Kamis, 21 Juli 2016

  • Dengan Semangat Ied, Atasi Problema Umat

    Ramadhan dan Idul Fitri telah berlalu, namun amalan Ramadhan seperti shaumnya, sholat tarawih dan tahajutnya, baca al-qur’anya, zakat, infaq dan shodaqohnya hendaknya semakin di tingkatkan untuk bekal di sebelas bulan kedepan, sebagaimana makna dari bulan Syawwal, bulan peningkatan, hendaknya semakin hari semakin membaik amalan kita.

    Id berarti kembali dan Fitri berarti agama yang benar atau kesucian atau asal kejadian. Fitrah berarti kesucian.

    Fitrah adalah gabungan dari tiga unsur: benar, baik, dan indah. Sehingga orang yang beridul fitri dalam arti, “kembali ke kesuciannya”, akan selalu berbuat benar, baik dan indah. Bahkan lewat kesucian jiwanya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu berusaha mencari sisi baik apa yang terjadi pada dirinya dan berhusnudzan kepada Allah bahwa apa yang ditetapkan untuk dirinya adalah yang terbaik bagi dirinya, karena dia yakin akan besarnya kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya:

    Kesulitan Menuju Kemenangan
    Hari ini sebagian kaum muslimin hidup dalam derita dan krisis. Di samping krisis dalam negeri berupa makin merosotnya akhlaq, belum stabilnya kondisi ekonomi, dan bencana alam yang terus mendera bumi tercinta ini, dunia Islam kini tengah menderita oleh berbagai luka, seperti yang terjadi baru-baru ini di Turki, Prancis, juga Syria, Iraq, Afghanistan, Burma, Palestina dan sebagainya.

    Menghadapi kondisi kaum muslimin seperti ini bagi orang yang berjiwa fitri tidak akan mengeluh apalagi putus asa. Mereka akan bersikap seperti para sahabat di Madinah ketika menghadapi pengepungan dahsyat seluruh Sekutu kafir Jazirah Arab saat itu dalam perang Ahzab (Khandaq). Sikap mereka digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya:

    “Dan tatkala orang-orang mu’min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 22)

    Pada ayat ini digambarkan bahwa ketika para sahabat melihat beribu-ribu tentara kafir dari seluruh penjuru jazirah Arab datang ke Madinah, hati mereka berkata, “Inilah tanda bahwa kemenangan sudah dekat dan tidak akan sampai kemenangan itu kalau hal seperti ini belum kita alami.” Lantaran itu, mereka tidak ragu-ragu dan berkata, “Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” Artinya mereka akan menang setelah mengalami kesukaran. Oleh karena itu, kondisi yang sangat sulit itu justru menambah teguh keimanan dan ketundukan mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Dan kondisi yang sangat sulit itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan kabar gembira akan kemenangan umat Islam di berbagai tempat melalui peristiwa sebagai berikut.

    Sahabat al-Barra bin Azib Radiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kami menggali parit dan kami menemukan batu besar di salah satu tempat di dalam parit yang tidak bisa dihancurkan. Kami mengadu kepada beliau lalu beliau mendatanginya dan melepaskan bajunya lalu turun menuju ke batu tersebut dan mengambil kapak.

    Dengan mengucapkan Bismillah beliau mengapaknya dan pecahlah sepertiga batu itu lalu beliau bersabda, “Allahu Akbar, aku diberikan kunci-kunci negeri Syam, dan demi Allah aku melihat kota-kota dan istana merah dari tempatku ini.” Lalu beliau mengucapkan Basmalah dan mengapak batu itu lagi dan pecahlah sepertiganya lalu beliau bersabda, “Allahu akbar, aku diberikan kunci negeri Persia dan demi Allah aku melihat kota-kota dan istana putih dari tempatku ini.” Kemudian beliau mengucapkan Basmalah dan mengapak batu itu lagi hingga hancur berkeping-keping lalu beliau bersabda, “Allahu Akbar, aku diberi kunci-kunci negeri Yaman dan demi Allah aku melihat pintu-pintu kota Shana dari tempatku ini.” (HR. Ahmad).

    Hadits ini mendorong kita untuk optimis sambil berusaha keras bahwa kemenangan umat Islam pasti datang dan akan lenyap segala krisis dan penderitaan. Memang berbagai krisis dan penderitaan saat ini sedang melilit sebagian besar umat Islam bahkan cenderung meningkat. Namun di balik itu semua, kabar gembira dan tanda-tanda akan kemenangan semakin dekat. Sebagaimana kondisi saat perang Ahzab (Khandaq) saat itu. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai fenomena, antara lain pesatnya pertumbuhan pemeluk Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Eropa dan Amerika, makin tingginya kesadaran beragama di kalangan generasi muda, makin terbuktinya kebenaran-kebenaran al-Qur’an, bahkan dari berita terakhir yang kita dengar dari Palestina, banyak orang Yahudi yang masuk Islam. Inilah bukti kebenaran firman Allah:

    “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.”(Q.S. al-Shaff: 9)

    Kemenangan dan Perintah Berjama’ah
    Hanya perlu diingat, bahwa kemenangan tidak pernah diraih lewat mimpi tetapi perlu usaha keras meskipun dengan sarana seadanya sebagaimana yang telah dibuktikan para sahabat dan salafus soleh sesudahnya.

    Usaha keras untuk meraih kemenangan itu antara lain dengan menjaga fitrah (kesucian) jiwa kita. Untuk menjaga agar kita tetap dalam fitrah, Allah telah memberikan tuntunan sebagai berikut:

    “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (31). dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, (32). yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Al-Ruum: 30-32)

    Menurut ayat ini, ada empat hal yang harus dilakukan untuk menjaga fitrah, yaitu:

    1. Kembali kepada Allah secara mutlak,
    2. Bertaqwa,
    3. Menegakkan shalat, dan
    4.Meninggalkan perpecahan seperti perilaku orang-orang musyrik, yang masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang pada golongonnya dan merasa golongannya yang paling benar sementara yang lain salah belaka.

    Untuk dapat meninggalkan perpecahan, Allah memerintahkan kaum muslimin hidup berjama’ah, sebagaimana firman-Nya: “Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah seraya berjama’ah dan janganlah berpecah-belah.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 103)

    Al-Jama’ah menurut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah: “Orang yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku hari ini.” (HR. Al-Hakim).

    Jadi al-Jama’ah bukanlah organisasi atau partai atau negara dalam negara. Al-Jama’ah adalah syariat yang menata kehidupan masyarakat Islam sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan para sahabatnya, dimana mereka hidup bersama-sama di bawah seorang pemimpin (Imam). Sebagaimana dikatakan oleh Imam ath-Thabari bahwa al-Jama’ah adalah:

    “Orang-orang yang berkumpul bersama-sama untuk mentaati orang yang diangkat sebagai pimpinannya.”

    Dalam kehidupan berjama’ah, manusia akan hidup damai, saling menghormati, dan penuh kasih sayang walau berbeda ras, suku, bahkan agama, karena dengan terwujudnya kehidupan berjama’ah akan turun rahmat Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

    “Berjama’ah itu rahmat dan berfirqah-firqah itu azab.” (H.R. Ahmad)

    Kehidupan semacam ini telah diwujudkan oleh para sahabat di bawah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinah. Para sahabat yang berasal dari berbagai suku dari orang-orang Muhajirin dan Anshar, mereka hidup rukun di bawah naungan Islam, sebagaimana digambarkan Allah:

    “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.”(Q.S. Al-Hasyr [59]: 9)

    Sementara itu mereka hidup berdampingan secara damai dengan orang Yahudi sebelum sebelum orang-orang Yahudi melanggar berbagai janji damai yang dibuat bersama bahkan berkali-kali mengadakan makar untuk membunuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mengakibatkan pengusiran mereka dari Madinah.

    Kehidupan demikian ini juga telah dilanjutkan oleh para khalifah sesudah beliau, sehingga orang-orang Nasrani lebih senang hidup di bawah Khilafah Islam daripada hidup di bawah raja Nasrani yang berbeda sekte karena mereka akan dipaksa mengikuti sekte sang raja.

    Bukti kehidupan damai orang non muslim di bawah khilafah Islam ini dapat kita jumpai sampai sekarang dimana Negara yang mayoritas muslim masih terdapat komunitas orang non muslim dan tempat-tempat ibadah mereka tetap terpelihara.

    Inilah bukti bahwa al-Jama’ah telah mampu mewujudkan rahmatnya Islam bagi umat Islam sendiri dan orang-orang di luar Islam bahkan bagi alam sekitar sebagai realisasi dari firman Allah: “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiyaa’[21]: 107)

    Dalam rangka menegakkan kembali syariat al-Jama’ah ini, sebagian umat Islam telah membaiat Wali Al-Fattaah sebagai Imaamul Muslimin setelah runtuhnya Dinasti Utsmaniyah di Turki. Setelah Wali Al-Fattaah wafat, dibaiatlah pengganti-penggantinya untuk meneruskan keimamahan hingga saat ini.

    Untuk mewujudkan kembali kehidupan berjamaah dan menegakkan kepemimpinan khilafah tidaklah mudah, tetapi kita harus berusaha dan yakin bahwa hal tersebut pasti terwujud, mengingat janji Allah dan Allah tidak mungkin memperselisih janji-Nya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya:

    “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka khalifah di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah, ... (Q.S. An-Nuur [24]: 55)

    Semoga seluruh umat Islam diberi hidayah dan kekuatan oleh Allah untuk mewujudkan sehingga kejayaan umat Islam dalam naungan al-Jama’ah di bawah kepemimpinan seorang Imaam dapat segera merata di seluruh persada bumi. Aamiin.

    Wallahu a’lam bish Shawwab.
    Khutbah Imamul Muslimin KH. Yakhsyallah Mansur

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism