Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Rabu, 23 April 2014

  • Dua, Tiga, Empat Atau Satu

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An Nisaa [4]: 3)

    Menurut riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari ‘Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa ayat ini turun berkenaan dengan anak perempuan yatim di bawah penjagaan walinya. Si wali tertarik kepada hartanya dan kecantikannya. Maka dia bermaksud hendak menikahi anak asuhannya itu tetapi dengan tidak hendak membayar mas kawinnya dengan adil seperti pembayaran mas kawin kepada perempuan lain. Maka mereka dilarang menikah dengan anak perempuan itu kecuali dengan membayar mas kawinnya secara adil sebagaimana yang dibayarkan kepada perempuan lain.

    Sebelum ayat ini turun, pria Arab, Yahudi, dan bangsa-bangsa lain mengambil wanita sebagai isteri sekehendak hati, jumlahnya tidak terbatas dan sama sekali tidak disyaratkan adil terhadap isteri-isterinya. Maka datanglah ayat di atas, menentukan batas, pria tidak boleh beristeri lebih dari empat orang dan bagi pria yang ragu dirinya tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, diwajibkan agar beristeri satu saja.

    Mencukupkan satu isteri saja wajib dilakukan oleh orang laki-laki, hanya khawatir kalau-kalau ia akan terjerumus ke dalam ketidakadilan ini, sampai dengan suasana, di mana kekhawatiran itu hanya merupakan sesuatu yang diduga akan terjadi dan belum pasti.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan demikian ini dengan kata-kata wa inkhiftum “Dan jika kamu khawatir” kata in (jika) menerangkan suatu syarat yang belum pasti dan baru dikhawatirkan saja akan terjadi. Berbeda dengan kata idza (apabila) yang menerangkan suatu syarat yang pasti akan terjadi.

    Jadi kalau seorang laki-laki mempunyai kekhawatiran atau dugaan bahwa ia tidak sanggup berlaku adil apabila memiliki isteri lebih dari satu, maka wajiblah ia beristeri satu saja walaupun sebenarnya ada harapan dia dapat berlaku adil ketika beristeri lebih dari satu. Ayat ini menunjukkan bahwa berlaku adil antara isteri-isteri itu hukumnya wajib, sebagai perintah agama, lebih dari keadilan yang diperintahkan dalam pergaulan dengan sesama manusia pada umumnya.

    Dalam hal ini bersabda: “Barang siapa mempunyai dua isteri, lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil di antara keduanya, maka pada hari kiamat dia akan datang keadaan pinggangnya miring.” (H.R. Ahmad)

    Yang dimaksudkan ‘dalam keadaan pinggangnya miring’ adalah suatu tanda yang membuat dia merasa malu di padang mahsyar, di hadapan khalayak ramai.

    ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu berlaku adil dalam membagi giliran terhadap isteri-isterinya. Walaupun demikian beliau berkata dalam doanya.

    “Ya Allah, inilah kemampuanku membagi giliran. Maka janganlah engkau mencela dengan apa yang engkau miliki dan bukan milikku.” (H.R. Hakim)

    Yang dimaksud ‘bukan milikku’ adalah kecenderungan lebih mencintai salah seorang isteri-isterinya. Kenyataan inilah yang digambarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

    Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An Nisaa [4]: 129)

    Pada ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan bahwa suatu perkara yang tidak dapat dihindarkan orang laki-laki yang beristeri lebih dari satu adalah kecenderungan lebih mencintai salah seorang isterinya walaupun dia ingin sekali menghindarkan hal tersebut. Oleh karena itu Allah mengingatkan, janganlah kecenderungan mencintai salah seorang isteri ini menyebabkan meninggalkan isteri yang kurang dicintai atau mengurangkan kata-katanya sehingga menyebabkan dia seperti barang yang tergantung tidak bertali, terkatung-katung dan teraniaya jiwa dan raganya.

    Para ulama telah merumuskan keadilan yang wajib dipraktekkan oleh suami terhadap isteri-isterinya, di antaranya keadilan dalam munasyaroh (pergaulan), nafkah, tempat tinggal, waktu giliran dan niat dalam bergaul dengan isteri.

    Setelah Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan kewajiban berlaku adil terhadap para isteri, ayat di atas (Q.S. An Nisaa [4]: 3), Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuji orang laki-laki yang beristeri satu saja dengan kalimat, “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

    Maksudnya dengan beristeri satu orang lebih dekat kepada tidak berlaku aniaya (sewenang-wenang) kepada kaum wanita, atau banyak berbuat bohong atau menghadapi problem karena banyak tanggungan.

    Imam Asy-Syaukani mencatat 11 arti “an ta’ulu/berbuat zalim”:
    Berat pikulan, Memberati orang lain, Melarat, Sewenang-wenang/ aniaya, Keberatan, Payah tanggungan, Tidak tahan, Sibuk dan bertumpuk-tumpuknya pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan, Kian kemari mengembara diatas bumi mencarikan belanja, Menjadi lemah karena banyak tanggungan, dan Terlalu payah mengangkat keluarga besar.

    Muhammad Rasyid dalam bukunya “Al Wahyu Muhammady” mengatakan bahwa dibolehkannya beristeri lebih dari satu adalah dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

    Bagi orang laki-laki yang tidak ragu-ragu dapat berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Orang tersebut benar-benar membutuhkannya dan mampu memberi belanja dan memenuhi keperluan lain isteri-isterinya. Karena isteri mandul atau sudah tua sehingga tidak mungkin hamil atau mengidap penyakit yang menyebabkan tidak bisa hamil dan tidak bisa melayani kebutuhan suami. Dapat membawa kebaikan bagi wanita disebabkan jumlah wanita lebih banyak dari pada kaum pria umpama karena habis perang atau karena kebanyakan kaum pria mencari kehidupan di tempat lain.

    Jadi syariat pembatasan isteri sampai empat adalah untuk memuliakan wanita. Tidak dibenarkan seorang laki-laki menikah lagi hanya karena melihat perempuan cantik atau muda. Atau dengan alasan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat yang pada umumnya beristeri lebih dari satu.

    Kalau akan mengikuti sunnah hendaknya lebih dahulu mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya dalam keadilan beristeri, bukan beristerinya saja.

    Selanjutnya perlu difahami bahwa bolehnya beristeri lebih dari satu sampai empat bukanlah tujuan asli dari ayat di atas.

    Dr. Abd Nashir Taufik mengemukakan alasan antara lain: Beristeri banyak adalah sesuatu yang dibolehkan pada waktu turunnya ayat tersebut. Orang Arab biasa melakukannya tanpa batas. Orang Yahudi dan orang Kristen pada waktu itu juga tidak mengharamkannya. Jadi tidaklah diperlukan seruan untuk menetapkan sesuatu yang boleh ini dalam Al-Qur’an, hanya semata-mata untuk membolehkannya.

    Tidak ada satu ayat yang sempurna dalam Al-Qur’an yang jelas-jelas membolehkan beristeri lebih dari satu. Ayat yang memuat tentang hal ini dimulai dengan menyebut masalah anak yatim dan dilanjutkan syarat berlaku adil. Kalau tujuan ayat ini untuk membolehkan beristeri lebih dari satu, tentulah tidak perlu disebutkan masalah anak yatim.

    Redaksi yang biasa digunakan dalam Al-Qur’an untuk membolehkan sesuatu adalah dengan kata-kata  (tidak ada dosa) dan (dihalalkan bagimu). Tetapi pada ayat ini digunakan bentuk perintah maka nikahlah kamu).

    Dari bentuk perintah ini kita mengerti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghendaki perintah yang besar bukan semata-mata membolehkan. Para ulama sepakat bahwa kata-kata perintah pada ayat ini bukanlah perintah yang menunjukkan wajib tetapi maksudnya mengajari dan memberi tuntunan. Sebab apabila perintah ini wajib tentulah di dalamnya tidak ada pilihan. Tetapi jelas pada ayat tersebut orang yang akan menikah diberi kesempatan memilih dua, tiga dan empat. Bahkan kalau dia khawatir akan berlaku tidak adil maka hendaklah dia menikah dengan seorang wanita saja dan dilarang menikahi dua, tiga, dan empat.

    Dengan demikian tujuan asli ayat ini bukanlah membolehkan bahkan memerintahkan beristeri lebih dari satu tetapi tujuan asli ayat ini adalah tentang pernikahan anak yatim perempuan. Apabila memang demikian halnya mengapa beristeri lebih dari satu dilarang saja. Inilah kebijaksanaan Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah dan realitas kehidupan. Karena nikah adalah fitrah manusia dan dalam realitas kehidupan ada pria yang memiliki kemampuan menikah lebih dari satu dan dalam kondisi tertentu dapat terjadi wanita lebih banyak dari pria. Dalam kondisi seperti ini maka jalan keluar yang terbaik adalah memberi kesempatan pria yang berkemampuan menambah isteri tetapi dengan syarat dapat berlaku adil.

    Dengan demikian akan terwujud masyarakat yang bersih yang terhindar dari perselingkuhan dan perzinaan dan wanita akan terhormat karena menjadi isteri yang sah dari pria yang adil dan bertanggung jawab.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Kamis, 17 April 2014

  • Lima Pilar Kejayaan Islam (Bag 1)

    Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam menggambarkan umatnya yang hidup di akhir zaman, akan mengalami perpecahan dan pertikaian serta banyaknya perbedaan pendapat yang berakhir dengan perseteruan. Hal ini terbukti dengan hadirnya berbagai bentuk pergerakan, organisasi, yayasan, yang hanya mengedepankan teori retorika ketimbang mengedepankan praktik estetika.
    Ilustrasi

    Dengan kata lain, hari ini umat Islam hanya bisa menyiapkan akademisi ketimbang praktisi, akibatnya banyak sekali program yang mandul dan terbengkalai, karena antara jumlah akademisi dan praktisi sangat tidak berimbang.

    Etos kerja menjadi tujuan utama yang menghasilkan para koruptor kelas tri hingga kelas kakap, sedangkan etika yang mampu melahirkan kejujuran dinomorduakan bahkan ditiadakan. Hari ini, umat Islam hanya banyak bicara, namun sedikit sekali bekerja, begitu banyak berjanji tanpa bukti, selalu berkhianat dan sangat sulit mencari yang amanah.

    Itulah keadaan umat Muhammad SAW, yang hidup diakhir zaman. Kondisinya sangat memprihatinkan, suasana semakin memburuk saat dunia Islam berperang satu dengan lainnya, sangat sulit berdamai, dan terus memberi kesempatan kepada musuh untuk mengadu domba, bahkan tidak sedikit umat Islam menjadi orang munafiq lalu bekerja untuk musuhnya demi secuil dunia yang diimpikannya.

    Rasulullah SAW bersabda, artinya, “Akan terjadi pada kalangan umatku banyaknya perbedaan pendapat dan terjadinya perpecahan, dan akan lahir kaum yang hanya Bisa Berkata Baik Tetapi Buruk Perangainya.” (HR. Abu Dawud).

    Kita sangat berharap dengan prolog seperti ini melahirkan kesadaran umat Muhammad SAW untuk mengerti betapa pentingnya nilai persaudaraan. Mari kita kembalikan slogan umat  untuk tetap dalam koridor persatuan “Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh,” kalau kita tidak bersatu, maka jelas akan selalu ketinggalan oleh umat lain yang selalu memanfaatkan keberadaan Muslimin di pentas dunia. Pertanyaannya, sampai kapankah umat Islam akan terus begini? Tidakkah  kita malu dengan kondisi carut marut internal kaum Muslimin selama ini?

    Terlebih saat dihadapkan pada problematika saudara sesama Muslim di Palestina, sungguh sangat mengerikan. Negeri para nabi itu sangat membutuhkan perhatian dunia baik sandang, pangan, papan atau bantuan politik dalam dan luar negerinya. Oleh karena itu, umat Islam Indonesia harus merasa terpanggil untuk melakukan tindakan nyata demi membantu keadaan saudara sesama Muslim di Palestina yang selalu dijajah Israel. Maka dengan ini mari kita galang, “ukhuwwah Islamiyah dan persatuan umat untuk kemerdekaan Palestina dan Al-Aqsha.”

    Ada beberapa dasar hukum yang melandasi mengapa umat Islam harus membantu perjuangan di Palestina antara lain sebagai berikut: Allah SWT berfirma, artinya, “Saling tolong menolonglah kalian dalam urusan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam urusan dosa dan permusuhan.” (Qs. Al Maidah: 3).

    Artinya, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka perbaikilah diantara saudara-saudaramu dan hendaknya bertaqwa kepada Allah.” (Qs. Al Ahzab: 10).

    Bahkan, Rasulullah SAW pun bersabda, Artinya, “Seorang muslim adalah menjadi saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menganiayanya, tidak boleh menyerahkannya pada musuhnya, barangsiapa membantu hajat kebutuhan saudaranya, maka Allah didalam hajat kebutuhannya, barang siapa membantu kesulitan seorang muslim maka Allah akan membantu satu kesulitannya kelak dihari qiyamat, dan barang siapa yang menutupi keburukan saudaranya maka Allah akan menutupi kesalahannya dihari  kiamat.” (HR. Muttafaq a’laih).

    Dalam upaya membangun ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat dalam berbagai hal, tentunya bukan upaya baru bagi kita umat Muhammad SAW, dari semenjak dahulu para alim ulama para cendekiawan muslim mengajak agar umat ini tetap dalam kesatuan dan persatuan menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyyah, namun dalam perjalannya upaya ini selalu gagal ditengah jalan dan begitu banyak rintangan.

    Nampaknya perlu upaya baru untuk merintis kembali pekerjaan membangun ukhuwah Islamiyyah, dan sangat diharapkan adanya terobosan yang lebih berani untuk mengajak umat kearah persatuan dan kesatuan yang sangat kita idam-idamkan. Dalam memperjuangkan persatuan dan kesatuan itu, hendaknya sebisa mungkin hindarkan sifat putus asa disaat upaya kearah ukhuwah ini sedang kita bangun meskipun selalu dihantui oleh kegagalan.

    Setidaknya kita mencoba menoleh ke belakang sejarah keemasan Islam dari kurun waktu ke waktu, lalu kita menapaktilas tamadun kejayaan Islam itu, semoga kiranya masih ada harapan bagi umat Islam untuk kembali meraih kejayaan, kemulian, dan keagungan Islam yang dahulu telah kita miliki.

    Tentu harapan itu masih ada, namun kita harus bekerja keras untuk mewujudkan harapan itu. Kejayaan Islam itu hanya akan dapat terwujud melalui kesungguhan berjihad dalam berbagai lini kehidupan. Bisa jadi, ukhuwah Islamiyyah dan persatuan umat ini akan terjalin melalui lima pilar kejayaan Islam antara lain:

    Pertama, KEKUATAN AGAMA

    Jihad tanpa pondasi agama yang kuat, tidak mungkin sampai kepada tujuan dan cita-cita suci memuliakan Islam. Sebab itu hanya akan menjadi angan-angan kosong yang menyebabkan kita kehilangan waktu, tenaga, pikiran dan kesempatan.

    Karena itu sebelum niat untuk berjihad, hendaknya mengontrol dahulu kekuatan yang kita miliki, dari aqidah, akhlaq keislaman dan dari Muaamalahnya secara umum, karena tanpa kita kontrol pondasi kekuatan Islam yang seharusnya dimiliki oleh seluruh umat Islam, jangan harap kita akan meraih izzah Islam wal muslimin.

    Aqidah yang kita miliki harus bersih dari unsur kesyirikan, harus sanggup jauh dengan dunia thoghut, sehingga jelas wala’ dan bara’ kita hanya untuk Allah SWT, kalimatut Tauhid harus diusung diatas pondasi aqidah ini.

    Di antara Aqidah yang sedang kita perjuangkan adalah : kita tidak mengkafirkan orang Muslim manapun hanya karena melakukan dosa besar terkecuali syirik, dan kita berkeyakinan bahwa : setiap orang Islam yang melakukan dosa, selagi dosanya tidak mengeluarkan dirinya dari wilayah Islam, maka tetap orang tersebut adalah orang Islam, haram untuk dikafirkan.

    Dengan keyakinan seperti ini, kiranya kita dapat mempersatukan umat Muhammad SAW, namun tentunya tetap berpendirian pada kewajiban amar ma’ruf dan nahyi anil munkar mastatho’naa, karena soal Ishlah pada tubuh umat ini harus sejalan dengan cita-cita yang sedang diperjuangkan.

    Kedua, KEKUATAN EKONOMI 

    Kita harus sadar bahwa 90% atau mungkin 100% ekonomi dunia dikuasai kapitalis Yahudi dan Nasrani. Itu artinya kita sedang dijajah oleh mereka dari unsur ekonomi, dan penjajahan dengan model seperti ini akan lebih berbahaya bagi umat Islam.

    Mengapa Demikian? Karena umumnya penjajahan mengatas namakan apapun pasti memancing Mujahid yang siap berjuang melawan penjajahan, tapi ketika ekonomi yang dijajah tidak muncul Mujahid-mujahid yang siap bertempur melawan penjajah, bahkan yang ada adalah Mujahid–mujahid itu terpedaya oleh dunia ekonomi, diikuti oleh ulama, ustadz yang tidak lagi memiliki kejujuran dan amanah.

    Belum lagi dari kebisaan kita mengonsumsi makanan dan minuman produk mereka orang Yahudi dan Nasrani, dari KFC, Hamburger, Pizza, Coca-cola, mirinda, seven up, dan produk-produk lainnya, dan anehnya mujahid-mujahid Islam seperti ini merasa bangga dengan makanan dan minuman yang dikonsumsinya, sambil merokok pula mereka mengatakan gaya hidup kita memang harus berbeda dengan yang lain.

    Oleh karenanya slogan boikot produk yahudi yang selalu kita serukan disetiap event ataupun kongres hanya akan menambahhebat pelecehan mereka dan tertawa mereka semakin terbahak-bahak, (jika umat Islam tidak berbuat lebih), inilah kenyataan dan fakta kaum Muslimin di akhir zaman.

    Dalam kondisi seperti ini mestinya umat harus segera sadar, untuk membangun pondasi ekonomi guna menopang perjuangan Islam, menciptakan produk Islam baik dari makanan ataupun minumannya. Dan dari permodalan yang jauh dari unsur riba yang diharamkan.

    Ketiga, KEKUATAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

    Umat Islam harus memiliki sistem pendidikan berbasis Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunnah serta menitikberatkan pada akhlaqul karimah, menjauhi sistem pendidikan produk barat  yang berkiblat pada sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme. Umat Islam jangan lagi bangga dengan lulusan Amerika, Australia, Inggris, Kanada dll, kalau hasilnya hanya akan menjadi musuh dalam selimut, menjadi orang-orang munafiq, menghancurkan Islam sehancur-hancurnya, dengan doktrin SPILIS (sekularisme, pluralisme,liberalisme) mereka.

    Sudah saatnya umat Islam menerapkan sistem pendidikan berlandaskan kepada Al-Qur’an da As-Sunnah serta akhlaqul karimah, pada tempat-tempat pendidikan kaum Muslimin baik di pesantren maupun di sekolah-sekolah umum. Sudah saatnya pula kita mempersiapkan ustadz-ustadz dan mujahid-mujahid untuk menyongsong kekuatan pendidikan dan pengajaran umat, demi masa depan generasi islam yang penuh harapan.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Kamis, 10 April 2014

  • Mengapa Harus Berjama’ah?

    Pada beberapa firman-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahan umat Islam untuk hidup berjama’ah dan Allah melarang muslimin berpecah belah dan bergolong-golongan yang mengakibatkan banyak perselisihan juga pertikaian diantara mereka.

    Berikut beberapa dalil umat Islam harus berjama’ah;,

    1. Allah swt mewajibkan untuk berjama’ah
    Allah Ta’ala berfirman: “Bersatulah dengan tali Allah dengan berjama’ah (bersatu padu) dan janganlah berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103)

    Kalimat “jami’an” pada ayat ini artinya berjama’ah (bersatu-padu/bersama-sama), karena:

    1. Sesuai dengan makna yang telah diberikan oleh para ahli tafsir, diantaranya Abdullah bin Mas’ud, ia menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah “Al Jama’ah” (Tafsir Alqurthubi III/159, Tafsir Jaami’ul Bayan IV/21)
    2. Adanya qorinah lafdziyah , yaitu WA LA TAFARROQU setelah kalimat JAMI’AN, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksudkan adalah, “Allah memerintahkan mereka dengan berjama’ah dan melarang mereka berfirqoh-firqoh.” (Tafsir Ibnu Katsir I/189)
    3. Az Zajjaj berkata: “Kalimat JAMI’AN adalah dibaca nashob sebagai HAAL (Tafsir Zadul Masir I/433). Maka artinya secara berjama’ah dalam berpegang teguh pada tali Allah. (Tafsir Abi Su’ud II/66)
    4. Kalimat JAMI’AN dalam Al Qur’an yang harus diartikan “berjama’ah (bersama-sama/bersatu padu), diantaranya dalam surat: Ali Imron ayat 103, An Nisa’ ayat 71, An Nur ayat 61, Al Hasyr ayat 14.
    2. Allah ridha kepada Al Jama’ah
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu ridho kepada kamu pada tiga perkara dan benci kepada tiga perkara. Adapun (3 perkara) yang menjadikan Allah ridho kepada kamu adalah:
    1. Hendaklah kamu memper ibadati-Nya dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, 
    2. Hendaklah kamu ber pegang-teguh dengan tali Allah seraya berjama’ah dan janganlah kamu berfirqoh-firqoh, 
    3. Dan hendaklah kamu senantiasa menasihati kepada seseorang yang Allah telah menyerahkan kepemimpinan kepadanya dalam urusanmu. 
    Dan Allah membenci kepadamu 3 perkara; 
    1. Dikatakan mengatakan (mengatakan sesuatu yang belum jelas kebenarannya), 
    2. Menghambur-hamburkan harta benda, 
    3. Banyak bertanya (yang tidak ber faidah).” 
    (HR Ahmad, Musnad Imam Ahmad dalam Musnad Abu Hurairah, Muslim, Shahih Muslim: II/6. Lafadz Ahmad)

    3. Al Jama’ah adalah ahli surga
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kamu untuk berbuat baik kepada para sahabatku, kemudian kepada generasi yang setelah mereka dan kemudian pada generasi yang setelahnya, kemudian setelah itu akan tersebar kebohongan sehingga seseorang akan bersumpah sedangkan dia tidak diminta untuk bersumpah dan akan memberikan kesaksian sedangkan ia tidak diminta kesaksiannya. Ingatlah tidaklah sekali-kali seorang laki-laki bersepi sepian dengan seorang wanita (yang bukan muhrimnya), kecuali yang ketiganya itu syaitan, maka wajib atas kamu berjama’ah dan jauhilah berfirqoh-firqoh karena sesungguhnya syaitan itu berserta orang yang sendirian dan dia akan menjauh dari dua orang. Barangsiapa yang menginginkan bangunan di syurga, maka hendak lah menetapi Al-Jama’ah dan barangsiapa yang kebaikannya menjadikan ia gembira dan kejelekkannya menjadikan ia sedih maka itulah tanda orang yang beriman.” (HR.At-Tirmidzi dari Umar bin Al-Khattab, Sunan At-Tirmidzi dalam Kitabul Fitan:IV/404 No.2165 dan Ahmad, Musnad Ahmad:I/18, Lafadz At-Tirmdzi)

    4. Al Jama’ah adalah kekasih Allah dan musuhnya syaitan
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sepeninggalku akan ada huru-hara yang terjadi terus-menerus. Jika diantara kalian melihat orang yang memecah belah Al Jama’ah atau menginginkan perpecahan dalam urusan umatku bagaimana pun bentuknya, maka perangilah ia. Karena tangan Allah itu berada pada Al Jama’ah. Karena setan itu berlari bersama orang yang hendak memecah belah Al Jama’ah” (HR. An Nasai (Sunan an-Nasa’i Hadits no. 3954. As Suyuthi dalam Al Jami’ Ash Shaghir 4672, dishahihkan Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shahih 3621)

    5. Al Jama’ah adalah golongan yang selamat.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ingatlah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab itu berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang tujuh puluh dua golongan di dalam neraka sedang yang satu di dalam surga, yaitu Al-Jama’ah dan sesungguhnya akan ada dari ummatku beberapa kaum yang dijangkiti oleh hawa nafsu sebagaimana menjalarnya penyakit anjing gila dengan orang yang dijangkitinya, tidak tinggal satu urat dan sendi ruas tulangnya, melainkan dijangkitinya.” (HR. Abu Dawud dari Muawiyah bin Abi Sofyan, Sunan Abu Dawud dalam Kitabus Sunnah:IV/198 No.4597, Ahmad, Musnad Ahmad:III/145-IV/102 Lafadz Abu Dawud)

    Dalam Riwayat lain beliau bersabda: “(Al-Jamaah) ialah sesiapa yang seperti aku hari ini dan para sahabatku”.H/R Turmizi. (7/399-240)

    6. Al Jama’ah merupakan penyelamat dari kematian jahiliyah
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Al Jama’ah sejengkal saja lalu mati, ia mati sebagai bangkai Jahiliah” (HR. Bukhari no.7054,7143, Muslim no.1848, 1849)

    Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan tentang makna "matinya dalam keadaan mati jahiliyah" ialah: "Matinya seperti Ahli Jahiliyah, yaitu di atas kesesatan. Dan dia tidak memiliki imam yang ditaati kerana mereka tidak mengenalnya. Dan bukan maksudnya dia mati kafir, tapi matinya sebagai orang yang berbuat maksiat." (Fathul Bari XIII/7).

    7. Al Jama’ah merupakan sumber Rahmat dan penyelamat dari Adzab
    Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: "Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS.Asy-Syuura:8)

    Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Jika Tuhanmu menghendaki tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu (keputusan-Nya) telah diputuskan. Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS.Hud:118-119)

    Rasulullah saw bersabda: “Al Jama’ah itu adalah rahmat dan perpecahan (perselisihan) adalah adzab”. HR. Ahmad.

    8. Al Jama’ah merupakan perisai untuk memelihara keislaman seseorang.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga hal; orang yang telah kawin yang berzina, qishoh (pembunuhan), dan orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang memisahkan diri dari Jama’ah.” (HR.Muslim dari Abdullah, Shahih Muslim dalam Kitabul Qosamah wal muharibin: II/40, Ahmad, Musnad Ahmad: I/382, Abu Daud, Sunan Abu Daud: IV/126, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah: II/847, An-Nasai Sunan An-Nasa’i: VII/90, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi:IV/12 dan Ad-Darimi Sunan Ad-Darimi:II/218. Lafadz Muslim)

    Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa memisahkan diri dari Al-Jama'ah walaupun sejengkal, maka berarti dia telah melepaskan ikatan Islam dari tengkuknya." HR. 1. Abu Daud dalam Sunannya, hadis no. 4758.2. Ahmad dalam Musnadnya V/180 3. Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak I/117.4. Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah (892)Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu.

    9. Al Jama’ah merupakan pelindung dari ajakan ke Jahannam
    Hudzaifah r.a. meriwayatkan bahwa orang-orang ketika itu bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan sedangkan aku (Hudzaifah) bertanya tentang keburukan karena takut keburukan itu akan kutemui. Maka aku bertanya: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dulu dalam kejahiliyyahan dan kejelekan, kemudian Allah SWT menunjukkan kami dengan kebaikan ini. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan ? Jawab Rasulullah, “Ya.”

    Aku kembali bertanya, “Dan apakah setelah kejelekan itu ada lagi kebaikan ?” Rasulullah menjawab, “Ya, tetapi terdapat kabut di dalamnya.” Aku bertanya, “Apakah kabut itu?” Rasulullah menjawab, “Kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku, engkau mengetahui (kebaikan mereka) dan mengingkari (kejelekan mereka).” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan itu ada lagi kejelekan?” Rasulullah menjawab, “Ya, yaitu para penyeru yang mengajak ke neraka jahannam. Barangsiapa yang memenuhi seruan mereka, mereka akan diceburkan ke neraka jahannam.”

    Aku berkata, “tunjukkan sifat mereka pada kami.” Rasulullah bersabda, “Mereka berkulit sama seperti kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya lagi, “Apa yang engkau perintahkan pada kami jika itu kami temui?” Rasulullah menjawab,”Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya: “ Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imam?” Beliau bersabda: “Jauhilah semua kelompok (firqoh) tersebut sekalipun engkau harus menggigit akar pohon sehingga ajal menjemputmu sementara engkau tetap dalam keadaan seperti itu.” (Shahih Muslim, no.1847 dan Shahih Bukhari, no.6557).

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism