Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Kamis, 27 April 2017

  • Janjiku, Hutangku

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Artinya, “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfa’at) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. Al-Israa [17] ayat 34)

    Apakah kita termasuk karakter orang yang suka berjanji? Jika ya, maka secara otomatis kita telah membuat utang kepada orang yang kita janjikan.

    Janji biasanya dibuat karena pada saat itu si pembuat janji belum bisa melakukan atau memenuhi apa yang orang lain atau dirinya sendiri inginkan, kemudian si penjanji merasa yakin keinginan itu bisa ia lakukan dan penuhi di kemudian hari.

    Biasanya pula, si penjanji berani berjanji hanya bertujuan untuk membuat orang lain merasa nyaman kepadanya atau agar dirinya mendapat izin melakukan sesuatu. Dengan memberikan janji, maka si panjanji berharap ia dipercaya dan diizinkan untuk melakukan tujuannya.

    Tidak perlu banyak contoh, cukuplah contoh seorang calon kepala daerah yang bertarung di dalam ajang pilkada.

    Si calon kepala daerah akan mengumbar janji-janji kepada warga di daerah tempat ia mencalonkan diri, agar warga merasa nyaman dan mengizinkan dia untuk menjadi kepala daerah dengan cara memberikan suara saat hari pemungutan suara atau pencoblosan.

    Ada sekelompok orang yang benar-benar serius memberikan janjinya dan sangat serius pula untuk memenuhinya, karena memang mereka menganggap perkara janji bukanlah hal yang ringan. Mereka tahu bahwa janji adalah utang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala juga janjikan akan memperkarakan janji-janji tersebut di hari akhir nanti.

    Namun, ada pula segolongan orang yang dengan mudah berjanji hanya untuk meraih pengizinan di saat itu, kemudian mereka meremehkan apa yang telah mereka ucapkan (janjikan) kepada orang lain. Mereka hanya menganggap janji-janji itu adalah perkara yang ringan semata.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Artinya, “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 40)

    Ibnu Jarir rahimahullah berkomentar tentang ayat ini, “Janji (Allah) kepada mereka, jika mereka melakukan hal itu, maka (Allah) akan memasukkan mereka ke Surga.”

    Di masa lalu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengambil janji kuat Bani Israil. Dan kepada manusia kemudian Allah jelaskan balasan yang akan Dia berikan kepada Bani Israil jika janji kuat mereka dipenuhi. Dalam QS. Al-Maidah [5] ayat 12 Allah mengisahkan.

    Artinya, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka, dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus’.” (QS. Al-Maidah [5] ayat 12)

    Orang-orang beriman yang menepati janjinya kepada Allah dan manusia, maka Allah akan membalasnya dengan surga. Karena itu pula, orang-orang yang tidak menepati janji, pastinya akan dibalas dengan neraka.

    Orang-orang yang tidak menepati janji bisa masuk neraka karena hadits di bawah ini menunjukkan status mereka.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Ada empat perkara barangsiapa yang empat perkara itu ada padanya maka ia adalah orang munafiq yang sebenarnya. Dan barangsiapa ada padanya satu bagian dari yang empat perkara itu berarti ada padanya satu bagian dari kemunafiqan sehingga ia meninggalkannya, yaitu: 1) Apabila diberi amanat ia khianat, 2) Apabila berbicara ia berdusta, 3) Apabila berjanji menyelisihi dan, 4) Apabila bertengkar ia curang.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai)

    Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tempat orang-orang munafik di akherat nanti dalam firman-Nya.

    Artinya, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’ [4] ayat 145)

    Wallahu a’alam bis showaab (Rudi/MINA)

  • Kamis, 23 Maret 2017

  • Kunci-Kunci Rizki

    Janganlah kita merasa takut kehilangan rezeki, ditinggal pergi pelanggan, atau kaburnya calon pembeli, apalagi sampai menyebabkan pertengkaran yang mengakibatkan hilangnya nyawa sesama muslim. Hendaklah kita ingat kepada Allah subahanahu wa Ta’ala. Karena disitulah letak keberkahan rezeki kita, dengan senantiasa ingat kepada Allah, niscaya cara memperoleh rizki yang kita lakukan tidak akan menyalahi aturan-Nya, apalagi sampai mendzolimi orang lain, dengan anggapan ‘jatah’ rizkinya diambil olehnya.

    "...Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Q.S. Ali Imran [3]: 37)

    Sebaliknya, marilah kita tumbuhkan rasa persaudaraan sesama muslim, saling mencintai dan saling membantu, dan hendaklah selalu ingat kepada Allah bahwa Dialah yang memberi rizki atas usaha kita, bukan manusia.

    Iman dan taqwa itulah, keyakinan dan konsekwensi menjalankan perintah Allah itulah, penyebab utama limpahan karunia dan keberkahan-Nya. Sebagaimana Allah sendiri yang menjanjikan di dalam kirab suci-Nya : Artinya : “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barokah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Q.S. Al-A’raaf [7]: 96). Itulah rezeki yang berkah lagi melimpah.

    Hendaklah kita meyakini bahwa rizki itu di tangan Allah, Dialah yang mengatur, Dialah yang memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dialah pula yang menahan rizki itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Namun, untuk mendapatkan rizki tersebut memerlukan beberapa sebab, baik yang bisa dijangkau maupun yang di luar batas kemampuan akal. Bekerja merupakan salah satu pintu rizki dari banyaknya pintu-pintu rizki yang Allah sediakan.

    Berikut ini, sebagian kunci-kunci rizki yang dipaparkan oleh Syaikh Dr. Fadhl Ilahi dalam bukunya “Mafaatiihu ar-Rizqi Fii Dhau-i al-Kitab wa as-Sunnah. edisi Indonesia “Kunci-Kunci Rizki Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah”.

    Istighfar dan Taubat
    Beliau mengatakan, “Di antara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah istighfar (memohon ampun) dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan).” Allah menyebutkan tentang Nuh yang berkata kepada kaumnya, “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.’” (QS. Nuh: 10-12)

    Imam al-Qurthubi mengatakan, “Dalam ayat ini, juga dalam surat Hud (ayat: 3-ed) adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan” (Tafsir al-Qurthubi, 18/302).

    Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, maknanya, “Jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepada-Nya dan senantiasa menaati-Nya niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, melimpahkan air susu perahan, membanyakkan harta dan anak-anak, menjadikan kebun-kebun dengan bermacam-macam buah-buahan serta mengalirkan sungai di antara kebun-kebun untuk kalian.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/449)

    Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan baginya pada setiap kesedihannya jalan keluar dan pada setiap kesempitan ada kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

    Takwa

    Takwa menurut Imam Nawawi adalah, ‘menaati Allah dalam hal perintah dan larangan-Nya, maksudnya menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah.

    Beliau mengatakan, “Termasuk sebab turunnya rizki adalah takwa.” Di antara nash yang menunjukkan bahwa takwa termasuk di antara sebab turunnya rizki adalah, firman Allah, yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 2-3)

    Dalam Ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan takwa akan dibalas dengan dua hal. Pertama, “Allah akan mengadakan jalan keluar baginya. Artinya, Allah akan menyelamatkannya- sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas- dari setiap kesusahan dunia maupun akhirat (Tafsir al-Qurthubi, 18/159). Kedua, Allah akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Artinya, Allah akan memberinya rizki yang tak pernah ia harapkan dan angankan (Zaadul Masir, 8/291-292)

    Bertawakkal Kepada Allah
    Tawakal menurut Imam al-Ghazali adalah, ‘Penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ‘ditawakkali’) semata.’

    Beliau mengatakan, “Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah.” Rasulullah bersabda, “Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, di dalam al-Musnad, no. 205)

    Silaturrahim
    Beliau mengatakan, “Di antara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim.” Rasulullah bersabda, “Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya) maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahim.” (HR. al-Bukhari, no.5985)

    Berinfak di Jalan Allah
    Beliau mengatakan, “Di antara kunci-kunci rizki lain adalah berinfak di jalan Allah.”

    Allah berfirman, artinya, “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39)

    Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, “Wahai anak adam, berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rizki) kepadamu.”(HR. Muslim)

    Memberi Nafkah Kepada Orang yang Sepenuhnya Menuntut Ilmu Syari’at (Agama)
    Beliau mengatakan, “Termasuk kunci-kunci rizki adalah memberi nafkah kepada orang yang sepenuhnya menuntut ilmu syari’at (agama).” Anas bin Malik mengatakan, “Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah. Salah seorang darinya mendatangi Nabi (yakni: untuk mencari ilmu dan pengetahuan-ed) dan (saudaranya) yang lain bekerja. Lalu, saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Nabi maka beliau bersabda, “Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia.” (HR. at-Tirmidzi, no.2448)

    Berbuat Baik Kepada Orang-Orang Lemah
    Beliau mengatakan, “Termasuk di antara kunci-kunci rizki adalah berbuat baik kepada orang-orang miskin.” Rasulullah bersabda, “Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki lantaran orang-orang lemah di antara kalian?” (HR. al-Bukhari, no.108)

    Hijrah di Jalan Allah
    Allah berfirman, artinya, “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak.” (QS. an-Nisa: 100)

    Bekerja Secara Halal
    Sabda Rasulullah , “Sesungguhnya di antara kalian tidak akan meninggal sampai disempurnakan rizkinya. Maka janganlah ia merasa lambat datang rizkinya. Bertaqwalah kepada Allah, perbaikilah dalam mencari rizki, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram.” (H.R. Ibnu Hibban)

    Bekerja secara halal adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Ikhlas, Amanat (dapat dipercaya), Tekun, Memperhatikan hak pekerja melalui : Memberi kemudahan dalam ibadah, Memberikan hak yang sesuai/pantas, Jujur, Mudah dalam menjual dan membeli, Menjauhi perkara yang haram.

    Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita dalam mencari karunianya dengan meniti jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah dan yang telah diterangkan oleh nabi-Nya yang mulia Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam.

    Wallahu A’lam

  • Jumat, 03 Maret 2017

  • Fase Kepemimpinan Muslimin


    Dari Nu’man bin Basyir Radliyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

    Adalah masa Kenabian ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada masa khilafah yang mengikuti jejak kenabian, adanya atas kehendak Allah kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada masa kerajaan yang menggigit, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada kerajaan yang menyombong, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada masa khilafah yang mengikuti jejak kenabian, kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad)

    Menurut hadits ini kepemimpinan umat Islam secara garis besar minimal akan mengalami dua periode, pertama masa nubuwwah yaitu masa kenabian dan masa khilafah ala minhajin nubuwwah. Kedua masa mulkan yaitu Mulkan adhdhan (kerajaan yang menggigit) dan Mulkan Jabariyah (kerajaan yang menyombong).

    Fase Nubuwwah dan Khilafah
    Masa ini dimulai dengan ditetapkannya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai seorang rasul dengan menerapkan syariat Islam sepenuhnya, sekaligus beliau sebagai penutup mata rantai kerasulan dan kenabian.

    Beliau telah menyampaikan petunjuk dan agama yang benar serta menegakkan syari'at Islam secara sempurna sehingga Allah pun menyempurnakan agama-Nya dan manusia berduyun-duyun masuk ke dalamnya hingga beliau wafat. Masa Nubuwwah ini berlangsung selama kurang lebih 23 tahun.

    Begitu juga kekhilafahan fase awal, masih disebut bagian dari nubuwwah, sebagaimana informasi hadits riwayat Ahmad tersebut yang menegaskan sebagai Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Karena pada masa itu umat Islam dipimpin oleh para Khalifah yang mengikuti jejak kenubuwahan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hal ini sebagai kabar nubuwwah Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi Wasallam untuk umatnya yang menunjukkan bahwa ketika beliau wafat, mesti ada yang menggantikan beliau sebagai pemimpin ummat, jangan sampai muslimin kembali berpecah belah setelah disatukan oleh Islam.

    Masa khilafah ini dimulai dengan dibai’atnya Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai Khalifah setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam wafat. Karena itu Abu Bakar disebut Khalifatur Rasulillah (pengganti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam). Selanjutnya Umar bin Khaththab sebagai Khalifah kedua disebut sebagai Khalifah-khalifah Rasulillah (penggantinya pengganti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam), namun lebih masyhur dengan sebutan Amirul Mu’minin. Khalifah ketiga, Utsman bin Affan, karena sebutannya terlalu panjang, hanya disebut Khalifah. Mulai saat itu sebutan Khalifah mulai dipakai secara popular. Sebutan tersebut terus berlaku sampai ke masa Ali bin Abi Thalib, sebagai Khalifah ke-4, yang terkenal juga dengan panggilan Imaam.

    Masa Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah ini berlangsung kurang lebih selama 30 tahun hijriyah, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari Safinah, berkata:

    “Khilafah pada ummatku tigapuluh tahun, kemudian setelah itu kerajaan.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

    Selanjutnya Safinah berkata, "Perhatikanlah, Khalifah Abu Bakar dua tahun, Umar sepuluh tahun, Utsman duabelas tahun dan Ali enam tahun.”

    Selanjutnya pada akhir zaman, muslimin akan kembali ke Masa Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Yaitu masa umat Islam akan kembali dipimpin oleh Khalifah yang mengikuti jejak kenabian setelah berlalunya masa mulkan (kerajaan), baik mulkan adhdhan maupun mulkan jabariyah.

    Pada kekhilafahan ini system yang berlaku adalah pertama, rahmatan lil Alamin. Islam diturunkan sebagai rahmat bagi semesta alam, tidak mengenal batas dan ikatan geoteritorial, bahasa maupun kebangsaan. (QS. Al-Anbiya [21]: 107).

    Kedua, Sebagai pelanjut tugas kerasulan, yaitu membimbing umat Islam kepada mardhatillah, amar ma’ruf nahyi munkar, menegakkan keadilan dan kedamaian di muka bumi ini, maka figurnya juga adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan kepemimpinan. Allah saw berfirman: “Kamu adalah umat terbaik yang di keluarkan kepada manusia, untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran…” (QS. Ali-Imran [3]: 104)

    Ketiga, Undang-undang yang berlaku adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah dan yang bermuara kepada keduanya. Hukum adalah mutlak milik Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Maka putuskanlah perkara diantara manusia dengan apa yang diturunkan Allah, dan jangan engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 48.

    Keempat, Prinsipnya bukan demokrasi atau teokrasi ala gereja, namun berprinsip bahwa kebenaran dan kekuasaan mutlak hanya milik Allah semata.

    Kelima, Pelaksanaan Undang-Undang bukanlah dengan jalan paksaan, seperti negara atau kerajaan, tetapi faktor iman dan taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Firman-Nya, “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah: 157).

    Fase Mulkan
    Masa Mulkan yaitu masa umat Islam dipimpin oleh para raja dan dengan system kerajaan. Sebagai raja pertama adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan (w. 60 H). Masa Mulkan (kerajaan) ini terdiri dari dua periode yaitu Mulkan Adhdhon (kerajaan yang menggigit) dan Mulkan Jabariyah (kerajaan yang menyombong). Para ahli sejarah mencatat bahwa masa mulkan ini berakhir dengan diruntuhkannya Dinasti Utsmaniyah di Turki oleh Mustafa Kamal Pasya pada tahun 1342 H / 1924 M.

    Pergeseran system khilafah kepada Mulkan/kerajaan telah mendistorsi sebagian pemahaman umat Islam. Padahal, hal tersebut terbantahkan, sebagaimana pengakuan Muawiyah sendiri saat mengakui bahwa system yang dijalankannya adalah system kerajaan, dan ia pun lebih senang diakui sebagai seorang raja, setelah seorang shahabat menganalisa dan membandingkannya dengan khilafah-khilafah sebelumnya.

    Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad, Mu’awiyah bin Abu Sufyan pernah berkata kepada Abdurrahman bin Abu Bakrah: “Apakah kamu berkata kami raja? Sungguh kami ridla dengan kerajaan.”

    Tokoh intelektual muslim, Abul ‘Ala Al-Maududi mengatakan dalam bukunya Khilafah dan Kerajaan, masa Muawiyyah merupakan masa peralihan dari system khilafah kepada system kerajaan.

    Dr.Qomarudin Khan, seorang cendekiawan muslim Pakistan dalam kajiannya menyimpulkan bahwa: “Al-Qur’an sama sekali tidak menyediakan prinsip hukum ketatanegaraan ataupun teori politik. Teori politik dalam Islam telah berkembang bukan dari Al-Qur’an, tetapi dari situasi kesejarahan dan karena itu tidak memiliki kesucian religius dalam dirinya.”

    Maka untuk mengembalikan pemahaman kita terkait kekhilafahan dan membedakannya dengan kerajaan atau Negara, maka perlu diketahu sifat dan cirinya, sehingga kita tidak keliru dalam memahaminya.

    System kerajaan merupakan satu system pemerintahan yang kurang lebih sama dengan system kenegaraan. Bila system parlemen ataupun presidensiil adalah system yang berdasarkan pada demokrasi, maka system kerajaan adalah system yang lebih cenderung kepada system monarki absolute dalam penggunaan kekuasaannya.

    Kerajaan adalah bentuk Negara yang dikuasai oleh golongan tertentu dan termasuk kedalam system pemerintahan yang tertutup. Hal itulah yang membedakan system kerajaan dengan system demokrasi dalam ketatanegaraan. Tidak ada pembagian kekuasaan (trias politika) dalam system ini karena negara adalah milik raja dan keluarga kerajaan.

    Ada beberapa ciri mendasar dari system kerajaan ini, yaitu : 
    1. pertama, suksesi jabatan yang tertutup. Bila raja meninggal maka segera digantikan dengan putra mahkota selanjutnya sebagai penerus kekuasaan raja. Sesuai dengan semboyan Perancis de roi est mort, vive le roi, yang berarti bila raja wafat, hiduplah raja. 
    2. Kedua, sifat feodalisme yang tinggi dari raja dan keluarganya. 
    3. Ketiga, Pengambilan pajak yang dipaksakan. 
    4. Keempat, kebenaran absolute bagi sang raja. Keputusan raja adalah benar dan harus dilaksanakan tanpa reserve. 
    5. Kelima, raja menguasai Lembaga Yudikatif, sehingga hukum hanya ditegakkan untuk rakyat saja tanpa dapat menyentuh raja dan keluarganya. 
    6. Keenam, sifat diktator dan otoriter merupakan suatu kelumrahan, sementara asas musyawarah tergantung pada kemauan dan kebijakan raja.
    Adapun unsur-unsur dari suatu Negara adalah :
    1. Pertama, wilayah teritorial, ditandai dengan batasan wilayah yang jelas secara de facto ataupun de jure. 
    2. Kedua, penduduk, warga negara yang di ikat oleh rasa nasionalisme kebangsaan serta cita-cita bersama warga negara tersebut. 
    3. Ketiga, pemerintahan. Yaitu penguasa yang memiliki hak penuh untuk membentuk, menyelengarakan serta memaksakan kekuasaannya untuk menjalankan undang-undang negara tersebut. 
    4. Keempat, kedaulatan, kekuasaan tertinggi untuk membentuk UU dan melaksanakannya dengan segala cara yang tersedia. Kedaulatan juga berarti mempertahankan kedaulatan kedalam (internal sovereignty) dan kedaulatan keluar (external sovereignty). 
    Jadi, secara umum antara Negara Kerajaan dengan Negara Demokrasi yang membedakannya adalah system pemerintahannya saja, namun hakikat keduanya adalah sama.

    Sedangkan khilafah merupakan kemurnian kelanjutan perjuangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dalam rangka menegakkan Islam, bukan dengan negara, bukan dengan kerajaan, juga bukan untuk merebut keduanya. Dengan wadah khilafah, muslimin dapat bersatu, jaya atas semua agama serta mendapat ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah. Wallahu A’lam

  • Kamis, 23 Februari 2017

  • Islam dan Kekuasaan Dunia

    Firman Allah Ta’ala: “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Ali Imran: 26)

    Asbabun Nuzul
    Imam Al Baghawi dan Al Wahidy meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhasil membebaskan kota Makkah, beliau menjanjikan kepada umat Islam bahwa Kerajaan Persi dan Kerajaan Romawi juga akan dibebaskan. Kemudian orang munafiq dan orang yahudi berkata, “Tidak mungkin, tidak mungkin. Dari mana Muhammad dapat membebaskan Kerajaan Persi dan Romawi karena kerajaan ini sangat kuat dan kokoh. Apakah Makkah dan Madinah tidak cukup bagi Muhammad sehingga ingin menguasai Kerajaan Persi dan Romawi?”

    Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat di atas.

    Ayat ini merupakan sebagian ayat yang menjelaskan tentang kekuasaan atau kepemimpinan suatu kelompok atas kelompok yang lain yang disebut dengan istilah hegemoni. Pada ayat ini disebutkan bahwa Allah lah penguasa yang sebenarnya. Sebagaimana disebutkan pada ayat ini:

    Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Mulk: 1)

    Kekuasaan manusia betapapun besarnya hanyalah pinjaman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan naiknya seseorang menjadi penguasa hanyalah setelah adanya pengakuan dari orang lain.

    Sedang Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai Maha Kuasa tidaklah berkuasa karena diangkat dan seandainya semua makhluk di muka bumi tidak mau mengakui kekuasaan Allah, Allah tetap Maha Kuasa.

    Maka pada ayat di atas, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengajarkan kepada manusia dengan ungkapan penuh ta’dzim tentang kekuasaan. Dilihat dari segi kata-kata, ayat di atas bernuansakan doa; dari segi makna merupakan pengharapan; dari segi isi merupakan sentuhan halus pada perasaan manusia agar tidak berambisi kepada kekuasaan; dari segi ‘kauniyah’ menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah dalam mengatur alam raya ini dan manusia hanya bagian kecil dari bagian alam raya yang Mahaluas ini.

    Menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi ayat di atas merupakan penghibur untuk Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menghadapi orang yag menentang Islam sekaligus sebagai peringatan untuk beliau akan kekuasaan Allah yang mampu menolong agama-Nya dan meluhurkan kalimat-Nya.

    Muhammad Ramadlan Al Buthy menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berjuang bukanlah untuk mecapai suatu hegemoni (kekuasaan) atau mencapai jabatan tertinggi kepada sebagai penguasa atau raja.

    Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa ‘Utbah bin Rabiah, salah satu cendikiawan kafir Quraisy datang menghadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar beliau menghentikan dakwahnya sambil berkata, “Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang anda lakukan itu anda ingin mendapatkan harta, maka akan kami kumpulkan harta yang ada pada kami untuk anda sehingga anda menjadi orang yang terkaya di kalangan kami. Jika anda menginginkan kehormatan dan kemuliaan, anda akan kami angkat sebagai pemimpin dan kami tidak memutuskan persoalan apapun tanpa persetujuan anda. Jika anda ingin menjadi raja, kami bersedia menobatkan anda sebagai raja kami. Jika anda tidak sanggup menangkal jin yang merasuk ke dalam diri anda, kami bersedia mencari tabib untuk menyembuhkan anda tanpa menghitung biaya yang diperlukan sampai anda sembuh.”

    Ketika tawaran Utbah ini ditolak oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para pembesar Quraisy beramai-ramai mendatangi beliau dengan menawarkan apa yang ditawarkan oleh Utbah. Kepada mereka beliau menyampaikan, “Aku tidak memerlukan semua yang kamu tawarkan. Aku berdakwah tidak karena menginginkan harta kekayaan, kehormatan atau kekuasaan. Tetapi Allah mengutusku sebagai Rasul. Dia menurunkan Kitab kepadaku dan memerintahkan aku menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan.”

    Dari sini tampak jelas bahwa tujuan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukan untuk mencari kekuasaan dan beliau tidak mau menggunakan kekuasaan untuk menegakkan risalahnya, seperti yang dilakukan para penganjur ideologi sekuler yang memanfaatkan kekuasaan untuk memaksakan ideologi kepada orang lain.

    Jika cara seperti ini dibenarkan dan dianggap sebagai “kebijaksanaan” yang syar’i, niscaya tidak ada bedanya dakwah Islam dan penganjur kebatilan, karena dakwah Islam berdasar kerelaan, sebagaimana firman Allah:

    Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 256)

    Sedang penganjur kebatilan berdasar kesewenang-wenangan, dan penindasan. Sebagaimana firman Allah:

    “Sesungguhnya Fir´aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir´aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qashash: 4)

    Kekuasaan Senantiasa Berganti
    Para ahli sejarah menyatakan bahwa hegemoni Islam mulai mendunia di masa Islam di bawah kekuasaan Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 41H/661M. Di masa kekuasaan Bani Umayyah, Islam menjadi kekuatan yang paling menentukan di dunia saat itu. Sekalipun di awal kekuasaannya menimbulkan kontroversi yang dahsyat di kalangan umat Islam, tetapi kekuasaan Bani Umayyah telah menyumbangkan kepada umat Islam kekuasaan imperium yang luar biasa. Tidak salah bila dikatakan bahwa pada masa ini, hegemoni dan pengaruh Islam di luar jazirah Arab telah mencapai prestasi yang mencengangkan. Secara syar’i, Bani Umayyah dengan pemimpin yang pertama Muawiyah bin Abi Shafyan telah mengubah sistem khilafah menjadi monarki. Abul A’la al-Maududi menyebut pemerintahan Bani Umayyah sebagai kerajaan. Ketika menulis khalifah di depan nama Muawiyah, ia menulisnya dengan menggunakan tanda kutip, “Khalifah.” Menurut Maududi, kekuasaan Bani Umayyah tidak berdasarkan persetujuan kaum muslimin, dan tidak pula dipilih oleh umat Islam secara bebas melainkan berdasarkan kekuatan pedang.

    Ketika hegemoni Islam mendunia, keamanan dunia relatif dapat tercipta, para pengikut berbagai macam agama hidup dengan tenang dan terhormat karena mereka diberlakukan dengan sangat baik.

    Hegemoni umat Islam di dunia atas manusia berakhir dengan ruhtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang ditengarai dengan munculnya Kemal Al-Tatruk yang mengganti sistem Islam dengan sistem kapitalisme. Sejak itu kebesaran Turki Utsmani benar-benar tenggelam bahkan tidak lama kemudian pada tahun 1924 Kekhilafahan dihapuskan. Semua daerah kekuasaannya yang luas baik Asia, Afrika maupun Eropa dijajah oleh negara-negara Barat. Hegemoni Barat terhadap dunia Islam diawali dengan Perang Salib dari tahun 1095 – 1291. Disebut Perang Salib karena orang Kristen Eropa menggunakan tanda salib di dadanya sebagai symbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang dijalankan adalah perang suci. Tujuan Perang Salib adalah membebaskan kota suci Yerusalem atau Baitul Maqdis dari tangan kaum muslimin. Setelah itu berjalanlah penaklukan bangsa Eropa atas negeri muslim dengan latar belakang sebagai berikut:

    1. Mercenary, yaitu untuk mencari keuntungan di negeri-negeri Islam. 2. Missionary, yaitu untuk menyebarkan agama Kristen ke negeri-negeri Islam. 3. Military, yaitu untuk perluasan daerah militer.

    Selain hal di atas, yang melatarbelakangi penjajahan Barat adalah faktor ekonomi dan kekuasaan. Bentuk-bentuk penjajahan Barat terhadap dunia Islam berupa penyerangan, penaklukan, sehingga wilayah-wilayah Islam yang jatuh ke negara-negara Barat, rakyatnya ditindas dan diperbudak.

    Hegemoni Barat terhadap dunia Islam ternyata membawa implikasi yang sangat luas bagi perkembangan peradaban Islam, baik peradaban material yang berupa teknologi baru maupun peradaban mental. Hegemoni Barat telah memicu gerakan pembaharuan Islam yang bertujuan untuk memurnikan agama Islam dari pengaruh asing dan menggali sumber-sumber Islam dan menyadarkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah.

    Umat Islam menyadari bahwa hegemoni Barat terhadap dunia Islam adalah dikarenakan kaum muslimin tidak dalam kondisi bersatu. Perpecahan terjadi di seluruh wilayah dan para pemimpin Islam saling bermusuhan serta tidak memiliki seorang pemimpin. Oleh karena itu muncullah kesadaran umat Islam untuk kembali menghidupkan sistem kesatuan kepemimpinan yang disebut dengan sistem khilafah.

    Sesuai dengan sunatullah, hegemoni Barat terhadap dunia Islam mulai melemah. Hal ini adalah sebagai isyarat firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (Q.S. al-Taubah: 33)

    Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.“ (Q.S. al-Fath: 28). Atau dalam (Q.S. al-Shaff: 9)

    Rangkaian ayat di atas menegaskan bahwa akhirnya Islam-lah yang akan mengungguli agama-agama dan segala bentuk doktrin yang lain, dan umat Islam pasti akan menang selama mereka konsisten berpegang kepada petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ajaran Islam yang benar.

    Wallahu A’lam Nasehat Imamul Muslimin.

  • Kamis, 16 Februari 2017

  • Pertolongan Allah

    Ilustrasi
    Upaya memelihara keimanan dan menyebarkan risalah Islam seringkali dihadapkan kepada berbagai rintangan dan kesulitan. Mukmin yang mendengki, munafik yang membenci, kafir yang memerangi, setan yang menyesatkan dan nafsu yang melawan. Rintangan dan kesulitan ini merupakan ketetapan Allah bagi umat Nabi Muhammad dan sesungguhnya hal ini tidaklah buruk. Sudah menjadi aksioma yang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia akan dihadapkan kepada persoalan hidup dan kehidupannya. Baik persoalan itu diakibatkan oleh kesalahannya, namun persoalan hidup ini juga dapat terjadi karena sikap kokohnya dalam mempertahankan kebenaran.

    Allah menguji orang beriman dengan berbagai persoalan hidup dan cobaan agar diketahui kadar dan kebenaran keimanannya serta untuk diketahui siapa yang paling baik amalnya. Tentang persoalan hidup dan ujian ini Allah nyatakan dalam Al-Qur’an:

    ..... Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya..... (QS. Al-Mulk [67]: 1-2)

    Untuk menghadapi ujian, cobaan dan rintangan hingga mencapai kemenangan nyata, kaum muslimin tidak dapat mengandalkan kekuatan yang ada pada diri mereka semata. Mereka memerlukan pertolongan Allah swt. Pertolongan itu bukanlah anugerah gratis yang datang tiba-tiba tanpa sebab. Ia adalah karunia mahal yang memiliki syarat dan penyebab. Allah anugerahkan pertolongan ini kepada mereka yang telah memenuhi syarat dan ketentuan-Nya, namun tidak dijanjikan kepada para penganiaya dan pelaku kezhaliman.

    Belakangan ini, ditemukan dalam kehidupan di berbagai tempat, orang-orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah, dalam Kartu Identitasnya pun tertulis sebagai muslim, rajin datang ke mesjid serta membaca Al-Qur’an, namun masih saja bergelimang maksiat, berjudi, meminum minuman keras dan tidak peduli kepada kondisi lingkungannya.

    Pertolongan sering digambarkan sebagai sesuatu untuk meringankan beban berat perjuangan dan penderitaan atau menghilangkan rintangan yang menghalangi kemenangan. Gambaran ini tidak salah seratus persen, karena diantara sekian bentuk pertolongan adalah seperti penjelasan itu.

    Sementara itu, dapat dilihat pula secara seksama bagaimana muslim Palestina masih saja dijajah. Sebagian mereka mempertahankan diri di kota Gaza, sebagian lagi harus melakukan eksodus ke negara-negara yang mau menerima mereka, diantaranya Syiria dan Mesir. Di dua negara ini pun, hingga awal 2017, masih terjadi pergolakan-pergolakan.

    Muslim etnis Rohingya harus menempuh luas dan ganasnya samudera serta meninggalkan tempat kelahirannya karena adanya gangguan dari pihak yang tidak menyukai mereka berada di negeri kelahirannya. Tidak sedikit diantara mereka mati dan harus dibuang ke laut saat melakukan perjalanan dengan tujuan yang tidak jelas demi menyelamatkan agamanya. Mereka yang berusaha bertahan di negerinya harus meningkatkan kesabaran karena untuk melaksanakan kewajiban agamanya kerap berbenturan dengan kebijakan rezim yang sedang berkuasa di negerinya. Akibatnya, ajaran-ajaran agamanya tidak dapat ditunaikan dengan semestinya.

    Begitu juga muslim di Suriah, Somalia dan Yaman, masih saja diterpa berbagai konflik yang berkepanjangan. Yang mengundang keheranan dan tidak habis pikir adalah, diantara konflik-konflik itu terjadi antara orang-orang muslim, yang sama-sama telah bersyahadat, pergi ke mesjid, berpuasa ramadhan, berhaji ke tanah haram, Makkah Al-Mukarramah.

    Muncul pertanyaan, mengapa mereka hidup dalam keadaan terpuruk seperti itu? Mengapa mereka terus menjadi maf’ul bih (objek penderita)? Dengan adanya fakta-fakta itu pula muncul pemahaman, mungkin Allah sudah tidak hendak menolong mereka. Tapi, bukankah Allah telah berfirman: ...Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang beriman. (QS. Ar-Rûm:47)

    “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisâ’[4]: 141).

    MACAM-MACAM PERTOLONGAN ALLAH
    Nasher bin Sulaiman Al-‘Umar menyatakan bahwa bentuk pertolongan banyak ragamnya. Diantaranya adalah pertama, takluknya musuh baik oleh kalangan para nabi maupun oleh orang biasa yang beriman. Kedua, kehancuran bagi orang-orang yang dusta dan keselamatan bagi para nabi, rasul dan orang-orang beriman lainnya. Ketiga, balasan dari Allah kepada musuh-musuh risalah setelah para nabi dan rasul wafat. Keempat, kematian bernilai syahadah. Kelima, sikap istiqamah. Keenam, kuatnya hujjah serta benarnya penjelasan, dan lain sebagainya.

    Pertolongan akan datang apabila umat Islam telah melaksanakan ajaran Islam dengan benar dan sungguh-sungguh. Tidak ada syari’at yang ditinggalkan umat Islam dan tidak ada ajaran yang diabaikan mereka. Pengakuan keimanan yang hanya diucapkan dalam syahadatain dan melestarikan sebagian syi’ar-syi’ar Islam belumlah dinilai sebagai orang beriman menurut Al-Qur’an, sehingga mereka tidak layak mendapatkan pertolongan. Karena Allah hanya berjanji menolong dan memenangkan orang-orang beriman. Allah menghendaki bahwa pertolongan-Nya terhadap orang-orang beriman dapat diwujudkan dengan usaha mereka. Hal ini diantaranya seperti dikemukakan dan disepakati oleh Yusuf Qardhawi.

    Jika ada orang yang diseru dengan nama iman pada jaman ini namun mereka tidak ditolong, maka kata Al-Marâghî, mereka berada dalam keimanan yang tidak benar; mereka para pengikut hawa nafsu; mereka jahil terhadap sunah-sunah penyebab datangnya pertolongan; karena Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya dan tidak membatalkan sunnah-Nya, tapi Allah menolong orang-orang beriman yang menyetuji orang yang menuntut kebenaran dan keadilan dalam peperangannya, tidak zalim dan berlebihan dalam perangainya, dan orang yang bermaksud meninggikan kalimah Allah dan menolong agama-Nya.

    Para nabi yang terbunuh dan juga yang terusir dalam keadaan kokoh keimanannya kepada Allah, hakikatnya mereka ditolong Allah. Karena fakta bahwa ada orang yang diuji dengan kesempitan, kesulitan dan kekurangan ia mampu bersabar dan tetap menjaga agar menjadi hamba Allah yang taat beribadah dan berbuat baik. Kesempitan hidup, kekurangan sandang, pangan dan papan juga finansial tidak serta merta dimaknai bahwa orang tersebut tidak ditolong oleh Allah.

    Namun fakta lain menunjukkan, ketika Allah memberi kepada seseorang kemudahan, kelapangan dan kekayaan dalam hidupnya, tiba-tiba ia melupakan Allah dan melakukan berbagai maksiat serta hal yang dibenci Allah. Begitu juga ada diantara manusia yang taat saat diberi kelapangan hidup namun tiba-tiba menjadi orang yang melupakan kewajibannya kepada Allah saat dia diuji dengan kesempitan hidup. Sehingga dari dua fakta ini dapat disederhanakan bahwa, pertolongan Allah itu tidak diukur dengan parameter kesulitan hidup atau dengan kemudahannya, namun dengan ukuran apakah dia tetap taat kepada Allah ataukah dia berubah menjadi bermaksiat dan mengingkari-Nya.

    TAKHTIM

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala. menjanjikan pertolongan-Nya, namun Dia pun mengemukakan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ada dua pilar yang harus diperhatikan orang beriman. Dua pilar tempat tegaknya kaum muslimin yang dengan ini mereka dapat menunaikan peranannya yang berat dan besar. Apabila salah satunya roboh maka di sana sudah tidak ada lagi kaum muslimin, hingga peranannya tidak dapat ditunaikan.

    Pertama, pilar iman dan takwa hingga wafat menghadap Allah yang Mahaluhur. Takwa yang kekal dan sadar yang tak pernah terlupakan dan tak pernah loyo sedikit pun selama hidup hingga tiba ajalnya,

    Bertakwa kepada Allah karena memang sudah menjadi hak-Nya agar manusia bertakwa kepada-Nya. Takwa tidak terbatas waktunya hingga menimbulkan keinginan dalam waktu tertentu itu, sebagaimana yang digambarkan dan dibayangkan orang. Apabila hati sudah memasuki jalan takwa, maka akan terbukalah baginya cakrawala yang luas dan akan timbullah kerinduan-kerinduan. Semakin dekat seseorang dengan ketakwaannya kepada Allah, maka akan semakin kuatlah kerinduannya kepada kedudukan tertinggi yang dapat dicapainya dan ke tingkatan setelahnya. Maka, akan sampailah hatinya ke maqam (posisi) kesadaran hingga tidak tidur dan terlena lagi.

    Kematian adalah urusan gaib dimana manusia tidak mengetahuinya kapan terjadi pada dirinya. Barangsiapa yang ingin mati sebagai seorang muslim, maka jalannya ialah sejak awal ia harus menjadi muslim, dan setiap saat haruslah sebagai orang muslim. Disebutkannya Islam sesudah takwa mengandung makna yang luas. Yakni tunduk, menyerahkan diri kepada Allah, taat kepada-Nya, mengikuti manhaj-Nya dan berhukum kepada kitab-Nya. Inilah makna yang ditetapkan oleh surat ini secara keseluruhan dan pada semua tempatnya, sebagaimana yang telah dikemukakan.

    Inilah pilar pertama tempat tegaknya kaum muslimin untuk menyatakan eksistensi dan memainkan peranannya. Pilar kedua adalah ukhuwah (jama’ah dan persatuan- red), yang bersumber dari takwa dan Islam yang merupakan pilar pertama itu. Asasnya adalah berpegang teguh kepada tali Allah –janji, manhaj dan agama-Nya. Bukan semata-mata berkumpul atas ide yang lain atau untuk tujuan yang lain dan tidak pula dengan perantaraan tali lain dari tali-tali jahiliah yang banyak jumlahnya.

    Oleh sebab itu, persatuan yang solid dan kesatuan yang kokoh akan terwujud jika masing-masing individu muslim diikat dan mengikatkan diri kepada tali Allah dimanapun dan kapanpun.

    Menyatukan langkah dalam Jama’ah Muslimin dan menyatukan komando di bawah Imamul Muslimin merupakan sebuah keniscayaan dan aksioma yang tidak bisa dibantah untuk mendapatkan pertolongan Allah tersebut, karena itulah nidzhom, sebagaiman Ali bin Abi Tholib nyatakan, “kebenaran yang tidak ternidzhom (terorganisir/terikat satu sama lain) akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.”

    Wallahu Azza wa Jalla 'Alam

  • Kamis, 12 Januari 2017

  • Menyikapi Berita Hoax

    Di media sosial akhir-akhir ini semakin marak bertebaran apa yang disebut dengan informasi hoaks. Hoaks dari bahasa Inggris hoax, artinya tipuan, menipu, bohong, palsu atau kabar burung atau belum tentu kebenarannya.

    Dalam Wikipedia, hoaks dikatakan sebagai usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengar agar mempercayai sesuatu, padahal si pembuat berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut palsu.

    Bagaimana Islam menyikapi terhadap berita bohong ? Di antaranya yang pokok, di dalam surat Al-Hujurat ayat 6 disebutkan: Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 6).

    Pada ayat tersebut terdapat kalimat (fatabayyanuu) artinya “periksalah dengan teliti”. Berarti Allah di dalam kalam suci Al-Quran memerintahkan agar kita meneliti suatu berita dengan cermat, teliti, tidak tergesa-gesa mengiyakan lalu menyebarkannya.

    Dalam ayat lain Allah mengingatkan, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. ... (QS. Al-Hujurât :12].

    Sebab dari prasangka itu akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh.

    SABABUN- NUZÛL

    Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Diantaranya Imam Ahmad rahimahullah, ia berkata : “Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: ‘Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu’.”

    Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang.

    Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku,” maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits.

    Setelah kedua pasukan bertemu, al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?” Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu,” maka turunlah QS. Al-Hujurât :6 .

    KANDUNGAN AYAT

    Pertama, perintah kepada orang-orang yang beriman. Artinya sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Karena itu, dengan mohon pertolongan Allah kita laksanakan perintan-Nya ini.

    Kedua, jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting maka harus diteliti kembali/crosscek.

    An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

    Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. “Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [QS. At-Taubah :67].

    Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu.

    Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat. Al-Qurthubi berkata: “Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.

    Ketiga, maka telitilah dulu setiap berita yang datang dan sampai kepada kita. Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya.

    Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat, menyebarkan atau memvonis.

    Keempat, agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan.

    Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat. Kelima, penyesalan. Penyesalan ini akan menimpa seseorang karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun. Akhirnya yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi).

    Langkah terbaik secara keseluruhan tentunya adalah mengembalikan segala fitnah, berita hoaks itu pada pimpinan kaum Muslimin/Ulil Amri/Imamul Muslimin. Allah mengingatkan di dalam ayat: Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (Q.S. An-Nisaa [4]: 83).

    Waallahu a’lam bishowab

  • Rabu, 04 Januari 2017

  • Mari Evaluasi Diri !

    Sebuah organisasi, perusahaan dan lembaga apapun jika ingin maju dan berkembang, unsur manajemen perlu terus melakukan apa yang disebut dengan evaluasi.

    Dalam Teori Evaluasi Pendidikan Bloom (1971) disebutkan, evaluasi, adalah pengumpulan fakta secara sistematis untuk menetapkan apakah terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam pribadi siswa. Evaluasi ini penting untuk menyusun alternatif keputusan berikutnya.

    Pada sebuah perusahaan atau organisasi, evaluasi kinerja adalah suatu proses penilaian dalam pelaksanaan tugas staf atau unit-unit kerja sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang ditetapkan lebih dahulu.

    Tujuannya adalah untuk menjamin pencapaian sasaran dan tujuan perusahaan serta juga untuk mengetahui posisi perusahaan dalam persaingan dengan yang lain. Melalui evaluasi ini akan dapat diketahui bila terjadi pelambatan atau penyimpangan, untuk segera diperbaiki, sehingga sasaran atau tujuan dapat tercapai.

    Hasil evaluasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk banyak penggunaan, di antaranya untuk : peningkatan kinerja, pengembangan staf, pemberian kompensasi atau imabalan, peningkatan produktivitas, kepegawaian hingga menghindari perlakuan diskriminasi atau ketidakadilan.

    Evaluasi Amal dan Dosa

    Terlebih bagi individu Muslim, dapat dimaknai sebagai upaya melakukan evaluasi atas amal dan dosa yang telah diperbuat, untuk dapat diperbaiki, sehingga dapat mencapai tujuan sebagai orang yang bertakwa kepada Allah.

    Hal yang dievaluasi adalah yang bersifat vertikal, hubungan diri sebagai seorang hamba Allah dengan Allah, serta evaluasi hubungan horisontal, hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya.

    Dengan evaluasi diri (muhasabah) dapat menjadi sarana mengantarkan diri mencapai tingkat kesempurnaan sebagai hamba Allah.

    Perintah untuk melakukan evaluasi diri bagi setiap hamba Allah mukmin, di antaranya tertera di dalam ayat:
    Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-Hasyr [59] : 18-20).

    Dalam hal ini, Allah menyeru orang-orang beriman agar senantiasa memelihara hubungan taqwa dengan Allah Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta beserta seisinya. Serta melakukan muhasabah, evaluasi, koreksi dan introspeksi diri, sejauh mana persiapannya untuk menghadapi Hari Esok. Dalam kalimat, “…dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.…”.

    Hari esok adalah hari akhirat. Hidup tidaklah akan disudahi hingga di dunia ini saja. Dunia hanyalah semata-mata masa untuk menanam benih. Adapun hasilnya akan dipetik adalah di hari akhirat. Maka, beriman kepada hari akhirat menyebabkan rezeki yang Allah karuniakan di dunia memang telah Allah sediakan terlebih dahulu sebagai persediaan hari esok.

    Itulah konsekwensi kita ber-Islam, karena hanya Islamlah satu-satunya agama yang tidak memisahkan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Sehingga ada ungkapan ahli hikmah yang berbunyi, “ad-dunya mazra‘atu al-akhirah” (artinya dunia adalah tempat bercocok tanam untuk kepentingan akhirat).

    Oleh sebab itu, seyogyanyalah kita selaku orang-orang yang telah mengaku beriman memupuk imannya dengan takwa, lalu merenungkan hari esokya, apa gerangan yang akan kita ­bawa untuk menghadap Allah. Marilah kita masing-masing menghitung terlebih dahulu laba rugi hidup sendiri sebelum dihitung kelak.

    Di dalam sebuah hadits dari Syadad bin Aus Radhiyallahu ‘Anhu disebutkan, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahwa Nabi bersabda: Artinya: “Orang yang pandai adalah yang mampu mengadakan muhasabah (mengevaluasi, menghitung) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah.. (HR At-Turmudzi).

    Umar bin Khattab menyebutkan di dalam khutbahnya: Artinya: “Hitunglah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihitung/dievaluasi (pada hari kiamat), dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang (pada hari kiamat)”.

    Sementara Maimun bin Mihran mengatakan, “Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa, hingga ia menghitung dirinya sebagaimana dihitungnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya”.

    Bagi Maimun, salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi jauh ke depan hingga ke akhirat, semata untuk mendapatkan ridha Allah.

    Oleh karena itu, bukan karena berakhirnya Tahun Masehi 2016 menuju 2017, kita mengevaluasi diri. Namun, kapan saja, saatnya kita melakukan evaluasi diri untuk kebaikan kita masing-masing, dan kebaikan semua kaum Muslimin dalam perjuangan berjama’ah.

    Dan evaluasi itu tentu bukan hanya setahun sekali, tetapi berkali-kali. Dan evaluasi terbaik adalah dengan mencocokkan segala amal, program dan kegiatan dengan standar Al-Quran dan As-Sunnah.

    Waallahu a’lam bishowab 
    (Ust. Ali Farhan Ts)

  • Kamis, 29 Desember 2016

  • Haramnya Merayakan Tahun Baru Masehi

    Allah Subahanhu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (31) Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran:31-32)

    Ayat ini menurut Ibnu Katsir sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak menempuh jalan Muhammad, Rasulullah, bahwa dia adalah pembohong dalam pengakuan cintanya itu. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits shahih, dari Rasulullah, beliau bersabda:

    “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.”

    Oleh karena itu, Allah berfirman “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” Maksudnya, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian, dan ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya.

    Selanjutnya Allah berfirman memerintahkan kepada setiap individu, `Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling.’” Yakni melanggar perintah-Nya, “Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.”

    Hal ini menunjukkan bahwa menyalahi Allah dalam menempuh jalan-Nya merupakan perbuatan kufur, sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang berpredikat seperti itu, meskipun ia mengaku mencintai Allah dan bertaqarrub kepada-Nya, sampai dia benar-benar mengikuti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam.

    Terkait dengan perayaan Tahun Baru yang sebentar lagi akan kita temui, hendaknya umat Islam tidak mengikutinya, tidak merayakannya, karena merayakan tahun baru masehi bukanlah ajaran Islam, bahkan itu adalah budaya orang-orang Kafir, Nasrani.

    Yang dimaksud di sini adalah tahun baru menurut umat Kristen, yang lajim disebut dengan Tahun Masehi, dengan mengambil kelahiran Yesus Kristus sebagai tahun 1.

    Hari-hari dalam kalender Masehi pun sebenarnya diadobsi dari kepercayaan Paganis Romawi Kuno, yang sangat mengangungkan, memuliakan dan memuja Dewa Matahari (Sun-God). Kaisar Konstantin pun masih merayakan hari ini ‘sun-day’ sebagai hari kelahiran Dewa Matahari/Dewa Terang, Dewa Kehidupan, kesembuhan dll, yang dipercaya lahir pada tanggal 25 Desember. (Sismono, Hari-Hari Besar Keagamaan).

    Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah.

    Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

    Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

    Karena itu, merayakan tahun baru Masehi merupakan sebuah larangan karena orang tersebut mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka, karena itu Tasyabbuh.

    Tasyabbuh adalah penyerupaan terhadap orang-orang kafir dengan seluruh jenisnya dalam hal aqidah atau ibadah atau adat atau cara hidup yang merupakan kekhususan mereka (orang-orang kafir).

    Dalil tentang diharamkannya tasyabbuh tersebut adalah (baik secara umum atau khusus) : Firman Allah subhanahu wa Ta’ala :Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.(QS. Al Baqarah:120). Juga dalam QS.Al Hadiid:16.

    Ibnu Katsir ra. menafsirkan ayat di atas, “Karenanya, Allah telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh kepada mereka dalam perkara apapun, baik yang sifatnya ushul (prinsipil) maupun yang hanya merupakan furu’ (perkara cabang)”. Tafsir Ibni Katsir (4/323-324)

    Dalil lain yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah SWT (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104).

    Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan Allah SWT telah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Karena orang Yahudi menggumamkan kata ‘ru’uunah’ (bodoh sekali) sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW seakan-akan mereka mengucapkan ‘raa’ina’ (perhatikanlah kami). (Tafsir Ibnu Katsir, 1/149).

    Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)

    Ibnu Taimiah berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada orang kafir.

    Dengan demikian Islam telah mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka seperti aqidah dan ibadah mereka, termasuk hari raya mereka.

    Waallahu a’lam bishowab

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism