Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Sabtu, 29 Maret 2014

  • Generasi Al-Qur’an Yang Unik

    Al-Qur'an
    Sejarah telah membukti bahwa penghayatan Islam yang syumul dianuti oleh para sahabat dan salafussoleh adalah benar-benar mereka patuhi sehingga digelari sebagai generasi Al-Quran yang unik.

    Firman Allah : "Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (karena) kamu menyuruh berbuat segala perkara yang baik dan melarang daripada segala perkara yang salah (buruk dan keji) serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan sebenar-benar iman) dan kalaulah Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu beriman (sebagaimana yang semestinya), tentulah (iman) itu menjadi baik bagi mereka. (Tetapi) di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka orang-orang yang fasik". (Ali Imran [3] : 110).

    Mereka (para sahabat) amalkan dan mereka sebarkan ke seluruh dunia sehingga cahaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini terpancar di setiap penjuru bumi ini
    .
    Islam telah menukar keadaan Arab pada saat itu dari perpecahan dan kelompok--kelompok kepada persatuan, daripada tamadun rimba kepada tamadun pembangunan manusia, dari kekerasan dan kekejaman kepada rahmat dan dari penyembahan berhala kepada menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Maha Esa. Sehingga keperibadian dan roh mereka bertukar menjadi roh yang baru.

    Kemudian mereka mulai menapak ke arah zaman kegemilangan dan kemuliaan umat Islam. Zaman yang penuh dengan kekayaan dan keberkahan yang dikaruniai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena pengamalan mereka terhadap amanah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yaitu dengan melaksanakan hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala serta menjauhi larangan-Nya.

    Pada zaman inilah dapat kita lihat mereka telah berjaya membuka separuh dari muka bumi ini dalam tempo separuh abad.

    Umat Kian Alpa

    Dalam hal ini, kejayaan yang diperoleh menjadikan umat Islam kian alpa dan jauhnya mereka dari syariat Islam yang sebenar. Hal ini dapat dilihat keadaan masyarakat pada zaman kini telah sampai ke puncak kerendahan dan kehinaan.
    Hal ini disebabkan karena generasi saat ini sudah malas dan bosan untuk melksanakan amalan yang soleh. Mereka telah menjadi jemu dan menjadi umat yang membeku.

    Mereka telah berhenti dan terus berdiam diri untuk memulai pelbagai usaha dengan mantap dan tekun. Keteguhan inilah yang lenyap serta keyakinan yang teguh telah hilang. Inilah keadaan umat Islam hari ini.

    Di samping itu, kejahilan telah menyebabkan umat Islam tidak dapat membedakan antara kaca dan permata. Maksud kejahilan di sini bukanlah berarti semata-mata bodoh dan tidak berpendidikan atau buta huruf, tetapi kejahilan ini maksudnya adalah semua bentuk kebodohan, tiada berpendidikan, menolak kebenaran, menafikan yang hak, tidak mau belajar dari orang lain, menyangka dirinya sudah cukup pandai dan menerima kebatilan atas motif tertentu.

    Dalam konteks ini, adalah lebih mudah mengajar orang yang betul-betul jahil daripada orang yang tidak mengakui kejahilannya. Ini karena jika seorang itu jahil dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala mentakdirkan bahwa ada manusia yang dapat membimbingnya keluar dari kejahilan itu niscaya dipatuhi dan diikutinya.

    Manakala yang kurang pengetahuan pula, dia tidak mengetahui dan tidak percaya bahawa dia adalah jahil kerana telah merasa cukup dengan ilmunya. Seperti kata-kata hikmah yang berbunyi : “Dibalakan ke atas kamu menjadi gila adalah lebih baik daripada dibalakan ke atas kamu separuh gila.”

    Bermaksud : “ kamu menjadi orang yang jahil adalah lebih baik daripada menjadi orang yang separuh mengerti.”

    Al-Quran Sebagai Dasar

    Sehubungan itu, keruntuhan umat Islam sekarang adalah disebabkan serangan media barat yang telah berjaya melahirkan generasi yang sakit pemikirannya, sehingga merasa barat ini terlalu besar untuk dihadapi dan ditumbangkan.

    Maka lahirlah generasi Islam pemuja Barat yang meninggalkan Islam sebagai sumber kekuatan mereka yang sebenarnya. Sedangkan  dengan mengamalkan Islamlah segala keberkatan dan rahmat Allah akan dikurniakan kepada umat Islam yang mampu menjadikan  umat yang Berjaya.

    Tidak mustahil jika sekiranya ia mampu memimpin semula dunia di akhir zaman ini. Dengan mengambil penyelesaian barat dan meniru ke-modern-an ala mereka, akan hanya menyebabkan kemajuan kita ditentukan atau dikawal perkembangannya oleh mereka.

    Oleh hal demikian, apabila Islam dan Al-Quran yang dijadikan dasar kehidupan , manusia akan diberikan Allah sumber inspirasi yang baru, gagasan yang baru, semangat yang baru, pemikiran yang baru, pengetahuan yang baru, yang akhirnya dapar membentuk Ummah yang baru
    .
    Firman Allah :"Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk ke jalan yang amat betul (agama Islam) dan memberikan berita yang menggembirakan orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal-amal soleh, bahwa mereka beroleh pahala yang besar". (Al-Isra [17] : 9).

    Umat yang penuh optimis, kompetitif, agresif, progresif dan dinamis. Hanya dengan melaksanakan Islam sebagai sistem, Allah akan menyebarkan keadilan dan kemualian kepada umat Islam, sehingga akhirnya menjadi umat yang dihormati. Amin. (MINA)

    Wallahu A’lam bis Shawwab.
    Oleh : Muhammad Hamizan Bin Abdul Hamid,
    Mantan Presiden Asosiasi Penerbitan Kreatif Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA), Terengganu, Malaysia

  • Kamis, 20 Maret 2014

  • Mengkaffahkan Pengamalan Ilmu

    Rabbi Zidni 'Ilmaa
    Penerapan syariat Islam yang bersifat syamil (menyeluruh), kamil (sempurna) dan mutakamil (saling menyempurnakan) tidak mungkin terwujud dan ditegakkan di muka bumi ini hanya oleh seorang muslim atau yang lainnya tanpa ada keterikatan satu sama lain, masing-masing potensi berdiri sendiri.

    Tetapi, jika potensi-potensi itu disatukan dan di rekat, maka kekuatan dahsyat akan di dapat dan Islam dapat ditegakkan dengan kaffah. Seperti kekuatan pasir, krikil, dan besi yang apabila direkatkan dengan semen dan air maka ia menjadi beton yang kokoh.

    Untuk itu, guna mengamalkan ilmu yang didapat serta menegakkan syariah Islam yang kaffah diperlukan satu wadah atau institusi yang mampu menampung setiap individu muslim dan mengikatnya serta mengumpulkan potensi-potensi mereka. Sehingga, ilmu menjelma dalam kehidupan sehari-hari dan syariah Islam dapat menjadi kendaraan para mufasir muslim dalam mencapai keridloan Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Institusi itulah yang kita kenal dalam literatur-literatur Islam dengan nama Khilafah atau Jama’ah.

    Allah Subahanahu Wa Ta’ala berkalam dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 103,
    وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
    “Dan berpeganglah (kamu semuanya) kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamua ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara…”

    Ayat ini turun disebabkan pertikaian yang terjadi antara shahabat dari kabilah Aus dan Khazraj. Bermula saat para shahabat dari dua kabilah ini sedang duduk-duduk begitu rukun dan akrabnya. Padahal mereka dahulu saling bermusuhan, menumpahkan darah dan saling menyerang. Datanglah Syas bin Qais, seorang Yahudi yang tidak senang terhadap keakraban mereka. Yahudi ini tidak terima mereka (umat Islam) bersatu dalam satu aqidah, satu bimbingan dan kepemimpinan Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam. Syas mengingatkan kembali Aus dan Khazraj terhadap peperangan yang pernah dilakukan dua kabilah itu. Orang Yahudi itu terus mengompori dengan menyebut-nyebut kabilah Aus dan kabilah Khazraj, sehingga akhirnya shahabat dari kedua kabilah ini hampir-hampir saling menyerang dan berbunuh-bunuhan.

    Jika bukan karena kasih sayang Allah dengan datangnya Nabi SAW setelah mendengar percekcokan mereka, niscaya mereka akan kembali kepada kecelakaan. Beliau kemudian berpidato di hadapan para shahabat kedua kabilah itu. “Apakah dengan sebutan-sebutan jahiliyah kalian berseru, sementara aku di hadapan kalian?” lalu beliau membacakan beberapa ayat dan merekapun menyesal, lalu berbaikan, saling berpelukan dan meletakkan senjatanya.

    Sebutan kabilah Aus dan Khazraj sudah berakhir. Kini mereka menjadi Anshar. Di sana hanya ada Islam yang telah menjadikan mereka bersaudara, hanya ada jama’ah muslimin yang telah menghimpun dan menyatukan mereka.

    Berjama’ah dan Tauhid Uluhiyah

    Banyak ayat Al-Qur’an menunjukan bahwa saat Allah memerintahkan hamba-Nya untuk memenuhi hak-Nya, yaitu Tauhid Uluhiyah seringkali diawali atau diiringi dengan penjelasan Tauhid Rububiyah—yang merupakan hal-hal yang diterima oleh para hamba-Nya—. Hal ini menunjukan bahwa ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah disebut juga Tauhid Ubudiyah) merupakan aplikasi dan tuntunan dari Tauhid Rububiyah. Dengan kata lain mengesakan Allah dari sisi Rububiyah tidaklah cukup dalam pengakuan namun harus diaplikasikan dengan pengabdian yang benar Tauhid Uluhiyah, sebagai contoh,
    يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ 
    “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan hujan dari langit sebagai rezki untukmu…” (QS. Al-Baqarah 21-22)

    Kalimat “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu” merupakan perintah kepada manusia untuk beribadah dan mentauhidkan Allah (Tauhid Uluhiyah), sedangkan “Yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan hujan dari langit sebagai rezki untukmu…” merupakan penjelasan bahwa Allahlah Pencipta, Pengatur seluruh alam, pemberi rizki serta nikmat-nikmat lain yang merupakan penjabaran Tauhid Rububiyah.

    Atau dalam QS. Al-Kautsar: 1-2, yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.”

    “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak,” merupakan penjabaran Tauhid Rububiyah. Sedangkan “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” Merupakan perintah beribadah sebagai aplikasi Tauhid Ubudiyah.

    Sehingga dengan pendekatan pemahaman tauhid, perintah untuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an seraya berjama’ah merupakan tuntunan dari Tauhid Uluhiyah sebagai konsekuensi dari Tauhid Rububiyah yaitu nikmat Allah yang telah menyatukan hari para shahabat sehingga mereka menjadi bersaudara yang sebelumnya mereka saling bermusuh-musuhan dan nyaris terpeleset ke jurang neraka.

    Al-Jama’ah

    Kata “Jama’ah” atau “Al-Jama’ah” mempunyai beberapa arti dan maksud, sesuai dengan bidang apa kata tersebut dibicarakan. Secara etimologi, arti Jama’ah adalah persatuan atau orang-orang yang bersatu, sekelompok manusia yang berhimpun untuk mencapai tujuan yang sama. Sedangkan definisi lain mengartikan Jama’ah sebagai kumpulan atau himpunan tertentu bukan sembarang himpunan atau kumpulan.

    Sedangkan menurut istilah atau syara, arti jama’ah sama dengan arti secara bahasa dengan tambahan “di atas sunah”, hal ini datang dari adanya dua kalimat yang berbeda untuk satu makna yaitu ”JAMA’AH” dan “mereka yang mengikuti jejakku dan jejak sahabat-sahabatku.” (Dudung Amadung, “Ahlu sunnah wal jama’ah metode beragama para salaful ummah.”) atau yang dimaksud dengan Al-Jama’ah adalah Jama’atul Muslimin sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Khudzaifah bin Al Yaman yang berbunyi, “…Engkau tetap pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka.”

    Atau yang seperti yang dikemukakan oleh shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Ali Bin Abi Thalib, yaitu berkumpulnya ahlu haq walaupun sedikit.

    Imam Syatibi setelah mengemukakan beberapa hadis Rasulullah tentang jama’ah, menyimpulkan, pertama, Jama’ah ialah para penganut Islam apabila bersepakat atas suatu perkara; dan para pengikut agama lain diwajibkan mengikuti mereka.

    Kedua, jama’ah adalah masyarakat umum dari penganut Islam, ketiga, jama’ah adalah kelompok ulama mujtahidin, keempat, jama’ah adalah para shahabat ra., secara khusus.

    Setelah itu Imam Syatibi menguatkan bahwa yang di maksud dengan jama’ah ialah Jama’atul Muslimin apabila mereka menyepakati seorang amir/imam. Pendapat ini didukung oleh Al-Hafidz Ibnu hajar di dalam Fathul Bari.

    Jika dinisbatkan kepada pernyataak bahwa al-jama’ah itu adalah orang-orang yang berjalan “di atas jalanku”, sebagaimana sabda Nabi SAW dan jalan para sahabatnya yang berpengang teguh dengan keimanan, mendirikan shalat, menunaikan zakat seraya tunduk kepada Allah serta menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai penolongnya mereka itu juga disebut sebagai Hizbullah.

    Imam, Imamah dan Khalifah

    Imamah menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan kata imamah, yang ada imam (pemimpin) dan aimmah (pemimpin-pemimpin), (Ali as Salus, Aqidah al Imamah inda as Syi’ah al isna ‘asyariyah). Sementara Ali Jabir menukil dari lisanul Arab, bahwa Imam menurut bahasa ialah, setiap orang yang dianut oleh suatu kaum, baik mereka berada di jalan lurus atau sesat.

    Pengertian-pengertian itu diisyaraktkan Al-Qur’an dalam berbagai tempat. Kata imam yang menunjukan pemimpin manusia di jalan lurus diantaranya firman Allah, “…Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (Nabi Ibrahim) imam bagi manusia.” (QS. Al-Baqarah: 124) dan “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

    Kata imam yang menunjukan sebagai pemimpin kesesatan, firman Allah, “…maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu…” (QS. At-Taubah: 12) atau firman yang lain, “Dan kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru ke neraka…”

    Adapun kata imam yang menunjukan untuk kedua macam pemimpin secara umum, ditemukan pada QS. Al-Isra: 71. “(Ingatlah) suatu hari (yang dihari itu) kami pangil tiap umat dengan pemimpinnya…”

    Tidaklah suatu wadah disebut khilafah ‘ala minhajin nubuwwah tidak pula dinamai jama’ah muslimin kecuali diamiri seorang khalifah atau dipimpin oleh seorang imam.

    Karena, imam disebut juga khalifah, dibai’at untuk menjaga keberlangsungan syariah di dunia dan mengarahkan setiap ilmu dan pengamalan syariah Islam itu kepada akhirat. Mengutip pernyataan imam Al Mawardi, bahwa sesungguhnya imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. (Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah).

    Takhtim

    Perenarap syariah yang bersifat wajib itu, tidak mungkin terwujud dengan baik dan benar jika tidak ada yang mengawasi dan mengamirinya (memimpin). Adanya orang atau institusi yang mengarahkan serta mengambil tindakan-tindakan syariah demi tegaknya aturan-aturan Allah tersebut merupakan kewajiban yang tidak boleh di abaikan. Baik kewajiban itu dilihat berdasarkan akal (aqli) maupun ditinjau secara nash (naqli).

    Telah bersepakat semua pihak dari ahlu sunnah, begitu pula yang lainnya dalam kewajiban mengangkat imam ini. Dan umat wajib tunduk kepada seorang imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya itu.

    “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan Ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jka kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian… (QS. An Nisa: 59)

    Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mentaatiku, maka ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa mentaati amirku, maka ia telah mentaatiku, dan barangsiap yang membangkang kepada amirku, maka ia telah membangkang kepadaku.” (HR. Bukhari)

    Pengamalan Islam yang kafah, telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, kemudian diikuti Khulafa Ar Rasyidin Al Mahdiyyin. Merupakan sunnah bagi muslimin untuk mencontoh dan menapaki jejak-jejak mereka dalam mengamalkan ilmu dan menegakkan syariah Islam yang kaffah itu, apalagi akhir zaman pasca wafat Rasulullah SAW akan banyak ditemui hal-hal baru.

    Adapun perbedaan-perbedaan seputar fiqih yang lahir dari ijtihad para ulama (yang sebenarnya itu masih di tolelir dalam Islam) yang selama ini telah menjadikan muslimin saling bertikai yang melahirkan kebencian diantara mereka yang notabene itu dibenci oleh Allah dan Rasulnya, akan dapat terayomi ketika ada diantara meraka imam/khalifah yang menjadi pengambil kebijakan untuk menetapkan hukum. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam senantiasa menerima perbedaan pemahaman diantara para shahabatnya dalam kasus-kasus tertentu.

     Wallahu A’lam bis Shawwab.
    (Buku Quantum Ilmu)

  • Kamis, 13 Maret 2014

  • Urgensi Long Life Education Kisah Musa dan Khidir ‘Alaihima Salam

    Allah Subhananhu Wa Ta'ala berfirman :
    فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا
    "Lalu keduanya bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. " (QS. Al-Kahfi: 65)

    Menurut Jumhurul Mufassirin (mayoritas ahli tafsir) sejak dari Ibnu Abbas, al-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Katsir sampai penafsir kontemporer Ahmad Musthafa al-Maraghi bahwa yang dimaksud keduanya pada ayat ini adalah Nabi Musa 'Alaihi Salam dan anak muda pengiringnya (pembantunya) Yusya' bin Nun. Sementara yang dimaksud seorang di antara hamba-hamba Kami adalah Nabi Khidhr 'Alaihi Salam. Tetapi penafsir kontemporer yang lain yaitu al-Syahid Sayid Quthb, penyusun Tafsir Fi Dzilalil Qur'an tidak menyebut nama Khidhr ketika menafsirkan ayat ini. Dia hanya menyebut al-abdush shalih (hamba yang shalih) saja. Dia berpendirian demikian sebab di dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan kisah ini (QS. Al-Kahfi: 65-82) tidak pernah disebut nama Khidhr. Oleh karena itu, dia merasa lebih baik membiarkan sosok ini tetap rahasia seperti yang termaktub dalam al-Qur'an.

    Siapakah Khidir?

    Sosok Khidhr 'Alaihi Salam yang menurut Jumhurul Mufasirin sebagai nabi yang dijadikan oleh Nabi Musa 'Alaihi Salam sebagai gurunya, telah menimbulkan kontroversi di kalangan ulama sejak dahulu sampai sekarang. Khidhr atau Khadhir atau Khidhir berasal dari bahasa Arab yang berarti hijau. Menurut riwayat Mujahid apabila dia shalat rumput-rumput kering yang di sekelilingnya menjadi hijau. Oleh karena itu, dia disebut Khidhir (hijau). Segolongan orang terutama dari kalangan kaum Shufi mengatakan bahwa dia masih hidup sampai sekarang. Banyak cerita lainnya, tetapi kebanyakan cerita tersebut bearasal dari kisah-kisah israiliyat. Dan tentang beliau masih hidup sampai sekarang, bertentangan dengan frman Allah;

    "Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati..." (QS. Al-Anbiya': 34-35).

    Imam Bukhari dan beberapa perawi hadis yang lain menegaskan Nabi Khidhr 'Alaihi Salam telah meninggal.

    Perjalanan Nabi Musa 'Alaihi Salam Menuntut Ilmu

    Salah satu etika mencari ilmu dalam al-Qur'an adalah bahwa ilmu harus dicari dari sumbernya. Ia harus didatangi walaupun jauh tempatnya dan susah jalannya. Al-Qur'an menceritakan tentang seorang yang bersusah payah menempuh jarak yang sangat jauh, melewati hamparan padang pasir di bawah terik matahari yang membakar dan memakan waktu yang cukup lama untuk menemui orang yang memiliki ilmu yang tidak dimilikinya.

    Orang yang menempuh perjalanan yang sangat sulit itu adalah Nabi Musa bin Imran 'Alaihi Salam, salah seorang nabi pilihan (Ulul Azmi). Nabi yang pernah diajak bercakap-cakap langsung oleh Allah (Kalimullah) serta diturunkan kepadanya Kitab Taurat. Nabi yang berhasil memimpin Bani Israil, bangsa yang sangat degil dan culas, berkat kesabaran dan keteguhan hatinya. Dialah satu-satunya Nabi yang namanya disebut 300 kali lebih dalam al-Qur'an. Dalam pada itu, dia mempunyai sifat-sifat kelemahan sebagai manusia, yaitu lekas penaik darah.

    Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Musa 'Alaihi Salam berpidato di hadapan Bani Israil, tiba-tiba dilontarkan pertanyaan, "Siapakah manusia yang terpandai?" Musa menjawab, "Saya." Allah menegurnya karena perkataan itu, sebab dia tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Lalu Allah berkata kepadanya, "Sesungguhnya ada hamba-Ku di tempat pertemuan dua samudera lebih pandai darimu.”

    Dalam riwayat lain disebutkan, Musa 'Alaihi Salam bertanya kepada Allah, "Seandainya ada di antara hamba-Mu yang lebih pandai dariku, tunjukkanlah kepadaku siapakah dia." Allah menjawab, "Ya, diantara hamba-Ku ada yang lebih pandai darimu." Kemudian Allah menunjukkan tempatnya dan Musa 'Alaihi Salam diizinkan untuk bertemu dengannya.

    Maka berangkatlah Nabi Musa 'Alaihi Salam menuju tempat itu dengan ditemani pembantunya yang masih remaja bernama Yusya ' bin Nun. Orang Yahudi tidak mengakui cerita ini dan mengatakan bahwa Nabi Musa 'Alaihi Salam tidak pernah belajar kepada Nabi yang lain, sekalipun mereka mengakui keberadaan Nabi Khidhr 'Alaihi Salam. Tetapi mereka menolak bahwa Nabi Musa 'Alaihi Salam belajar kepada orang lain karena menurut mereka Nabi Musa 'Alaihi Salam lebih tinggi pangkat, derajat, dan kedudukannya sehingga tidak pantas belajar lagi.

    Kisah antara Nabi Musa dan Nabi Khidhr 'Alaihima Salam ini mengandung banyak sekali hikmah yang dapat diterapkan dalam bidang pendidikan.

    Kisah ini mengisyaratkan bahwa manusia diwajibkan belajar kepada siapa saja yang mempunyai ilmu, dan bermanfaat bagi dirinya sekalipun orang itu lebih muda umurnya dan lebih rendah statusnya. Seperti Nabi Musa 'Alaihi Salam yang memiliki kedudukan yang sangat tinggi rela belajar dengan Nabi Khidhr 'Alaihi Salam sosok yang tidak dikenal di tengah-tengah masyarakat yang statusnya lebih rendah bahkan diperselisihkan kenabiannya.

    Kisah ini juga menunjukkan pentingnya aktif bepergian untuk mencari ilmu. Sejarah tidak pernah mencatat umat manapun selain umat Islam yang demikian aktif mengadakan rihlah (bepergian) untuk mencari ilmu. Imam Bukhari dalam Shahihnya membuat bab khusus yang diberi nama "al-Khuruj fil Thalabil Ilmi." Allamah Khatib al-Baghdadi telah mengarang kitab khusus tentang kisah perjalanan para pencari hadis yang diberi nama "Rihlah fi Thalabil Hadits." Di dalamnya disebutkan keutamaan-keutamaan mencari ilmu dan perjalanan antar para sahabat sendiri untuk saling bertukar pikiran di antara mereka.

    Di antara kisah itu, adalah sebagaimana yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah bahwa dia pernah pergi ke Syam, melaksanakan perjalanan sebulan lamanya untuk menanyakan sebuah hadis yang belum pernah dia dengar, dia berkata, "Saya membeli seekor unta untuk menempuh perjalanan jauh. Kutelusuri perjalanan selama sebulan dan sampailah aku di Syam. Kutemui Abdullah bin Unais al-Anshari, dan aku beritahu kepada penjaganya bahwa Jabir bin Abdullah meminta izin untuk bertemu. Kemudian orang itu kembali dan bertanya, "Betul anda Jabir bin Abdullah?" Aku jawab, "Ya, betul." Ia kembali ke dalam dan Abdullah bin Unais keluar langsung memelukku. Aku bertanya, "Aku mendengar bahwa anda mendengar hadis tentang mazhalim (penganiayaan) yang belum pernah aku dengar, aku takut ajal menjemputku sebelum aku mendengar hadis tersebut." Kemudian diucapkan hadis itu." (HR. Bukhari, Ahmad, dan Abu Ya'la)

    Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah bahwa ada seorang sahabat pergi ke Mesir untuk menanyakan sebuah hadis kepada Fadhalal bin Ubaid.

    Pada suatu hari Ahmad bin Hanbal ditanya oleh seseorang, "Manakah yang lebih baik seorang alim mengajariku atau aku pergi mencari ilmu?" Imam Ahmad menjawab, "Pergi mencari ilmu ke penjuru negeri itu lebih baik sehingga dia dapat langsung bertemu dengan ulama yang ahli.”

    Sementara itu, al-Sya'bi menegaskan, "Bagiku tidak sia-sia perjalanan seseorang dari sudut Syam sampai ke ujung negeri Yaman walau hanya untuk mendengarkan satu kalimat hikmah.”

    Ungkapan yang sangat terkenal di kalangan umat Islam, "Carilah ilmu walaupun sampai di negeri Cina," bahkan ada yang mengatakannya sebagai hadis Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, padahal hanya ucapan para ulama, menggambarkan semangat umat Islam untuk merantau dalam mencari ilmu. Adapun mengapa disebut Cina, karena pada saat itu negeri ini dikenal orang Arab sebagai negeri terjauh yang memiliki peradaban tinggi.

    Kisah di atas juga mengajarkan bahwa mencari ilmu itu tidak mengenal status, kedudukan, dan usia. Kisah ini adalah untuk perbandingan bagi para pemimpin dan orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain agar tidak berhenti belajar. Nabi Musa 'Alaihi Salam, sebagai seorang telah memiliki kedudukan  sangat tinggi dan usia yang tidak muda lagi tetap memiliki semangat belajar yang tinggi.

    Pernah ditanyakan kepada Amr bin Al'ala', sampai usia berapakah sebaiknya orang belajar? Maka ia menjawab, "Selama hayat di kandung badan, adalah baik untuk belajar." Al-Zarnuji meriwayatkan bahwa orang yang sehat badan dan akalnya sama sekali tidak mempunyai alasan untuk tidak belajar, betapapun usianya sudah lanjut." Ibnu Qutaibah pun meriwayatkan, "Seseorang tetap berilmu selagi ia masih mempunyai kemauan untuk belajar. Tetapi apabila ia telah mengira bahwa ia sudah pandai maka ia telah menjadi orang bodoh." Pada bagian lain, al-Zarnuji meriwayatkan bahwa seorang ulama besar murid Abu Hanifah yang bernama Hasan bin Ziyad memulai belajar ketika usianya telah mencapai 80 tahun.

    Adab Menuntu Ilmu

    Imam Fakhrur Razi mengatakan, “Ketahuilah, ayat ini (Q.S. al-Kahfi: 66) menunjukkan bahwa Nabi Musa memperhatikan adab serta tata cara yang cukup banyak dan lunak ketika ingin belajar dari Nabi Khidir. Tata cara tersebut antara lain:

    Menjadikan dirinya sebagai pengikut Nabi Khidir karena ia mengatakan “Bolehkah aku mengikutimu?”

    Minta izin untuk mengikutinya ketika ia mengatakan, “Apakah engkau mengizinkan agar aku mengikutimu.” Kalimat ini sangat halus untuk sebuah penghormatan.

    Ia mengatakan “Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar. “ ini membuktikan pengakuan akan kebodohan dirinya di hadapan sang guru. Dan beberapa adab lainnya.

    Dalam satu riwayat Nabi Khidir telah diberitahukan bahwa Musa adalah Nabi Bani Israel yang diturunkan kepadanya kitab Taurat dan yang pernah berkata-kata dengan Allah secara langsung. Dengan kemuliaannya ini, ia meminta agar Khidir mengajarinya ilmu. Kita bisa pahami bahwa Musa saat itu benar-benar orang yang mempunyai kepribadian luhur serta tawadlu. Hal ini sangat sesuai dengan dirinya yang mempunyai banyak ilmu pengetahuan, sehingga dengan ilmunya itu, dia mengerti tata cara yang tinggi dan halus dalam menghormati ahli ilmu.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Kamis, 06 Maret 2014

  • Memahami Syari'ah Guna Menyikapi Perbedaan

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
    “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengibadahiKu.” (QS. Adz Dzariyat : 56)

    Kata khalaqa dalam ayat ini berarti  ‘menciptakan’, mengukur dan mengatur. Sedangkan jinn, terambil dari akar kata janana yang berarti ‘menutup’ atau tidak kelihatan. Anak yang masih dalam kandungan dinamakan janin, karena tidak terlihat. Demikian pula surga ataupun hutan yang lebat dinamakan jannah karena pandangan manusia tidak dapat menembusnya. Majnun atau orang gila, artinya yang tertutup akalnya.

    Ta’rif Ibadah

    Ibadah secara bahasa berarti merendahkan diri serta tunduk, sedangkan menurut istilah paling tidak ada tiga definisi, pertama, taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya. Kedua, merendahkan diri kepada Allah Ta’ala, yaitu tingkatan tunduk disertai rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi. Ketiga, adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Dan yang ketiga ini merupakan definisi yang paling lengkap.

    Berdasarkan arahnya, ulama membagi bentuk ibadah pada dua macam, ibadah mahdloh dan ibadah ghair  mahdloh. Meski sebagian lain ada yang membagi lebih dari dua. Ibadah mahdloh adalah ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah semata-mata (vertical). Ibadah ini  hanya terbatas pada ibadah-ibadah khusus, dan semua aturan pelaksanaannya dan ketentuannya telah ditetapkan secara rinci melalui al-Qur’an dan atau hadis shahih.

    Sedangkan ghir mahdloh adalah ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah , tetapi juga berkait dengan hubungan sesama makhluk (habl min Allah wa habl min an nas), disamping hubungan vertical juga terdapat unsur horizontal.

    Ibadah mahdloh tanpa didasari ilmu dan pemahaman yang benar akan menjadi amalan bid’ah serta kesesatan yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Rasulullah shalallahu Alahi wa sallam bersabda, “Dan jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, iia berkata hadis ini hasan shahih)

    Sunnah dan Bid’ah

    Hadis Nabi Shallallahu alaiihi wasallam riwayat Muslim bersanad Aisyah ra., menyatakan, “Bahwa Rasulullah SAW bersabda, siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka ia tertolak.”

    Disamping itu, satu amal bid’ah akan menguburkan bahkan menghapus satu amalan sunah. Sebaliknya amalan sunnah bisa membentengi serta menangkis ritual bid’ah. Banyak amalan sunnah yang belum diamalkan bahkan ditinggalkan secara sengaja oleh umat Islam. Ta’rif (definisi) sunnah yang dimaksud adalah sunnah Nabi SAW, yaitu mencakup segala ucapan (qaul), perbuatan (fi’il) dan izin (takrir) beliau terhadap satu amalan shahabat baik terjadi di hadapan maupun terjadi di belakang Nabi yang kemudian dilaporkan shahabat kepada beliau shalallahu alaihi wasallam.

    Bid’ah muncul disebabkan oleh beberapa factor yaitu, pertama, karena kebodohan tentang sumber hukum dan cara pemahamannya. Kedua, mengikuti hawa nafsu dalam memutuskan hukum.  Ketiga, menjadikan akal sebagai tolak ukur hukum syar’i.

    Dan telah sepakat para ulama rahimahumullah bahwa ibadah tidaklah diterima kecuali jika telah berkumpul dua hal, yaitu ikhlas karena Allah semata dan mengikuti  (al mutaba’ah) Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Sehingga ibadah itu telah dibatasi dengan dua hadis, yaitu hadis Umu Qais dari Umar bin khaththab ra, innamal ‘amalu binniyah (sesungguhnya amal itu tergantung dengan niyatnya) dan hadis Aisyah di atas.

    Al-mutaba’ah belum dianggap benar kecuali jika telah bersesuaian dengan syariat Islam dalam enam hal, yaitu sebabnya, jenisnya, ukurannya, tatacaranya/kaifiyat, waktu serta tempatnya.

    Namun perlu dicatat bahwa bid’ah yang muncul sebagai konsekuensi dari hasil ijtihad ulama mujtahid, syariat tidak mengancam mereka dengan siksa neraka, bahkan mereka tetap mendapat satu pahala. Hal ini berdasarkan hadis nabi bersanad Amr bin Al ash yang menjelaskan, “Dari amr bin Al Ash, bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang hakim memutuskan perkara dengan berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan jika memutuskan perkara dengan ijtihad kemudian salah maka baginya satu pahala.” (shahih Bukhari)

    Hendaknya kita bersikap teguh dalam berpegang kepada Al-Qur’an serta As-sunnah namun tetap luwes dan lapang dada dalam menyikapi  perbedaan dengan saudara muslim lainnya. “Bid’ah” yang dipahami suatu komunitas bisa jadi “sunnah” dalam pandangan mujtahid lainnya. apalagi banyak peristiwa di zaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin yang membuka peluang untuk menerima perbedaan hasil ijtihad tersebut.

    (sebagai contoh; Ada seseorang saat I’tidal dalam solat berjamaah bersama nabi membaca ‘rabbana lakal hamdu hamdan katsiran thoyyiban mubarokan fiihi’ seperti diriwayatkan imam Bukhari dan lainnya, padaahal hal itu belum diajarkan secara tegas dan terperinci oleh Nabi kepadanya. Namun, justru bacaan orang tadi tidak dinyatakan sebagi bid’ah bahkan Nabi menyatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang diburu para malaikat untuk mencatatnya.

    Kasus lainya, tentang talafudhun niat (melafadhkan niat) yang dianggap bid’ah oleh suatu komunitas muslim karena dianggap bahwa nabi tidak pernah mengajarkan secara terperinci dan tegas tentang melafadhkan niat  tersebut, tetapi dianggap sunnah oleh komunitas muslim lainnyaberdasaarkan hadis yang diriwayatkan imam muslim dan imam Malik;

    “Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata, Rasulullah SAW bertanya pada suatu hari, “wahai Aisyah, adakah sesuatu di sisimu?” ‘Aisyah menjawab, “maka aku katakana, ya Rasulullah kita tidak memiliki apapun, “Rasulullah berkata, “(kalau begitu) aku berpuasa).”

    Dalam hadis ini Nabi menyatakan, fainni shooim (kalau begitu aku puasa) dan ini dianggap oleh sebagian orang sebagai hujjah sunnahnya atau palingg tidak bolehnya melafalkan niat.

    Hadis ini dan juga hadis-hadis lain semisal yang dapat itemukan dalam kutubut tis’ah mengharuskan muslimin untuk berlapang dada dan tetap mempererat tali ukhuwah diantara mereka, walau berbeda satu sama lain dalam memahami dan mengikuti perbedaan masalah cabang ini.)

    Takhtim

    Karenanya, mencari ilmu yang digali dari sumber syariah yang sahih dan ditimba dari mata air hikmah yang dalam merupakan keniscayaan bagi para musafir (pejalan) dalam menempuh perjalanan lurus menemui kekasih-Nya.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism