Rabu, 23 April 2014

  • Dua, Tiga, Empat Atau Satu

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An Nisaa [4]: 3)

    Menurut riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari ‘Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa ayat ini turun berkenaan dengan anak perempuan yatim di bawah penjagaan walinya. Si wali tertarik kepada hartanya dan kecantikannya. Maka dia bermaksud hendak menikahi anak asuhannya itu tetapi dengan tidak hendak membayar mas kawinnya dengan adil seperti pembayaran mas kawin kepada perempuan lain. Maka mereka dilarang menikah dengan anak perempuan itu kecuali dengan membayar mas kawinnya secara adil sebagaimana yang dibayarkan kepada perempuan lain.

    Sebelum ayat ini turun, pria Arab, Yahudi, dan bangsa-bangsa lain mengambil wanita sebagai isteri sekehendak hati, jumlahnya tidak terbatas dan sama sekali tidak disyaratkan adil terhadap isteri-isterinya. Maka datanglah ayat di atas, menentukan batas, pria tidak boleh beristeri lebih dari empat orang dan bagi pria yang ragu dirinya tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, diwajibkan agar beristeri satu saja.

    Mencukupkan satu isteri saja wajib dilakukan oleh orang laki-laki, hanya khawatir kalau-kalau ia akan terjerumus ke dalam ketidakadilan ini, sampai dengan suasana, di mana kekhawatiran itu hanya merupakan sesuatu yang diduga akan terjadi dan belum pasti.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan demikian ini dengan kata-kata wa inkhiftum “Dan jika kamu khawatir” kata in (jika) menerangkan suatu syarat yang belum pasti dan baru dikhawatirkan saja akan terjadi. Berbeda dengan kata idza (apabila) yang menerangkan suatu syarat yang pasti akan terjadi.

    Jadi kalau seorang laki-laki mempunyai kekhawatiran atau dugaan bahwa ia tidak sanggup berlaku adil apabila memiliki isteri lebih dari satu, maka wajiblah ia beristeri satu saja walaupun sebenarnya ada harapan dia dapat berlaku adil ketika beristeri lebih dari satu. Ayat ini menunjukkan bahwa berlaku adil antara isteri-isteri itu hukumnya wajib, sebagai perintah agama, lebih dari keadilan yang diperintahkan dalam pergaulan dengan sesama manusia pada umumnya.

    Dalam hal ini bersabda: “Barang siapa mempunyai dua isteri, lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil di antara keduanya, maka pada hari kiamat dia akan datang keadaan pinggangnya miring.” (H.R. Ahmad)

    Yang dimaksudkan ‘dalam keadaan pinggangnya miring’ adalah suatu tanda yang membuat dia merasa malu di padang mahsyar, di hadapan khalayak ramai.

    ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu berlaku adil dalam membagi giliran terhadap isteri-isterinya. Walaupun demikian beliau berkata dalam doanya.

    “Ya Allah, inilah kemampuanku membagi giliran. Maka janganlah engkau mencela dengan apa yang engkau miliki dan bukan milikku.” (H.R. Hakim)

    Yang dimaksud ‘bukan milikku’ adalah kecenderungan lebih mencintai salah seorang isteri-isterinya. Kenyataan inilah yang digambarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

    Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An Nisaa [4]: 129)

    Pada ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan bahwa suatu perkara yang tidak dapat dihindarkan orang laki-laki yang beristeri lebih dari satu adalah kecenderungan lebih mencintai salah seorang isterinya walaupun dia ingin sekali menghindarkan hal tersebut. Oleh karena itu Allah mengingatkan, janganlah kecenderungan mencintai salah seorang isteri ini menyebabkan meninggalkan isteri yang kurang dicintai atau mengurangkan kata-katanya sehingga menyebabkan dia seperti barang yang tergantung tidak bertali, terkatung-katung dan teraniaya jiwa dan raganya.

    Para ulama telah merumuskan keadilan yang wajib dipraktekkan oleh suami terhadap isteri-isterinya, di antaranya keadilan dalam munasyaroh (pergaulan), nafkah, tempat tinggal, waktu giliran dan niat dalam bergaul dengan isteri.

    Setelah Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan kewajiban berlaku adil terhadap para isteri, ayat di atas (Q.S. An Nisaa [4]: 3), Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuji orang laki-laki yang beristeri satu saja dengan kalimat, “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

    Maksudnya dengan beristeri satu orang lebih dekat kepada tidak berlaku aniaya (sewenang-wenang) kepada kaum wanita, atau banyak berbuat bohong atau menghadapi problem karena banyak tanggungan.

    Imam Asy-Syaukani mencatat 11 arti “an ta’ulu/berbuat zalim”:
    Berat pikulan, Memberati orang lain, Melarat, Sewenang-wenang/ aniaya, Keberatan, Payah tanggungan, Tidak tahan, Sibuk dan bertumpuk-tumpuknya pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan, Kian kemari mengembara diatas bumi mencarikan belanja, Menjadi lemah karena banyak tanggungan, dan Terlalu payah mengangkat keluarga besar.

    Muhammad Rasyid dalam bukunya “Al Wahyu Muhammady” mengatakan bahwa dibolehkannya beristeri lebih dari satu adalah dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

    Bagi orang laki-laki yang tidak ragu-ragu dapat berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Orang tersebut benar-benar membutuhkannya dan mampu memberi belanja dan memenuhi keperluan lain isteri-isterinya. Karena isteri mandul atau sudah tua sehingga tidak mungkin hamil atau mengidap penyakit yang menyebabkan tidak bisa hamil dan tidak bisa melayani kebutuhan suami. Dapat membawa kebaikan bagi wanita disebabkan jumlah wanita lebih banyak dari pada kaum pria umpama karena habis perang atau karena kebanyakan kaum pria mencari kehidupan di tempat lain.

    Jadi syariat pembatasan isteri sampai empat adalah untuk memuliakan wanita. Tidak dibenarkan seorang laki-laki menikah lagi hanya karena melihat perempuan cantik atau muda. Atau dengan alasan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat yang pada umumnya beristeri lebih dari satu.

    Kalau akan mengikuti sunnah hendaknya lebih dahulu mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya dalam keadilan beristeri, bukan beristerinya saja.

    Selanjutnya perlu difahami bahwa bolehnya beristeri lebih dari satu sampai empat bukanlah tujuan asli dari ayat di atas.

    Dr. Abd Nashir Taufik mengemukakan alasan antara lain: Beristeri banyak adalah sesuatu yang dibolehkan pada waktu turunnya ayat tersebut. Orang Arab biasa melakukannya tanpa batas. Orang Yahudi dan orang Kristen pada waktu itu juga tidak mengharamkannya. Jadi tidaklah diperlukan seruan untuk menetapkan sesuatu yang boleh ini dalam Al-Qur’an, hanya semata-mata untuk membolehkannya.

    Tidak ada satu ayat yang sempurna dalam Al-Qur’an yang jelas-jelas membolehkan beristeri lebih dari satu. Ayat yang memuat tentang hal ini dimulai dengan menyebut masalah anak yatim dan dilanjutkan syarat berlaku adil. Kalau tujuan ayat ini untuk membolehkan beristeri lebih dari satu, tentulah tidak perlu disebutkan masalah anak yatim.

    Redaksi yang biasa digunakan dalam Al-Qur’an untuk membolehkan sesuatu adalah dengan kata-kata  (tidak ada dosa) dan (dihalalkan bagimu). Tetapi pada ayat ini digunakan bentuk perintah maka nikahlah kamu).

    Dari bentuk perintah ini kita mengerti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghendaki perintah yang besar bukan semata-mata membolehkan. Para ulama sepakat bahwa kata-kata perintah pada ayat ini bukanlah perintah yang menunjukkan wajib tetapi maksudnya mengajari dan memberi tuntunan. Sebab apabila perintah ini wajib tentulah di dalamnya tidak ada pilihan. Tetapi jelas pada ayat tersebut orang yang akan menikah diberi kesempatan memilih dua, tiga dan empat. Bahkan kalau dia khawatir akan berlaku tidak adil maka hendaklah dia menikah dengan seorang wanita saja dan dilarang menikahi dua, tiga, dan empat.

    Dengan demikian tujuan asli ayat ini bukanlah membolehkan bahkan memerintahkan beristeri lebih dari satu tetapi tujuan asli ayat ini adalah tentang pernikahan anak yatim perempuan. Apabila memang demikian halnya mengapa beristeri lebih dari satu dilarang saja. Inilah kebijaksanaan Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah dan realitas kehidupan. Karena nikah adalah fitrah manusia dan dalam realitas kehidupan ada pria yang memiliki kemampuan menikah lebih dari satu dan dalam kondisi tertentu dapat terjadi wanita lebih banyak dari pria. Dalam kondisi seperti ini maka jalan keluar yang terbaik adalah memberi kesempatan pria yang berkemampuan menambah isteri tetapi dengan syarat dapat berlaku adil.

    Dengan demikian akan terwujud masyarakat yang bersih yang terhindar dari perselingkuhan dan perzinaan dan wanita akan terhormat karena menjadi isteri yang sah dari pria yang adil dan bertanggung jawab.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism