Kamis, 23 Februari 2017

  • Islam dan Kekuasaan Dunia

    Firman Allah Ta’ala: “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Ali Imran: 26)

    Asbabun Nuzul
    Imam Al Baghawi dan Al Wahidy meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhasil membebaskan kota Makkah, beliau menjanjikan kepada umat Islam bahwa Kerajaan Persi dan Kerajaan Romawi juga akan dibebaskan. Kemudian orang munafiq dan orang yahudi berkata, “Tidak mungkin, tidak mungkin. Dari mana Muhammad dapat membebaskan Kerajaan Persi dan Romawi karena kerajaan ini sangat kuat dan kokoh. Apakah Makkah dan Madinah tidak cukup bagi Muhammad sehingga ingin menguasai Kerajaan Persi dan Romawi?”

    Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat di atas.

    Ayat ini merupakan sebagian ayat yang menjelaskan tentang kekuasaan atau kepemimpinan suatu kelompok atas kelompok yang lain yang disebut dengan istilah hegemoni. Pada ayat ini disebutkan bahwa Allah lah penguasa yang sebenarnya. Sebagaimana disebutkan pada ayat ini:

    Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Mulk: 1)

    Kekuasaan manusia betapapun besarnya hanyalah pinjaman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan naiknya seseorang menjadi penguasa hanyalah setelah adanya pengakuan dari orang lain.

    Sedang Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai Maha Kuasa tidaklah berkuasa karena diangkat dan seandainya semua makhluk di muka bumi tidak mau mengakui kekuasaan Allah, Allah tetap Maha Kuasa.

    Maka pada ayat di atas, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengajarkan kepada manusia dengan ungkapan penuh ta’dzim tentang kekuasaan. Dilihat dari segi kata-kata, ayat di atas bernuansakan doa; dari segi makna merupakan pengharapan; dari segi isi merupakan sentuhan halus pada perasaan manusia agar tidak berambisi kepada kekuasaan; dari segi ‘kauniyah’ menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah dalam mengatur alam raya ini dan manusia hanya bagian kecil dari bagian alam raya yang Mahaluas ini.

    Menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi ayat di atas merupakan penghibur untuk Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menghadapi orang yag menentang Islam sekaligus sebagai peringatan untuk beliau akan kekuasaan Allah yang mampu menolong agama-Nya dan meluhurkan kalimat-Nya.

    Muhammad Ramadlan Al Buthy menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berjuang bukanlah untuk mecapai suatu hegemoni (kekuasaan) atau mencapai jabatan tertinggi kepada sebagai penguasa atau raja.

    Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa ‘Utbah bin Rabiah, salah satu cendikiawan kafir Quraisy datang menghadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar beliau menghentikan dakwahnya sambil berkata, “Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang anda lakukan itu anda ingin mendapatkan harta, maka akan kami kumpulkan harta yang ada pada kami untuk anda sehingga anda menjadi orang yang terkaya di kalangan kami. Jika anda menginginkan kehormatan dan kemuliaan, anda akan kami angkat sebagai pemimpin dan kami tidak memutuskan persoalan apapun tanpa persetujuan anda. Jika anda ingin menjadi raja, kami bersedia menobatkan anda sebagai raja kami. Jika anda tidak sanggup menangkal jin yang merasuk ke dalam diri anda, kami bersedia mencari tabib untuk menyembuhkan anda tanpa menghitung biaya yang diperlukan sampai anda sembuh.”

    Ketika tawaran Utbah ini ditolak oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para pembesar Quraisy beramai-ramai mendatangi beliau dengan menawarkan apa yang ditawarkan oleh Utbah. Kepada mereka beliau menyampaikan, “Aku tidak memerlukan semua yang kamu tawarkan. Aku berdakwah tidak karena menginginkan harta kekayaan, kehormatan atau kekuasaan. Tetapi Allah mengutusku sebagai Rasul. Dia menurunkan Kitab kepadaku dan memerintahkan aku menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan.”

    Dari sini tampak jelas bahwa tujuan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukan untuk mencari kekuasaan dan beliau tidak mau menggunakan kekuasaan untuk menegakkan risalahnya, seperti yang dilakukan para penganjur ideologi sekuler yang memanfaatkan kekuasaan untuk memaksakan ideologi kepada orang lain.

    Jika cara seperti ini dibenarkan dan dianggap sebagai “kebijaksanaan” yang syar’i, niscaya tidak ada bedanya dakwah Islam dan penganjur kebatilan, karena dakwah Islam berdasar kerelaan, sebagaimana firman Allah:

    Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 256)

    Sedang penganjur kebatilan berdasar kesewenang-wenangan, dan penindasan. Sebagaimana firman Allah:

    “Sesungguhnya Fir´aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir´aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qashash: 4)

    Kekuasaan Senantiasa Berganti
    Para ahli sejarah menyatakan bahwa hegemoni Islam mulai mendunia di masa Islam di bawah kekuasaan Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 41H/661M. Di masa kekuasaan Bani Umayyah, Islam menjadi kekuatan yang paling menentukan di dunia saat itu. Sekalipun di awal kekuasaannya menimbulkan kontroversi yang dahsyat di kalangan umat Islam, tetapi kekuasaan Bani Umayyah telah menyumbangkan kepada umat Islam kekuasaan imperium yang luar biasa. Tidak salah bila dikatakan bahwa pada masa ini, hegemoni dan pengaruh Islam di luar jazirah Arab telah mencapai prestasi yang mencengangkan. Secara syar’i, Bani Umayyah dengan pemimpin yang pertama Muawiyah bin Abi Shafyan telah mengubah sistem khilafah menjadi monarki. Abul A’la al-Maududi menyebut pemerintahan Bani Umayyah sebagai kerajaan. Ketika menulis khalifah di depan nama Muawiyah, ia menulisnya dengan menggunakan tanda kutip, “Khalifah.” Menurut Maududi, kekuasaan Bani Umayyah tidak berdasarkan persetujuan kaum muslimin, dan tidak pula dipilih oleh umat Islam secara bebas melainkan berdasarkan kekuatan pedang.

    Ketika hegemoni Islam mendunia, keamanan dunia relatif dapat tercipta, para pengikut berbagai macam agama hidup dengan tenang dan terhormat karena mereka diberlakukan dengan sangat baik.

    Hegemoni umat Islam di dunia atas manusia berakhir dengan ruhtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang ditengarai dengan munculnya Kemal Al-Tatruk yang mengganti sistem Islam dengan sistem kapitalisme. Sejak itu kebesaran Turki Utsmani benar-benar tenggelam bahkan tidak lama kemudian pada tahun 1924 Kekhilafahan dihapuskan. Semua daerah kekuasaannya yang luas baik Asia, Afrika maupun Eropa dijajah oleh negara-negara Barat. Hegemoni Barat terhadap dunia Islam diawali dengan Perang Salib dari tahun 1095 – 1291. Disebut Perang Salib karena orang Kristen Eropa menggunakan tanda salib di dadanya sebagai symbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang dijalankan adalah perang suci. Tujuan Perang Salib adalah membebaskan kota suci Yerusalem atau Baitul Maqdis dari tangan kaum muslimin. Setelah itu berjalanlah penaklukan bangsa Eropa atas negeri muslim dengan latar belakang sebagai berikut:

    1. Mercenary, yaitu untuk mencari keuntungan di negeri-negeri Islam. 2. Missionary, yaitu untuk menyebarkan agama Kristen ke negeri-negeri Islam. 3. Military, yaitu untuk perluasan daerah militer.

    Selain hal di atas, yang melatarbelakangi penjajahan Barat adalah faktor ekonomi dan kekuasaan. Bentuk-bentuk penjajahan Barat terhadap dunia Islam berupa penyerangan, penaklukan, sehingga wilayah-wilayah Islam yang jatuh ke negara-negara Barat, rakyatnya ditindas dan diperbudak.

    Hegemoni Barat terhadap dunia Islam ternyata membawa implikasi yang sangat luas bagi perkembangan peradaban Islam, baik peradaban material yang berupa teknologi baru maupun peradaban mental. Hegemoni Barat telah memicu gerakan pembaharuan Islam yang bertujuan untuk memurnikan agama Islam dari pengaruh asing dan menggali sumber-sumber Islam dan menyadarkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah.

    Umat Islam menyadari bahwa hegemoni Barat terhadap dunia Islam adalah dikarenakan kaum muslimin tidak dalam kondisi bersatu. Perpecahan terjadi di seluruh wilayah dan para pemimpin Islam saling bermusuhan serta tidak memiliki seorang pemimpin. Oleh karena itu muncullah kesadaran umat Islam untuk kembali menghidupkan sistem kesatuan kepemimpinan yang disebut dengan sistem khilafah.

    Sesuai dengan sunatullah, hegemoni Barat terhadap dunia Islam mulai melemah. Hal ini adalah sebagai isyarat firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (Q.S. al-Taubah: 33)

    Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.“ (Q.S. al-Fath: 28). Atau dalam (Q.S. al-Shaff: 9)

    Rangkaian ayat di atas menegaskan bahwa akhirnya Islam-lah yang akan mengungguli agama-agama dan segala bentuk doktrin yang lain, dan umat Islam pasti akan menang selama mereka konsisten berpegang kepada petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ajaran Islam yang benar.

    Wallahu A’lam Nasehat Imamul Muslimin.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism