Kamis, 29 Desember 2016

  • Haramnya Merayakan Tahun Baru Masehi

    Allah Subahanhu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (31) Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran:31-32)

    Ayat ini menurut Ibnu Katsir sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak menempuh jalan Muhammad, Rasulullah, bahwa dia adalah pembohong dalam pengakuan cintanya itu. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits shahih, dari Rasulullah, beliau bersabda:

    “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.”

    Oleh karena itu, Allah berfirman “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” Maksudnya, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian, dan ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya.

    Selanjutnya Allah berfirman memerintahkan kepada setiap individu, `Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling.’” Yakni melanggar perintah-Nya, “Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.”

    Hal ini menunjukkan bahwa menyalahi Allah dalam menempuh jalan-Nya merupakan perbuatan kufur, sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang berpredikat seperti itu, meskipun ia mengaku mencintai Allah dan bertaqarrub kepada-Nya, sampai dia benar-benar mengikuti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam.

    Terkait dengan perayaan Tahun Baru yang sebentar lagi akan kita temui, hendaknya umat Islam tidak mengikutinya, tidak merayakannya, karena merayakan tahun baru masehi bukanlah ajaran Islam, bahkan itu adalah budaya orang-orang Kafir, Nasrani.

    Yang dimaksud di sini adalah tahun baru menurut umat Kristen, yang lajim disebut dengan Tahun Masehi, dengan mengambil kelahiran Yesus Kristus sebagai tahun 1.

    Hari-hari dalam kalender Masehi pun sebenarnya diadobsi dari kepercayaan Paganis Romawi Kuno, yang sangat mengangungkan, memuliakan dan memuja Dewa Matahari (Sun-God). Kaisar Konstantin pun masih merayakan hari ini ‘sun-day’ sebagai hari kelahiran Dewa Matahari/Dewa Terang, Dewa Kehidupan, kesembuhan dll, yang dipercaya lahir pada tanggal 25 Desember. (Sismono, Hari-Hari Besar Keagamaan).

    Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah.

    Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

    Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

    Karena itu, merayakan tahun baru Masehi merupakan sebuah larangan karena orang tersebut mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka, karena itu Tasyabbuh.

    Tasyabbuh adalah penyerupaan terhadap orang-orang kafir dengan seluruh jenisnya dalam hal aqidah atau ibadah atau adat atau cara hidup yang merupakan kekhususan mereka (orang-orang kafir).

    Dalil tentang diharamkannya tasyabbuh tersebut adalah (baik secara umum atau khusus) : Firman Allah subhanahu wa Ta’ala :Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.(QS. Al Baqarah:120). Juga dalam QS.Al Hadiid:16.

    Ibnu Katsir ra. menafsirkan ayat di atas, “Karenanya, Allah telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh kepada mereka dalam perkara apapun, baik yang sifatnya ushul (prinsipil) maupun yang hanya merupakan furu’ (perkara cabang)”. Tafsir Ibni Katsir (4/323-324)

    Dalil lain yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah SWT (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104).

    Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan Allah SWT telah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Karena orang Yahudi menggumamkan kata ‘ru’uunah’ (bodoh sekali) sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW seakan-akan mereka mengucapkan ‘raa’ina’ (perhatikanlah kami). (Tafsir Ibnu Katsir, 1/149).

    Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)

    Ibnu Taimiah berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada orang kafir.

    Dengan demikian Islam telah mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka seperti aqidah dan ibadah mereka, termasuk hari raya mereka.

    Waallahu a’lam bishowab

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism