Jumat, 03 Maret 2017

  • Fase Kepemimpinan Muslimin


    Dari Nu’man bin Basyir Radliyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

    Adalah masa Kenabian ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada masa khilafah yang mengikuti jejak kenabian, adanya atas kehendak Allah kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada masa kerajaan yang menggigit, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada kerajaan yang menyombong, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada masa khilafah yang mengikuti jejak kenabian, kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad)

    Menurut hadits ini kepemimpinan umat Islam secara garis besar minimal akan mengalami dua periode, pertama masa nubuwwah yaitu masa kenabian dan masa khilafah ala minhajin nubuwwah. Kedua masa mulkan yaitu Mulkan adhdhan (kerajaan yang menggigit) dan Mulkan Jabariyah (kerajaan yang menyombong).

    Fase Nubuwwah dan Khilafah
    Masa ini dimulai dengan ditetapkannya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai seorang rasul dengan menerapkan syariat Islam sepenuhnya, sekaligus beliau sebagai penutup mata rantai kerasulan dan kenabian.

    Beliau telah menyampaikan petunjuk dan agama yang benar serta menegakkan syari'at Islam secara sempurna sehingga Allah pun menyempurnakan agama-Nya dan manusia berduyun-duyun masuk ke dalamnya hingga beliau wafat. Masa Nubuwwah ini berlangsung selama kurang lebih 23 tahun.

    Begitu juga kekhilafahan fase awal, masih disebut bagian dari nubuwwah, sebagaimana informasi hadits riwayat Ahmad tersebut yang menegaskan sebagai Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Karena pada masa itu umat Islam dipimpin oleh para Khalifah yang mengikuti jejak kenubuwahan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hal ini sebagai kabar nubuwwah Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi Wasallam untuk umatnya yang menunjukkan bahwa ketika beliau wafat, mesti ada yang menggantikan beliau sebagai pemimpin ummat, jangan sampai muslimin kembali berpecah belah setelah disatukan oleh Islam.

    Masa khilafah ini dimulai dengan dibai’atnya Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai Khalifah setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam wafat. Karena itu Abu Bakar disebut Khalifatur Rasulillah (pengganti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam). Selanjutnya Umar bin Khaththab sebagai Khalifah kedua disebut sebagai Khalifah-khalifah Rasulillah (penggantinya pengganti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam), namun lebih masyhur dengan sebutan Amirul Mu’minin. Khalifah ketiga, Utsman bin Affan, karena sebutannya terlalu panjang, hanya disebut Khalifah. Mulai saat itu sebutan Khalifah mulai dipakai secara popular. Sebutan tersebut terus berlaku sampai ke masa Ali bin Abi Thalib, sebagai Khalifah ke-4, yang terkenal juga dengan panggilan Imaam.

    Masa Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah ini berlangsung kurang lebih selama 30 tahun hijriyah, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari Safinah, berkata:

    “Khilafah pada ummatku tigapuluh tahun, kemudian setelah itu kerajaan.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

    Selanjutnya Safinah berkata, "Perhatikanlah, Khalifah Abu Bakar dua tahun, Umar sepuluh tahun, Utsman duabelas tahun dan Ali enam tahun.”

    Selanjutnya pada akhir zaman, muslimin akan kembali ke Masa Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Yaitu masa umat Islam akan kembali dipimpin oleh Khalifah yang mengikuti jejak kenabian setelah berlalunya masa mulkan (kerajaan), baik mulkan adhdhan maupun mulkan jabariyah.

    Pada kekhilafahan ini system yang berlaku adalah pertama, rahmatan lil Alamin. Islam diturunkan sebagai rahmat bagi semesta alam, tidak mengenal batas dan ikatan geoteritorial, bahasa maupun kebangsaan. (QS. Al-Anbiya [21]: 107).

    Kedua, Sebagai pelanjut tugas kerasulan, yaitu membimbing umat Islam kepada mardhatillah, amar ma’ruf nahyi munkar, menegakkan keadilan dan kedamaian di muka bumi ini, maka figurnya juga adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan kepemimpinan. Allah saw berfirman: “Kamu adalah umat terbaik yang di keluarkan kepada manusia, untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran…” (QS. Ali-Imran [3]: 104)

    Ketiga, Undang-undang yang berlaku adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah dan yang bermuara kepada keduanya. Hukum adalah mutlak milik Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Maka putuskanlah perkara diantara manusia dengan apa yang diturunkan Allah, dan jangan engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 48.

    Keempat, Prinsipnya bukan demokrasi atau teokrasi ala gereja, namun berprinsip bahwa kebenaran dan kekuasaan mutlak hanya milik Allah semata.

    Kelima, Pelaksanaan Undang-Undang bukanlah dengan jalan paksaan, seperti negara atau kerajaan, tetapi faktor iman dan taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Firman-Nya, “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah: 157).

    Fase Mulkan
    Masa Mulkan yaitu masa umat Islam dipimpin oleh para raja dan dengan system kerajaan. Sebagai raja pertama adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan (w. 60 H). Masa Mulkan (kerajaan) ini terdiri dari dua periode yaitu Mulkan Adhdhon (kerajaan yang menggigit) dan Mulkan Jabariyah (kerajaan yang menyombong). Para ahli sejarah mencatat bahwa masa mulkan ini berakhir dengan diruntuhkannya Dinasti Utsmaniyah di Turki oleh Mustafa Kamal Pasya pada tahun 1342 H / 1924 M.

    Pergeseran system khilafah kepada Mulkan/kerajaan telah mendistorsi sebagian pemahaman umat Islam. Padahal, hal tersebut terbantahkan, sebagaimana pengakuan Muawiyah sendiri saat mengakui bahwa system yang dijalankannya adalah system kerajaan, dan ia pun lebih senang diakui sebagai seorang raja, setelah seorang shahabat menganalisa dan membandingkannya dengan khilafah-khilafah sebelumnya.

    Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad, Mu’awiyah bin Abu Sufyan pernah berkata kepada Abdurrahman bin Abu Bakrah: “Apakah kamu berkata kami raja? Sungguh kami ridla dengan kerajaan.”

    Tokoh intelektual muslim, Abul ‘Ala Al-Maududi mengatakan dalam bukunya Khilafah dan Kerajaan, masa Muawiyyah merupakan masa peralihan dari system khilafah kepada system kerajaan.

    Dr.Qomarudin Khan, seorang cendekiawan muslim Pakistan dalam kajiannya menyimpulkan bahwa: “Al-Qur’an sama sekali tidak menyediakan prinsip hukum ketatanegaraan ataupun teori politik. Teori politik dalam Islam telah berkembang bukan dari Al-Qur’an, tetapi dari situasi kesejarahan dan karena itu tidak memiliki kesucian religius dalam dirinya.”

    Maka untuk mengembalikan pemahaman kita terkait kekhilafahan dan membedakannya dengan kerajaan atau Negara, maka perlu diketahu sifat dan cirinya, sehingga kita tidak keliru dalam memahaminya.

    System kerajaan merupakan satu system pemerintahan yang kurang lebih sama dengan system kenegaraan. Bila system parlemen ataupun presidensiil adalah system yang berdasarkan pada demokrasi, maka system kerajaan adalah system yang lebih cenderung kepada system monarki absolute dalam penggunaan kekuasaannya.

    Kerajaan adalah bentuk Negara yang dikuasai oleh golongan tertentu dan termasuk kedalam system pemerintahan yang tertutup. Hal itulah yang membedakan system kerajaan dengan system demokrasi dalam ketatanegaraan. Tidak ada pembagian kekuasaan (trias politika) dalam system ini karena negara adalah milik raja dan keluarga kerajaan.

    Ada beberapa ciri mendasar dari system kerajaan ini, yaitu : 
    1. pertama, suksesi jabatan yang tertutup. Bila raja meninggal maka segera digantikan dengan putra mahkota selanjutnya sebagai penerus kekuasaan raja. Sesuai dengan semboyan Perancis de roi est mort, vive le roi, yang berarti bila raja wafat, hiduplah raja. 
    2. Kedua, sifat feodalisme yang tinggi dari raja dan keluarganya. 
    3. Ketiga, Pengambilan pajak yang dipaksakan. 
    4. Keempat, kebenaran absolute bagi sang raja. Keputusan raja adalah benar dan harus dilaksanakan tanpa reserve. 
    5. Kelima, raja menguasai Lembaga Yudikatif, sehingga hukum hanya ditegakkan untuk rakyat saja tanpa dapat menyentuh raja dan keluarganya. 
    6. Keenam, sifat diktator dan otoriter merupakan suatu kelumrahan, sementara asas musyawarah tergantung pada kemauan dan kebijakan raja.
    Adapun unsur-unsur dari suatu Negara adalah :
    1. Pertama, wilayah teritorial, ditandai dengan batasan wilayah yang jelas secara de facto ataupun de jure. 
    2. Kedua, penduduk, warga negara yang di ikat oleh rasa nasionalisme kebangsaan serta cita-cita bersama warga negara tersebut. 
    3. Ketiga, pemerintahan. Yaitu penguasa yang memiliki hak penuh untuk membentuk, menyelengarakan serta memaksakan kekuasaannya untuk menjalankan undang-undang negara tersebut. 
    4. Keempat, kedaulatan, kekuasaan tertinggi untuk membentuk UU dan melaksanakannya dengan segala cara yang tersedia. Kedaulatan juga berarti mempertahankan kedaulatan kedalam (internal sovereignty) dan kedaulatan keluar (external sovereignty). 
    Jadi, secara umum antara Negara Kerajaan dengan Negara Demokrasi yang membedakannya adalah system pemerintahannya saja, namun hakikat keduanya adalah sama.

    Sedangkan khilafah merupakan kemurnian kelanjutan perjuangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dalam rangka menegakkan Islam, bukan dengan negara, bukan dengan kerajaan, juga bukan untuk merebut keduanya. Dengan wadah khilafah, muslimin dapat bersatu, jaya atas semua agama serta mendapat ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah. Wallahu A’lam

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism