Kantor Berita Islam MINA edisi Kamis, 25/4/2013, menurut Lembaga Al-Aqsha Palestina melaporkan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan persetujuan kepada kepala Dinas Yahudi, Natan Sharansky untuk bergerak maju mendirikan ruang baru untuk layanan doa Bangsa Yahudi dengan menghancurkan sebagian bangunan di Tembok Buraq, kawasan Masjid Al-Aqsha.
Lembaga Al-Aqsha mencatat, klaim Netanyahu meminta Sharansky menyusun rencana untuk menyelesaikan konflik atas doa di tembok Buraq adalah siasat Yahudisasi Kota Al-Quds.
Zionis Israel memang secara sistematis terus berupaya untuk menghancurkan Masjid Al-Aqsha dengan dalih membangun kembali kuil sinagog Temple of Solomon (Haikal Sulaiman) yang mereka klaim terletak di bawah masjid tersebut.
Dr. Marwan Saeed Saleh, guru besar matematika di Universitas Zayed, Dubai, menyebutkan, sejak 1967 kaum Zionis Israel telah bertekad membangun sinagog, apa pun dampaknya terhadap bangunan Masjid Al-Aqsa. Bahkan kalau perlu masjid itu akan dirubuhkan sama sekali.
Untuk mewujudkan ambisinya, Zionis Israel secara terprogram melakukan kampanye penyesatan dengan menonjolkan foto-foto Masjid Qubah Al-Shakhra untuk mengalihkan perhatian dari Masjid Al-Aqsa. Membangun dan memperluas Tembok Ratapan serta terowongan-terowongan di bawah Masjid Al-Aqsha yang mengancam bangunan masjid.
Haikal Sulaiman?
Pejabat Organisasi Konferensi Islam (OKI), Akmaludin Ihsanoglu, memperingatkan Israel untuk tidak sekali-kali melakukan tindakan merusak lokasi Masjid Al-Aqsha dengan alasan untuk membangun sinagog yang mereka sebut dengan Haikal Sulaiman. Menurut Sekjen OKI, apa yang dilakukan Yahudi Zionis itu adalah langkah permusuhan yang nyata terhadap tempat suci dan telah menyentuh sensitivitas akidah umat Islam di seluruh dunia. Apalagi mengatasnamakan Nabi Sulaiman untuk membangun kuil atau sinagog Yahudi.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan, Masjid Al-Aqsha dibangun kembali di atas pondasinya oleh cucu Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam, yakni Nabi Ya`qub bin Ishaq bin Ibrahim. Keturunan berikutnya, Nabi Daud 'Alaihis Salam membangun ulang masjid itu. Lalu, diperbaharui oleh puteranya, Nabi Sulaiman 'Alaihis Salam (tahun 960 SM). Mereka para nabi membangun kembali Masjid Al-Aqsha untuk tempat mendirikan shalat di dalamnya, bukan sebagai kuil sinagog seperti yang diklaim Zionis.
Pakar sejarah Zionis Maer bin Dov menyebutkan, penggalian situs yang terjadi saat ini di Maghariba Al-Aqsha adalah ilegal dan lokasi itu tidak cocok untuk dilakukan penggalian situs. Soal klaim bahwa di lokasi Masjid Al-Aqsha terdapat situs bersejarah peninggalan Yahudi (Haikal Sulaiman), itupun sebenarnya mitos yang sudah dibatalkan oleh penelitian sejarah Israel sendiri.
Sebuah lembaga penelitian modern, Jerussalem Center milik Israel, pernah melakukan penelitian detail di sekitar Tembok Al-Buraq dekat dengan pintu Maghariba. Hasilnya, mereka menegaskan bahwa seluruh wilayah Masjid Al-Aqsha termasuk yang disebut Tembok Ratapan atau Tembok Al-Buraq adalah situs sejarah Islam saja, tak ada kaitannya dengan sejarah Yahudi. Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Samuel Berigo, doktor arkeolog Israel.
Waqaf Muslimin
Masjid Al-Aqsha merupakan wakaf peninggalan para Nabi untuk umat Islam. Khalifah Umar bin Khattab membebaskan kembali Masjid Al-Aqsha (tahun 638 M.) seusai Perang Yarmuk dari penjajahan orang di luar Islam yang memang bukan haknya. Umar membangunnya kembali dengan kayu di atas pondasi aslinya.
Khalifah Umar mewaqafkannya untuk umat Islam, agar jangan sampai diperjualbelikan dan jatuh ke tangan orang di luar Islam. Kemudian bangunan fisik Al-Aqsha disempurnakan dengan batu permanen pada jaman Mulkan Al-Walid bin Abdul Malak (705 M.) dengan bentuk yang sekarang ini kita lihat.
Di bawah kepemimpinan Islam, Palestina berada dalam perdamaian dan ketertiban, penuh toleransi antarpenduduknya, hidup bersama dalam damai dan ketertiban.
Generasi pewaris waqaf berikutnya adalah Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi tatkala memasuki kawasan Al-Aqsha (tahun 1187 M.) dan membebaskannya dari penjajahan keduakalinya. Dengan pembebasan tentara Perang Salib, Salahuddin tidak menyentuh (membunuh) seorang Nasrani pun di kota tersebut. Ia hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin untuk meninggalkan Palestina. Sedangkan umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan beribadah menurut yang mereka pilih.
Karen Armstrong, Penulis ‘A Short Story, Jerusalem, A History of God’, menggambarkan pembebasan kedua kalinya itu. Kata Amstrong, "Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai pembebas dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan memimpin kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak dendam untuk membalas pembantaian sebelumnya.”
Pada masa Sultan 'Abdul Hamid II (tahun 1876-1911 M.) Dinasti 'Utsmaniyah, Zionis memulai rencana jahatnya hendak merebut tanah Palestina. Ditandai dengan Konferensi Zionis Pertama di Basel (1897) dengan agenda utama pendirian negara israel Yahudi di Propinsi Palestina, yang waktu itu masih di bawah kepemimpinan Utsmaniyah.
Abdul Hamid II menolak mentah-mentah bujukan Dr. Theodore Hertzl, bapak Zionis, yang hendak membeli tanah waqaf Palestina dengan harga setinggi-tingginya.
Seraya berkata, "Saya tidak akan bisa mundur dari tanah suci Palestina ini, walau hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah milikku. Tanah ini adalah waqaf milik umat (Islam). Para pendahuluku telah berjuang demi mendapatkan tanah ini. Mereka telah menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka."
Al-Aqsha Hak Milik Umat Islam
Al-Quran telah memuat tentang kepemilikan Masjid Al-Aqsha dalam QS Al-Isra : 1. Perintah Allah yang memberikan amanat kepada kaum muslimin untuk menjaga rumah-Nya yang suci. Allah memberikan amanah tanggung jawab, pemeliharaan, dan penjagaan dari setiap penodaan dan perubahan kepada kaum muslimin.
Al-Aqsha di Palestina adalah kiblat pertama kaum muslimin, sebelum Allah memerintahkan mengubah arah kiblat ke Masjid Al-Haram. Sebab paling kuat disyari’atkannya shalat menghadap Bait Al-Maqdis Al-Aqsha adalah banyaknya berhala di Baitullah Makkah waktu itu.
Termasuk sabda Rasulullah SAW, di antaranya; Artinya : “Tidak boleh mengkhususkan melakukan perjalanan kecuali kepada tiga Masjid. Yaitu Masjid Al-Haram (di Mekkah), dan Masjid Ar-Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan Masjid Al-Aqsha”. (HR Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Landasan aqidah ayat dan hadits di atas menunjukkan ketinggian masjid Al-Aqsha di dalam Islam, menekankan pentingnya kaum muslimin memperhatikan Masjid Al-Aqsha serta menekankan tanggung jawab umat Islam di seluruh dunia dalam membela dan menjaga masjid tersebut. Tidak boleh membiarkan atau melalaikannya dikuasai oleh yang bukan haknya.
Kebangkitan Khilafah
Sebagai bentuk solidaritas sesama umat muslim dan sesama manusia yang punya kesolehan iman, hati nurani, akal budi, dan nilai-nilai relegius. Sudah selayaknya kita ikut memikirkan dan membantu bagaimana Masjid Al-Aqsha dapat dikembalikan pada posisi aslinya kepada kaum muslimin sebagai pemiliknya.
Menepis klaim Zionis terhadapnya, di antaranya melalui sosialisasi media, tulisan-tulisan opini publik, dan share jejaring sosial. Membuka mata dunia tentang kejahatan Zionis Israel.
Dalam analisis orientalis Barat yang antikhilafah memandang Khilafah sebagai raksasa tidur kini tengah mulai menggeliat. Hal ini membuat Barat secara terus-menerus berusaha mencari jalan untuk mendistorsi dan mempolitisir citra Khilafah ala minhajin nubuwwah yang bersifat rahmatan lil alamin. Mereka coba ciptakan citra negatif yang mengarah pada fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme.
Sinyal kebangkitan khilafah adalah secercah harapan kejayaan Islam dan muslimin dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat Islam yang amat agung yang mesti kita upayakan perwujudannya.
Wallahu A’lam bis Shawwab
Oleh : Ust. Ali Farkhan Tsani
Wartawan Mi'rajnews Agency
0 komentar:
Posting Komentar