Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Rabu, 26 Februari 2014

  • Jalan Memperoleh Hidayah

    Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar; (9) dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih. (10) (Q.S. al-Isra’, 17: 9 – 10)

    Kedua ayat di atas merupakan sebagian ayat-ayat al-Qur;an yang menunjukkan keistimewaan al-Qur’an. Pada dua ayat ini secara global menyebutkan kandungan al-Qur’an sebagai petunjuk menuju thariqah (jalan) yang terbaik, paling adil, dan benar. Dalam al-Qur’an, Allah memberikan semua solusi yang diperlukan oleh manusia sepanjang hidupnya. Allah memberikan pemecahan yang paling sempurna dan paling logis untuk memberi petunjuk kepada manusia dalam menghadap semua masalah yang muncul.

    Oleh karena itu, orang yang beriman akan mengatur seluruh hidupnya sesuai dengan al-Qur’an dan berjuang untuk melaksanakan apa yang telah dia baca dan dia pelajari dari al-Qur’an. Adapun orang yang tidak beriman yang tidak menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk, dia akan menjadikan hawa nafsunya sebagai petunjuk, menggantikan al-Qur’an. Orang yang demikian pasti akan sengsara karena yang dipikirkan hanya dunia dan tidak percaya akan adanya akhirat. Tujuan hidupnya hanya bermuara pada harta sehingga sikap individualis menebar dalam kehidupan masyarakat. Ketentramaan dunia yang mereka cari tidak terwujud, sementara itu siksa akhirat yang disediakan oleh Allah telah menanti.

    Diantara keistimewaan diturunkannya Al-Qur'an adalah sebagai petunjuk bagi manusia sepanjang masa, firman Allah:

    “....Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Q.S. al-Zumar, 39: 23)

    Petunjuk atau hidayah adalah penjelasan atau petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan sehingga meraih kemenangan di sisi Allah. Hidayah adalah nikmat Allah yang paling besar,(Q.S. al-Nur, 24: 40)

    Untuk mendapakant hidayah, banyak jalan yang dapat ditempuh, antara lain:

    a. Berdoa
    Jalan yang paling kuat untuk mendapatkan hidayah adalah berdoa, karena Allah tidak akan menolak orang yang berdoa kepada-Nya. Inilah yang diajarkan oleh Allah dalam surat al-Fatihah dan selalu kita ulang-ulang dalam setiap shalat.

    “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.” (Q.S. al-Fatihah, 1: 6)

    b. Bertaubat
    Firman Allah,“Orang-orang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mu`jizat) dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada Nya." (Q.S. al-Ra’d, 13: 27)

    Dengan demikian, hidayah adalah buah dari taubat. Tidak mungkin seorang hamba mendapat hidayah sedangkan dia berkubang dalam kemaksiatan.

    c.  Iman
    Firman “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Taghabun, 64: 11)

    Pada ayat lain: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh keni`matan.” (Q.S. Yunus, 10: 9)

    Kedua ayat ini menjelaskan iman (kepercayaan) itu akan menyebabkan datangnya hidayah. Oleh karena itu, kita harus percaya dan yakin dengan segala sesuatu yang datang dan Allah akan menerima dengan sepenuh hati dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya. (Q.S. al-Nur, 24: 51)

    d.  Ilmu
    Yang dimaksud ilmu disini adalah ilmu yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya yaitu ilmu al-Qur’an dan al-Sunnah. Allah berfirman:

    “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,” (Q.S. al-Ra’d, 13: 19)

    Ada banyak orang yang mendapat hidayah setelah melakukan penelitian di bidang ilmu pengetahuan yang dimiliki, antara lain:

    1) Maurice Bucaille, masuk Islam karena jasad Fir’aun. Dokter bedah ini masuk Islam setelah mendengar firman Allah:

    “Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami." (Q.S. Yunus,10: 92)

    2)      Jacques Yves Costeau, menemukan Islam di laut terdalam. Oceanografer ini masuk Islam setelah membaca firman Allah:
    “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” (Q.S. al-Rahman, 55: 19-20)
    Dan firman Allah: “Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (Q.S. al-Furqan, 25: 53)

    3) Demitri Bolykov, meyakini matahari akan terbit dari barat. Fisikawan asal Ukraina ini mengatakan bahwa pintu masuk baginya adalah fisika. Beliau masuk Islam setelah membaca hadtits,”Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari Barat maka Allah akan menerima taubatnya.” (H.R. Bukhari)

    4) Fedehua O’leary, menemukan rahasia sujud dalam shalat.
    Ahli neurologi asal AS ini mendapat hidayah saat melakukan kajian terhadap saraf otak manusia. Dalam penelitian yang cukup lama, ia menemukan beberapa urat saraf di dalam otak manusia yang tidak dimasuki darah kecuali ketika seseorang melakukan sujud dalam shalat. Artinya, kalau manusia tidak menunaikan shalat, otak tidak dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal. Setelah penelitian itu, ia mencari tahu tentang Islam dan setelah mempelajari dan mendiskusikannya, akhirnya ia masuk Islam.

    5) Profesor William, menemukan tumbuhan bertasbih. Ahli biologi molecular ini masuk Islam setelah membaca firman Allah:
    “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Qs al-Isra’: 44)

    Dalam sebuah penelitian, ternyata tumbuhan dapat mengeluarkan suara ultrasonik (suara halus yang tidak dapat didengar oleh telinga biasa). Yang mengejutkan ketika getaran halus ini ditransfer pada alat perekam, muncul garis-garis yang membentuk lafadz Allah dalam layar. Inilah bukti kalau tumbuhan itu bertasbih seperti yang disebut pada ayat di atas.

    e. Berpegang Teguh kepada Agama Allah seraya Berjama’ah
    Firman Allah: “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah seraya berjamaah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan  hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali ‘Imran: 103)

    Melalui ayat ini, Allah memberikan pedoman kepada kaum muslimin bagaimana cara berpegang teguh kepada agama-Nya yakni dengan berjama’ah.

    Menurut pengertian syariat, al-Jama’ah adalah umat Islam yang menyepakati seorang pemimpin (imam/amir).

    Tujuan dari jama’ah adalah penyatuan umat Islam di seluruh dunia dalam rangka mencari ridla Allah.

    Dengan berjama’ah, umat Islam akan terhindar dari berpecah belah sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang penuh kasih sayang dan persaudaraan yang akhirnya menyebabkan datangnya hidayah kepada setiap orang yang berada dalam jama’ah tersebut.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Kamis, 20 Februari 2014

  • Hikmah Ujian Sakit

    ilustrasi
    Setiap manusia yang tercipta pasti pernah mengalami sakit dan musibah walau hanya sekali selama hidupnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqaroh : 155-157).

    Sakit dan musibah yang menimpa seorang mukmin mengandung hikmah dan merupakan rahmat dari Allah Ta’ala. Imam Ibnul Qayyim berkata, “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.” (Syifa-ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa Ta’lil hal 452).

    Dalam menyikapi sakit dan musibah tersebut, ada beberapa prinsip yang mesti menjadi pedoman seorang Muslim, antara lain:

    Pertama, sakit dan musibah adalah takdir Allah Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hadid : 22).
    Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya, “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang melainkan dengan izin Allah.” (Qs. At-Taghaabun : 11).

    Kedua, sakit dan musibah adalah penghapus dosa. Ini adalah hikmah terpenting dari diturunkannya sakit dan musibah. Namun, sedikit sekali manusia yang bisa mengambil hikmah dibalik sakit dan musibah termasuk bagi si penerima sakit dan musibah itu sendiri. Ada sebagian orang saat menderita sakit dan menerima musibah justeru dengan mencaci maki, berkeluh kesah, dan putus asa hingga tak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, na’uzubillah.

    Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam banyak ber sabda, antara lain;

     “Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).

    “Tidaklah seorang Muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, gundah-gulana hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari no. 5641).

    Itulah janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-Nya yang ditimpa keletihan karena bekerja, penyakit, kesusahan hidup, kesedihan akibat ujian yang mendera, gangguan, dan gundah gulana hingga duri yang menusuknya pun akan menjadi wasilah untuk menghapuskannya dari berbagai kesalahan.

     “Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya.” (HR. Muslim ).
    Ketiga, wajib bersabar dan ikhlas bila ditimpa sakit dan musibah. Apabila sakit dan musibah telah menimpa, maka seorang mukmin haruslah sabar dan ridho terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, dan harapkanlah pahala serta dihapuskannya dosa-dosanya sebagai ganjaran dari musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

    “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqaroh : 155-157).

    Dalam beberapa hadis Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan mencari keridhoan pada saat musibah yang pertama, maka Aku tidak meridhoi pahalamu melainkan surga.” (HR. Ibnu Majah no.1597, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam Shohih Ibnu Majah : I/266).

    Maksud hadis diatas yakni apabila seorang hamba ridho dengan musibah yang menimpanya maka Allah ridho memberikan pahala kepadanya dengan surga.

    Hikmah lainnya dari sakit dan musibah adalah menyadarkan seorang hamba yang tadinya lalai dan jauh dari mengingat Allah -karena tertipu oleh kesehatan badan dan sibuk mengurus harta yang melalaikan ibadah- untuk kembali mengingat Rabb-nya. Karena jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah barulah ia merasakan kehinaan, kelemahan, teringat akan dosa-dosa, dan ketidakmampuannya di hadapan Allah Ta’ala, sehingga ia kembali kepada Allah dengan penyesalan, kepasrahan, memohon ampunan dan berdoa kepada-Nya, Qs. Al-An’aam : 42.

    Ikhtiar
    Walaupun demikian, apabila seorang mukmin ditimpa suatu penyakit tidaklah meniadakan usaha (ikhtiar) untuk berobat. Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari no. 5678).

    Dan yang perlu diperhatikan dalam berobat ini adalah menghindarkan dari cara-cara yang dilarang agama seperti mendatangi dukun, paranormal, ‘orang pintar’, dan sebangsanya yang acapkali dikemas dengan label ‘pengobatan alternatif’. Selain itu dalam berobat juga tidak diperbolehkan memakai benda-benda yang haram seperti darah, khamr, bangkai dan sebagainya karena telah ada larangannya dari Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallamyang bersabda :

    “Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”. (HR. Ad Daulabi dalam al-Kuna, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash- Shohihah no. 1633).

    “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa-apa yang haram”. (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban no. 1397. Dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitabMawaaridizh Zham-aan no. 1172).

    Takhtim
    Sakit dan musibah merupakan pintu yang akan membukakan kesadaran seorang hamba bahwasanya ia sangat membutuhkan Allah Azza wa Jalla. Tidak sesaatpun melainkan ia butuh kepada-Nya, sehingga ia akan selalu tergantung kepada Robb-nya. Dan pada akhirnya ia akan senantiasa mengikhlaskan dan menyerahkan segala bentuk ibadah, doa, hidup dan matinya, hanyalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Rabu, 12 Februari 2014

  • Berkah

    Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
    وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
    Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf [7] : 96)

    Berkah menurut bahasa adalah karunia Allah Subhnahu Wa Ta’ala yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Berkah inilah sebenarnya yang dicari oleh setiap manusia. Sebab apalah artinya karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala apabila tidak mendatangkan kebaikan. Apalah artinya pangkat, apabila membuat pemiliknya pongah. Apalah artinya ilmu apabila membuat pemiliknya sombong. Apalah artinya harta, apabila membuat pemiliknya melupakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pangkat, ilmu, dan harta yang membuat pemiliknya seperti ini sudah tentu bukanlah berkah tetapi justru merupakan sebagian azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Fenomena kota-kota modern saat ini membuktikan hal ini. Betapa kagumnya orang dengan kemegahan kota Tokyo, London, New York atau Los Angeles. Betapa tingginya perputaran uang di kota yang disebut terakhir karena disinilah pusat perjudian terbesar di dunia. Namun bukan rahasia lagi, bahwa kota kriminal dan kebejatan moral tertinggi adalah New York dan Los Angeles. Kurang lebih sejak 20 tahun yang lalu, menurut statistik hampir rata-rata tiap dua menit terjadi perkosaan dan pembunuhan, sehingga penduduknya banyak yang terpaksa pindah karena tidak betah lagi tinggal di kota tersebut.

    Pada ayat di atas, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa keimanan dan ketakwaan menyebabkan turunnya berkah. Sebab iman mendorong manusia beramal (bekerja) sedang takwa membuat manusia berhati-hati karena merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan demikian turunlah berkah dari langit dan menyemburlah berkah dari bumi.

    Menurut para ulama berkah itu ada dua macam, yaitu berkah yang tampak (hissy) dan yang tidak tampak tapi bisa dirasakan (maknawi). Berkah hissy berupa kesuburan tanah, hujan yang teratur, hasil bumi yang melimpah, lancarnya perekonomian, tergalinya sumber daya alam seperti minyak bumi, emas, batubara dsb.

    Berkah maknawi berupa petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diberikan kepada manusia sehingga mereka dapat melaksanakan tuntunan agama secara sempurna. Demikianlah berkah yang dibukakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehingga karunia yang diberikan kepada manusia akan membawa kebaikan.

    Sebaliknya berkah ini akan dicabut manakala manusia mendustakan tuntunan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Meskipun hujan turun, bukan kesuburan yang dibawanya, melainkan banjir yang merusak segala apa yang dimiliki manusia. Meskipun sebuah negeri subur, bukan kemakmuran yang datang, melainkan berbagai bencana yang dirasakan. Meskipun harta melimpah bukan ketenangan yang didapatkan tetapi kejahatan terus meningkat. Bunuh diri, pembunuhan dan perampokan, kecelakaan menjadi santapan setiap hari. Inilah mungkin bukti dicabutnya berkah oleh Allah Ta’ala.

    Pada ayat di atas, kita juga diberi pedoman hidup yang jelas oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwasanya hidup beriman dan bertakwa bukan hanya untuk mengejar kebahagiaan di akhirat saja. Tetapi dengan iman dan taqwa diharapkan berkah di dunia akan melimpah sehingga manusia dapat merasakan nikmatnya karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang dilimpahkan kepada mereka di dunia ini. Ayat ini menunjukkan bahwa kemakmuran materi berkait erat dengan kemakmuran rohani dan imani.

    Betapapun melimpahnya kekayaan manusia, tidaklah akan membawa kebaikan kalau iman dan taqwa tidak ada. Bahkan siksa Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan terus membayangi mereka.

    Hal inilah yang digambarkan oleh Allah Subhahahu Wa Ta’ala pada ayat lain:
    فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
    “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am [6] : 44)

    Datangnya siksa Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan tiba-tiba maksudnya mereka tidak mengetahui dari mana datangnya.

    Senada dengan ayat ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Apabila engkau melihat Allah memberikan harta dunia kepada hamba-Nya yang banyak maksiat, apa saja yang dia inginkan, maka pemberian itu adalah istidraj.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (IV/145) no. 17349. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 413). Istidraj artinya seseorang dikeluarkan dari kebenaran tanpa disadari.

    Karena itu marilah kita jaga iman dan taqwa kita dengan bekerja sebaik-baiknya dan menghindari berbagai pelanggaran sehingga berbagai bencana yang sering kita rasakan akhir-akhir ini berganti dengan keberkahan yang merata di seluruh pelosok bumi dan berbagai persoalan yang melilit bangsa ini segera diberi jalan keluar oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya:
    وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
    “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya...” (Q.S. At Thalaq [65]: 2-3)

    Wallahu A’lam bis Shawwab.                                                  

  • Rabu, 05 Februari 2014

  • Urgensi Masyarakat Sadar Halal

    Bagi seorang Mukmin, makanan bukanlah sekedar pengganjal perut kala lapar, akan tetapi ia bisa membawa manusia ke dalam api neraka jika apa yang dimakan itu tidak halal (haram). Di samping itu makanan haram menyebabkan ibadah yang kita lakukan serta doa yang kita panjatkan akan sia-sia. Mari kita perhatikan salah satu dari sekian banyak hadist terkait makanan haram berikut:

    "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah." Apa jawaban Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ? "Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya.”" (HR. At-Thabrani)

    Sebagian ulama berpendapat bahwa makanan yang kita makan berpengaruh terhadap pembentukan sifat dan karakter kita. Maka bukan tidak mungkin jika ada kenakalan dan ketidakpatuhan anak-anak kita, budaya korupsi para pejabat kita, maraknya kemaksiatan dan sikap meremehkan dosa dan lain-lain, sedikit banyak akibat dari masuknya makanan haram pada tubuh mereka.

    Oleh karena itu, sebagai mukmin yang taat, kita harus mampu memilih hanya makanan yang baik dan halal saja yang kita konsumsi. Yang dimaksud halal di sini baik halal pada zatnya maupun pada cara mendapatkannya.

    Realita Masyarakat Muslim Indonesia

    Sungguh ironis bahwa masih banyak kaum Muslimin yang hampir tidak peduli, menganggap enteng, bahkan cenderung meremehkan kehalalan makanan yang dikonsumsinya. Kondisi ini terutama karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang menyebabkan kurangnya kesadaran dan ketidakpedulian dari sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia. Secara umum kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang dimaksud adalah:

    1. Kurangnya pemahaman dari sisi syariah, tentang perintah dan larangan terkait halal haram, akibat yang ditimbulkan dan pahala serta manfaat yang di dapat jika taat. Akibatnya adalah kurangnya kesadaran, kehati-hatian dan kepedulian. Contohnya ketika makan daging di warung makan (misalnya daging ayam), banyak yang tidak peduli apakah ayam yang dimakan disembelih dengan menyebut nama Allah. Atau banyak yang tidak peduli apakah bumbu-bumbu yang dipakai mengandung bahan haram seperti ang ciu (arak merah), minyak babi, dan lainnya.

    2. Kurangnya pengetahuan dari sisi kemajuan teknologi pangan. Terutama pengetahuan tentang bahan makanan, kosmetika, pembersih muka, obat-obatan bahkan alat-alat masak serta sandang, yang kesemuanya kadang terdapat kandungan bahan dari babi., Jika tidak mengetahuinya makan akan berbahaya.

    3. Kurangnya pemahaman dan kewaspadaan atas realita pasar. Dengan alasan harga dan upaya memperoleh keuntungan yang besar, banyak sekali kecurangan-kecurangan yang terjadi di pasar yang tidak disadari oleh masyarakat Muslim. Tengoklah kasus pencampuran daging sapi dengan babi, kasus penyeludupan babi hutan, bangkai ayam untuk bakso, sapi glonggongan, bahkan produk-produk yang sengaja dibuat seolah halal namun haram.

    Untuk yang terakhir ini kami beri satu saja contoh untuk Anda, silahkan cek di google dengan kata kunci “krupuk kulit babi Rejeki”, perhatikan namanya yang sekilas Islami (Rejeki). Untunglah ada keterangan pada kemasannya, bagaimana jika tidak ada keterangan, bisa jadi banyak penggemar krupuk kulit terkecoh memakan kulit babi.

    4. Kurangnya pemahaman akan hukum dan peraturan. Contoh yang paling jelas adalah masalah label halal. Bayak di antara kita menganggap bahwa restoran atau produk yang mencantumkan label halal sudah pasti halal. Padahal realitanya banyak label halal adalah “self claim” alias pernyataan sepihak tanpa adanya pengujian dari badan yang berwenang. Jika saja masyarakat paham label seperti apa yang resmi dan yang bukan, maka mereka akan terhindar dari memakan makanan haram atau subhat.

    5. Kurangnya pemahaman akan konsep ujian dunia. Keadaan dilematis yang menyulitkan untuk menjaga diri dan keluarga dari barang haram terkadang disikapi secara salah oleh sebagian besar kita. Padahal jika kita memahami bahwa keadaan tersebut merupakan ujian bagi kita untuk selalu taat dan kesempatan besar meraih pahala dari upaya menghindari barang haram, maka pastilah akan berbeda juga sikap kita.

    Dengan kondisi dilematis dan sulit membedakan yang halal dan haram ini, membuat sebagian Muslim mengeluh bahkan dengan gampang mengatakan “jika ingin 100 % halal ya hiduplah di hutan sana”. Atau dengan gampang mengatakan bahwa untuk keadaan “darurat” memakan makanan haram boleh-boleh saja.

    Berkaitan dengan konsep ujian dunia, perhatikan hadist berikut : “Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami)

    Surga itu mahal dan tidak hanya bisa dicapai dengan upaya yang seadanya. Harus ada upaya dan pengorbanan besar untuk memperolehnya di antaranya untuk lulus dari ujian dan mengumpulkan bekal pahala sebanyak-banyaknya dari ujian ini. Perhatikan firman Allah dan Sabda Rasullullah berikut ini :

    “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu ? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS. Al-Baqarah; 2 : 214)

    Kembali ke pembahasan realita kesadaran masyarakat Muslim Indonesia saat ini, dapat disimpulkan bahwa pemahaman dan kesadaran umat akan kondisi saat ini dan kewajiban untuk mewujudkan pola hidup halalan toyyiban, merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditunda lagi.

    Dampak dari Kondisi Masyarakat yang tidak Sadar Halal

    Mari kita lihat “beberapa” dampak dari tidak adanya pemahaman dan kesadaran orang Muslim:
    1. Dengan leluasa produk-produk haram dan subhat diproduksi karena toh masyarakat Muslim mau membeli dan mengkonsumsinya.
    2. Maraknya kecurangan dan pengelabuan produk haram menjadi “seolah” halal, toh masyarakat Muslim tidak mengetahuinya, kalaupun ketahuan tidak besar resikonya.
    3. Sertifikasi halal bukan menjadi “nilai tambah” bagi produsen karena toh banyak Muslim yang tidak mempertanyakannya dan tidak menjadi pertimbangan dalam membeli.
    4. Produsen produk pangan dengan leluasa mencampurkan bahan-bahan haram (dengan pertimbangan harga yang lebih murah) toh masyarakat Muslim tidak mengetahui dan mempertanyakannya.
    Hal ini bisa diminimalisir jika saja penduduk Muslim Indonesia mayoritas faham dan sadar. Belum lagi jika sudah bergerak membentuk kekuatan sosial yang akan membawa dampak positif yang menjadi kebalikan dari kondisi di atas, di antaranya:
    1. Produsen tidak lagi leluasa memproduksi produk tanpa sertifikasi Halal, bisa-bisa tidak ada yang membeli karena masyarakat sudah sadar halal.
    2. Kecurangan dan pengelabuan akan ditekan secara minimal karena masyarakat sudah faham dan sadar, bahkan bisa melakukan tuntutan jika ketahuan.
    3. Sertifikasi Halal akan menjadi nilai tambah bahkan satu keharusan bagi produsen jika ingin produknya laku.
    4. Pemerintah akan lebih terdorong, mudah dan powerfull dalam menetapkan kewajiban sertifikasi Halal untuk produk pangan yang ada di Indonesia, karena merupakan aspirasi dari sebagian besar penduduknya.

    Takhtim

    Pemahaman dan kesadaran masyarakat atas kondisi saat ini dan kewajiban untuk melindungi diri dari sesuatu yang haram ini menurut kami merupakan langkah awal yang harus di perjuangkan. Beginilah selalu siklus dakwah para Rasul. Titik pertama selalu dimulai dari penyampaian ilmu sehingga timbul pemahaman. Pemahaman yang benar dan utuh akan menimbulkan keyakinan dan kesadaran sehingga timbulah motivasi dalam diri yang akan melahirkan amal atau action.

    Kesadaran tidak boleh berhenti pada tatanan individu namun harus di sebarluaskan. Setiap individu yang telah difahamkan dan disadarkan oleh dakwah halal ini, wajib untuk menyampaikannya kembali ke orang lain. Dimulai dari keluarga terdekat, teman, masyarakat sampai ke tingkatan negara dan dunia. Beginilah Rasulullah mencontohkan kepada kita. Mari kita mulai! (Mirajnews.com)

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism