Kamis, 07 November 2013

  • Pelajaran dari Hijrah Rasulullah SAW.

    Hijrah bukan sekedar berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi dikemudian hari terbukti hijrah memiliki nilai stregis yang menandai berakhirnya masa pra Islam atau Jahiliyah. Hijrah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam beserta umatnnya pada saat itu juga merupakan titik balik bagi kemenangan muslimin dan sekaligus babak baru dalam sejarah Islam.

    Perpindahan Nabi dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah saat itu banyak menyisakan hikmah yang tersembunyi. Selain sebagai upaya menyambung dan mempersatukan antara fase Mekah dan fase Madinah yang sifat da’wahnya berawal dari aspek teoritis idiologis menjadi praktik aplikatif, Hijrah juga mengambarkan pola perjuangan Rasulullah dalam membangun kemasyarakatan Islam yang sesuai dengan aturan Allah.

    Berikut stategi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika sampai di Madinah yang beliau lakukan dalam penataan dan pembangunan masyarakat Islam, antara lain;

    1. Membangun Masjid
    Bukan istana kerajaan, bukan pula benteng pertahanan militer yang beliau bangun, melainkan yang beliau bangun adalah masjid. Hal ini mengidentifikasikan bahwa misi kerasulan Nabi Muhammad saw., adalah misi kenabian bukan misi militerisme yang akan menjadi ancaman bagi non muslim dan bukan pula misi tahta kerajaan yang menjadi target perjuangannya. Beliau di utus tidak lain untuk menyampaikan wahyu Illahi agar manusia sujud dan beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan segala sesuatu pun dan menyempurnakan akhlaq manusia dengan akhlaqul karimah, menebarkan kasih sayang dan persaudaraan yang di bangun dalam satu sistem Jama’ah dan Imaamah sebuah komunitas atau masyarakat robbaniyah yang terbukti;

    • Beliau membawa dan menyampaikan agama yang bersumber dari Allah Rabbul’Alamin bukan ideology, bukan pula hasil renungan dan gagasan pemikiran beliau.
    • Bahwa masyarakat yang dibangun bukan masyarakat theokrasi, bukan pula demokrasi atau monarchi, tetapi masyarakat yang “theocentrisme humanisme” yaitu masyarakat yang dibangun diatas pondasi aqidah Laa Ilaha Illallah yang bersifat jama’i, sebuah komunitas muslim beroreintasi pada pengabdian kepada Allah (Ta’abud Ilallah), bersifat Al Insaniyah Al-Alamiyah (kemanusiaan yang universal)/Rahmatan Lil’alamin, tidak bersifat lokal, kedaerahan dan ashobiyah (kesukuan atau kebangsaan) tetapi untuk seluruh umat manusia, “asy-syumuliyah wat takamuliyah” lengkap dan mencakup seluruh aspek kehidupan).

    Bukan pula sebuah gagasan pemikiran yang dituangkan dalam rumusan ideology politik, ekonomi, sosial dan budaya. Islam adalah wahyu ilaahi yang diturunkan sebagai hudan dan jalan hidup yang lengkap dan meliputi berbagai aspek (baca QS. Al-Maidah: 3) juga QS. Al-An’am115-116 yang artinya; “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.

    2. Membangun Ukhuwah Islamiyah
    Langkah selanjutnya Rasulullah membangun Ukhuwah Islamiyah, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, kaum Aus dan Hajrat yang sudah ratusan tahun mereka berseteru saling berperang, mensejajarkan antara tuan dan budak yang selama ini dianggap tabu. Hal ini mengisyaratkan bahwa Islam ditegakkan atas dasar aqidah dan ukhuwah, kaljasadil wahid (satu tubuh) bukan dilatar belakangi oleh kepentingan pribadi, golongan, ekonomi maupun kepentingan politik kekuasaan.

    3. Tegakknya Shalat Al Maktubah Bil Jama’ah
    Sesudah hijrah di Madinah maka pelaksanaan salat lima waktu disempurnakan dan ditetapkan oleh Rasulullah saw dengan berjama’ah di masjid yang sangat ditekankan (sunah mu’akadah), selain ibadah mahdhoh, di sisi lain shalat berjama’ah adalah gambaran hidup atau miniatur bentuk kemasyarakatan Islam di luar masjid. Di dalam shalat berjama’ah disyaratkan adanya imam dan ma’mum, ini artinya bahwa muslimin adalah bukan umat individu-individu yang anarchis, tetapi dia adalah yang satu, selalu hidup terpimpin dan terorganisasi sebagai umat jama’ah dan imaamah yang terpimpin menurut kepemimpinan Allah dan RasulNya. Umat yang dinamika dan orientasinya hanya berpihak kepada Allah atau Hizbullah.

    Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah: 55-56)

    Ibrah yang bisa kita petik dari shalat berjamaah diantaranya:

    A. Imam menghadap ma’mum dan memberi aba-aba “sawwu shufufakum, tarasu wa’tadlu”, lurus rapat dan luruskan shaf. Hal ini mengandung arti dalam kehidupan muslimin diluar masjid harus senantiasa berada pada satu barisan yang lurus dan rapat dalam persaudaraan, saling bahu membahu, solid dan kompak dalam membangun peradaban manju dan santun. Demikian pula seorang imam/pemimpin sebelum mengambil keputusan harus melihat keadaan dan kemampuan umat yang dipimpinnya.

    Rasulullah juga pernah bersabda mengingatkan imam sholat agar meringankan bacaan sholatnya. Artinya kepemimpinna umat ini hendaknya berorientasi pada kepentingan, kesejahteraan dan keselamatan umat yang dipimpinnya sebagai ciri khas kepemimpinan Islam yang mengikuti jejak kenabian atau disebut Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah.

    B. Wa Idza Kabbara Fakabbiru (apabila imam bertakbir maka bertakbirlah). Gerakan dalam sholat menghendaki imam dan makmum seirama, tertib dan disiplin. Ini juga mengambarkan bagaimana semestinya umat Islam bersikap dan berprilaku. Umat senantiasa mentha’ati pemimpinnya ketika ia diamanati, dengan catatan perintahnnya tidak berlawanan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, serta selama seorang imam masih menta’ati Allah dan RasulNya.

    Ketertiban ini pula yang menjadi gambaran bagaimana mestinya umat Islam dalam bermasyarakat harus terpimpin, kompak dan bersatu dalam kesatuan yang sholid. Satu Jama’ah dan Imaamah.

    4. Mengadakan Perjanjian dengan Non Muslim

    Ini juga berarti bahwa Rasulullah saw telah memberi landasan berpijak bahwa umat Islam bisa hidup berdampingan dan bisa bekerjasama dengan siapapun sepanjang dilakukan demi kemaslahatandan bukan untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimanan fitman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah: 7-9;

    “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

    “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

    “Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

    5. Sentral Dakwah Dan Penyiaran Islam

    Dari Madinatul Munawarah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengirim mujahid-mujahid dakwah ke segala pelosok negeri untuk mengajak manusia beriman dengan bijak dan pengajaran yang mulia. Disini pula Rasululla menerima kabilah-kabilah yang ingin berdialog dan mendalami masalah Islam. Sehingga Madinah menjadi sentral kegiatan dunia baru Islam, cahaya menerangi kegelapan jahiliyah lama maupun jahiliyah modern, sinarnya menembus segala penjuru dunia hingga saat ini.

    TAKHTIM

    Peristiwa hijrah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memberilakan landasan tempat berpijak dan contoh teladan terbaik. System dan pola juang dalam membangun serta menata umat dalam Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah yakni pola kepemimpinan yang mengikuti jejak kenabian yang bersifat universal dan rahmatan lil alamin, bukan dilandasi pada pola ideologi pemikiran maupun filsafat barat maupun timur yang biasa bertumpu pada nafsu dan kepentingan. 

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

    Disarikan dari buku “APLIKASI NILAI HIJRAH, DALAM PENATAAN UMMAT” 

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism