Rabu, 08 Oktober 2014

  • Menyikapi Munculnya Lembaga-lembaga Khilafah

    Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : Artinya : “Adalah bani Israil itu dipimpin para nabi. Setiap nabi meninggal maka diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah saya dan akan ada beberapa khalifah yang banyak. Para sahabat berkata “apa yang engkau perintahkan kepada kami?”. Beliau bersabda “Tepatilah bai’at yang pertama kemudian yang pertama, berikan kepada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menanyakan pertanggung jawaban mereka tentang apa yang diserahkan oleh Allah kepada mereka”. (H.R. Bukhari).

    Menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani, dalam hadits di atas terdapat tashif (perubahan titik) pada kalimat “fa yaktsurun” sebagian ulama ada yang meriwayatkan dengan kalimat ‘fa yakburun” yang berarti mereka menyombong dan berperilaku buruk.

    Hadits ini di samping menceritakan kondisi Bani Israel yang selalu dipimpin oleh para nabi, sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir. jJuga merupakan nubuwwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Nubuwwah adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang peristiwa yang kelak akan terjadi.

    Pada hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan bahwa ummat Islam sepeninggal Nabi akan dipimpin oleh para khalifah, seperti bani Israel yang dipimpin oleh para nabi. Para khalifah yang memimpin ummat Islam ini akan berperan seperti para nabi memimpin bani Israel hanya saja mereka tidak menerima wahyu.

    Oleh karena itu Al-Mawardi (w: 450 H) mendefinisikan kepemimpinan Islam (imamah) sebagai berikut :

    Artinya: “Kedudukan yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia“.

    Kata “As-Syiaasah” yang merupakan masdar dari kata saasa ya suusu mempunyai pengertian : mengatur sesuatu dengan cara yang baik.

    Nubuwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui hadits di atas terbukti dengan dibaiatnya Abu Bakar sebagai Khalifah untuk melanjutkan kepemimpinan Ummat Islam setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat.

    Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai khalifah pertama menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulullah (Pengganti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam).

    Selanjutnya, Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua menyebut dirinya Khalifah Khalifah Rasulullah (pengganti pengganti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam). Khalifah ketiga, Usman bin Affan, karena sebutannya teramat panjang, cukup disebut khalifah. Mulai sejak itu sebutan khalifah dipakai secara populer, sebutan tersebut terus berlaku sampai ke masa Ali bin Abi Thalib.

    Setelah itu, kepemimpinan Ummat Islam berubah dari sistem khilafah menjadi sistem mulkan (kerajaan) dengan raja pertama Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w: 60 H). Sedangkan raja terakhir Sultan Muhammad IV dari dinasti Usmaniyah, yang diturunkan dari tahtanya oleh turki muda nasional pimpinan Mustafa Kemal Pasya, pada 1 November 1912.

    Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum menegakkan khilafah bagi ummat Islam adalah wajib, yang jika diabaikan maka semua ummat Islam akan terkena dosanya.

    Sebaliknya, sebagian sekte Muktazilah dan Khawarij berpendapat bahwa pengangkatan khalifah tidak wajib, baik menurut penilaian akal mau pun menurut penilaian syara’ (hukum Islam). Hal yang wajib bagi mereka adalah menegakkan Syara’. Jika Ummat Islam sudah berjalan di atas keadilan dan hukum Allah telak dilaksanakan, maka tidak perlu ada imaam atau khalifah.

    Pendapat yang terakhir ini adalah kurang tepat, karena di samping bertentangan dalil-dalil syariat juga bertentangan dengan realita kehidupan bermasyarakat. Kepemimpinan adalah syarat mutlak bagi tercapainya penegakan hukum dan terwujudnya keadilan.

    Dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban menegakkan khilafah antara lain:

    Firman Allah: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30).

    Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menggunakan pendapat Al-Qurthubi dan ulama yang lain bahwa ayat ini merupakan dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk memutuskan dan menyelesaikan pertentangan yang terjadi di antara manusia, membantu orang-orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam dan mencegah merajalelanya kejahatan serta masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya Imam (pimpinan). Sesuatu yang menyebabkan kewajiban tidak dapat berjalan dengan sempurna, maka diadakan menjadikan wajib adanya.

    Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat seorang di antaranya menjadi pimpinan.” (H.R. Ahmad).

    Hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan ummat Islam. Dengan adanya pimpinan ummat Islam akan terhindar dari perselisihan sehingga terwujudlah kasih sayang di antara mereka

    Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang memperkuat wajibnya penegakan khilafah di kalangan kaum muslimin, maka sejak melemahnya dinasti Usmaniyah di Turki, muncullah usaha di kalangan ummat Islam untuk membangkitkan kembali sistem kekhilafahan Islam yang telah lama ditinggalkan oleh Ummat Islam.

    Usaha ini diawali dengan dibentuknya Pan Islamisme, di akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) yang bertujuan untuk mengembalikan sistem kekhilafahan tunggal bagi dunia Islam sebagaimana pernah terjadi pada masa Khulafa Al-Rasyidin Al-Mahdiyyin walau pun Pan Islamisme tidak memperlihatkan hasil kongkrit namun telah menyadarkan kaum muslimin di berbagai tempat tentang pentingnya kesatuan dan kekhilafahan Islam.

    Pada tahun 1919 di India dibentuk “All Indian Chaliphate Conference” oleh beberapa pemimpin muslimin India. Gerakan ini secara tetap mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan dan mengusahakan penyatuan Ummat Islam dan tegaknya khilafah. Pada tahun 1924 di Kairo, Mesir diselenggarakan kongres khilafah yang diprakarsai oleh para ulama Al-Azhar, tetapi Kongres ini tidak membuahkan hasil yang fundamental.

    Di Indonesia, usaha penyatuan Ummat Islami dipelopori oleh tokoh-tokoh Ummat Islam seperti HOS Cokroaminoto, KH. Mas Mansyur, KH. Munawar Khalil, Abdul Karim Amrullah, Wali Al-Fatah dan sebagainya.

    Di antara tokoh-tokoh tersebut, Wali Al-Fatah adalah termasuk seorang yang konsisten dan secara transparan mendakwahkan wajibnya Ummat Islam kembali menegakkan sistem Khilafah dan mengangkat Imam bagi Ummat Islam.

    Berdasarkan Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: Artinya : “Barang Siapa mati tidak mempunyai Imam, maka matinya laksana mati Jahiliyah.” (H.R. Ahmad).

    Wali Al-Fatah menyatakan adanya Imam adalah wajib bagi Ummat Islam. Pelanggaran atas hal tersebut adalah dosa besar dan ini berarti suatu anarki, suatu perbuatan sendiri-sendiri yang tidak ada contohnya, di mana masing-masing kelompok atau golongan mengaku benarnya sendiri.

    Mengingat pentingnya masalah Ummat Islami ini, Wali Al-Fatah bersedia memikul beban berat untuk diangkat menjadi Imamul Muslimin atau Khalifah. Pembaiatan Wali Al-Fatah sebagai Imam ini dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H (20 Agustus 1953 M).

    Setelah pembaiatan ini dilakukan selama beberapa tahun diumumkan ke seluruh dunia untuk mencari informasi apakah di tempat lain sudah ada Imam yang lebih dahulu dibaiat.

    Sebagai konsekuensinya, apabila sudah ada Imam yang lebih dahulu maka Wali Al-Fatah bersedia menjadi makmum karena Imam tidak boleh ada dua, dan apabila hal ini terjadi yang sah adalah Imam yang dibaiat pertama sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Tepatilah baiat yang pertama kemudian yang pertama”.(H.R. Muslim).

    Setelah beliau wafat pada hari Sabtu 28 Dzulqa’dah 1396H/20 November 1976M dibai’atlah sebagai penggantinya, hamba Allah Muhyiddin Hamidy menjadi Imaamul Muslimin atau Khalifah hingga sekarang.

    Menghadapi fenomena dewasa ini dengan munculnya lembaga-lembaga khilafah dan banyaknya orang-orang yang mengaku sebagaimana Imam, maka hadits di atas merupakan solusi yang paling tepat. Karena masalah Imam, bukan masalah yang diperebutkan tetapi masalah-masala kewajiban syariat.

    Siapa pun yang dia baiat, selama dia muslim dan beriman kepada Allah, maka yang lain wajib membaiatnya dan mentaatinya.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al-Maidah: 55)

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Apabila diangkat untuk memimpin kamu seorang budak yang terpotong hidungnya – saya (Zaid Bin Abi Unaisah) mengira, dia (Ummu Hasan) berkata – yang hitam, selama memimpin kamu dengan kitab Allah maka dengarlah dan taatilah.” (H.R. Muslim)

    Para ulama menambahkan bahwa syarat-syarat khilafah yaitu: Laki-laki, baligh, memiliki kemampuan, sehat jasmani dan rohani. Adapun tentang persyaratan harus dari suku Quraisy, adalah persyaratan yang diperselisihkan para ulama.

    Untuk mencapai titik kesamaan tentang “siapa Imam yang pertama“, dan agar ukhuwah Islamiyah tetap terjaga, sebaiknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

    1. Tidak saling mencela.

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka yang menghina.” (Al-Hujurat [49] : 11.)

    2. Tidak saling berburuk sangka,

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jauhilah prasangka, karena prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta, jangan mencari-cari aib orang lain, jangan saling mendengki, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (H.R. Bukhari)

    3. Menjaga hubungan baik,

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara orang-orang beriman....” (H.R. Al-Hakim).

    Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairoh, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah saya memiliki beberapa kerabat, saya jalin hubungan dengan mereka, tetapi mereka memutuskan hubungan denganku, saya berbuat baik dengan mereka, tetapi menyakitiku, dan saya bersikap lembut dengan mereka, namun mereka berlaku kasar kepadaku.” beliau bersabda, “ Jika benar apa yang kau katakan, engkau seakan-akan membuat jemu mereka, sedang di sampingmu terdapat seorang pembela dari Allah selama engkau dalam keadaan demikian.”

    4. Menganggap seluruh Ummat Islam sebagai saudara

    “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (Q.S. At-Taubah [9] : 11).

    Para Ulama mengatakan bahwa ukhuwah berdasarkan agama lebih kokoh dibanding ukhuwah berdasarkan keturunan, karena ukhuwah berdasarkan keturunan akan terputus dengan perbedaan agama, sedangkan ukhuwah berdasarkan agama tidak adakan putus dengan perbedaan agama.

    5. Tidak merasa Paling Baik

    “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (Q.S. An-Najm [53]: 32).

    Ayat ini memberikan pengertian agar kita jangan merasa suci dari dosa atau suci dari perbuatan maksiat atau banyak melakukan kebaikan.

    Pada ayat lain Allah mengingatkan: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?. ” (Q.S. An-Nisa [4]: 49).

    6. Saling Membantu dan memaafkan

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Empat hak orang Islam yang harus ditunaikkan, membantu di antara mereka yang berbuat baik, memaafkan yang berbuat dosa, mendoakan yang berpaling, dan mencintai mereka yang bertaubat.” (H.R. Ad-Dailami).

    Dengan langkah-langkah seperti di atas maka ukhuwah Islamiyah tetap terjaga dan lembaga-lembaga yang berusaha menegakkan khilafah Insya Allah dapat disatukan sehingga terwujudlah kesatuan Ummat Islam di bawah seorang imam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Khulafaurrasyidin Al-mahdiyyin.

    Wallahu A’lam Bish Shawwab

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism