskin atau orang yang sudah tua renta, terlebih bila sudah tidak ada yang mengurusnya lagi.

    Untuk itu mari bersegera  menunaikan apa yang menjadi hak-hak tetangga kita selama ini!

    Wallahu A’lam bis Shawwab

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism