Rabu, 05 Februari 2014

  • Urgensi Masyarakat Sadar Halal

    Bagi seorang Mukmin, makanan bukanlah sekedar pengganjal perut kala lapar, akan tetapi ia bisa membawa manusia ke dalam api neraka jika apa yang dimakan itu tidak halal (haram). Di samping itu makanan haram menyebabkan ibadah yang kita lakukan serta doa yang kita panjatkan akan sia-sia. Mari kita perhatikan salah satu dari sekian banyak hadist terkait makanan haram berikut:

    "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah." Apa jawaban Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ? "Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya.”" (HR. At-Thabrani)

    Sebagian ulama berpendapat bahwa makanan yang kita makan berpengaruh terhadap pembentukan sifat dan karakter kita. Maka bukan tidak mungkin jika ada kenakalan dan ketidakpatuhan anak-anak kita, budaya korupsi para pejabat kita, maraknya kemaksiatan dan sikap meremehkan dosa dan lain-lain, sedikit banyak akibat dari masuknya makanan haram pada tubuh mereka.

    Oleh karena itu, sebagai mukmin yang taat, kita harus mampu memilih hanya makanan yang baik dan halal saja yang kita konsumsi. Yang dimaksud halal di sini baik halal pada zatnya maupun pada cara mendapatkannya.

    Realita Masyarakat Muslim Indonesia

    Sungguh ironis bahwa masih banyak kaum Muslimin yang hampir tidak peduli, menganggap enteng, bahkan cenderung meremehkan kehalalan makanan yang dikonsumsinya. Kondisi ini terutama karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang menyebabkan kurangnya kesadaran dan ketidakpedulian dari sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia. Secara umum kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang dimaksud adalah:

    1. Kurangnya pemahaman dari sisi syariah, tentang perintah dan larangan terkait halal haram, akibat yang ditimbulkan dan pahala serta manfaat yang di dapat jika taat. Akibatnya adalah kurangnya kesadaran, kehati-hatian dan kepedulian. Contohnya ketika makan daging di warung makan (misalnya daging ayam), banyak yang tidak peduli apakah ayam yang dimakan disembelih dengan menyebut nama Allah. Atau banyak yang tidak peduli apakah bumbu-bumbu yang dipakai mengandung bahan haram seperti ang ciu (arak merah), minyak babi, dan lainnya.

    2. Kurangnya pengetahuan dari sisi kemajuan teknologi pangan. Terutama pengetahuan tentang bahan makanan, kosmetika, pembersih muka, obat-obatan bahkan alat-alat masak serta sandang, yang kesemuanya kadang terdapat kandungan bahan dari babi., Jika tidak mengetahuinya makan akan berbahaya.

    3. Kurangnya pemahaman dan kewaspadaan atas realita pasar. Dengan alasan harga dan upaya memperoleh keuntungan yang besar, banyak sekali kecurangan-kecurangan yang terjadi di pasar yang tidak disadari oleh masyarakat Muslim. Tengoklah kasus pencampuran daging sapi dengan babi, kasus penyeludupan babi hutan, bangkai ayam untuk bakso, sapi glonggongan, bahkan produk-produk yang sengaja dibuat seolah halal namun haram.

    Untuk yang terakhir ini kami beri satu saja contoh untuk Anda, silahkan cek di google dengan kata kunci “krupuk kulit babi Rejeki”, perhatikan namanya yang sekilas Islami (Rejeki). Untunglah ada keterangan pada kemasannya, bagaimana jika tidak ada keterangan, bisa jadi banyak penggemar krupuk kulit terkecoh memakan kulit babi.

    4. Kurangnya pemahaman akan hukum dan peraturan. Contoh yang paling jelas adalah masalah label halal. Bayak di antara kita menganggap bahwa restoran atau produk yang mencantumkan label halal sudah pasti halal. Padahal realitanya banyak label halal adalah “self claim” alias pernyataan sepihak tanpa adanya pengujian dari badan yang berwenang. Jika saja masyarakat paham label seperti apa yang resmi dan yang bukan, maka mereka akan terhindar dari memakan makanan haram atau subhat.

    5. Kurangnya pemahaman akan konsep ujian dunia. Keadaan dilematis yang menyulitkan untuk menjaga diri dan keluarga dari barang haram terkadang disikapi secara salah oleh sebagian besar kita. Padahal jika kita memahami bahwa keadaan tersebut merupakan ujian bagi kita untuk selalu taat dan kesempatan besar meraih pahala dari upaya menghindari barang haram, maka pastilah akan berbeda juga sikap kita.

    Dengan kondisi dilematis dan sulit membedakan yang halal dan haram ini, membuat sebagian Muslim mengeluh bahkan dengan gampang mengatakan “jika ingin 100 % halal ya hiduplah di hutan sana”. Atau dengan gampang mengatakan bahwa untuk keadaan “darurat” memakan makanan haram boleh-boleh saja.

    Berkaitan dengan konsep ujian dunia, perhatikan hadist berikut : “Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami)

    Surga itu mahal dan tidak hanya bisa dicapai dengan upaya yang seadanya. Harus ada upaya dan pengorbanan besar untuk memperolehnya di antaranya untuk lulus dari ujian dan mengumpulkan bekal pahala sebanyak-banyaknya dari ujian ini. Perhatikan firman Allah dan Sabda Rasullullah berikut ini :

    “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu ? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS. Al-Baqarah; 2 : 214)

    Kembali ke pembahasan realita kesadaran masyarakat Muslim Indonesia saat ini, dapat disimpulkan bahwa pemahaman dan kesadaran umat akan kondisi saat ini dan kewajiban untuk mewujudkan pola hidup halalan toyyiban, merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditunda lagi.

    Dampak dari Kondisi Masyarakat yang tidak Sadar Halal

    Mari kita lihat “beberapa” dampak dari tidak adanya pemahaman dan kesadaran orang Muslim:
    1. Dengan leluasa produk-produk haram dan subhat diproduksi karena toh masyarakat Muslim mau membeli dan mengkonsumsinya.
    2. Maraknya kecurangan dan pengelabuan produk haram menjadi “seolah” halal, toh masyarakat Muslim tidak mengetahuinya, kalaupun ketahuan tidak besar resikonya.
    3. Sertifikasi halal bukan menjadi “nilai tambah” bagi produsen karena toh banyak Muslim yang tidak mempertanyakannya dan tidak menjadi pertimbangan dalam membeli.
    4. Produsen produk pangan dengan leluasa mencampurkan bahan-bahan haram (dengan pertimbangan harga yang lebih murah) toh masyarakat Muslim tidak mengetahui dan mempertanyakannya.
    Hal ini bisa diminimalisir jika saja penduduk Muslim Indonesia mayoritas faham dan sadar. Belum lagi jika sudah bergerak membentuk kekuatan sosial yang akan membawa dampak positif yang menjadi kebalikan dari kondisi di atas, di antaranya:
    1. Produsen tidak lagi leluasa memproduksi produk tanpa sertifikasi Halal, bisa-bisa tidak ada yang membeli karena masyarakat sudah sadar halal.
    2. Kecurangan dan pengelabuan akan ditekan secara minimal karena masyarakat sudah faham dan sadar, bahkan bisa melakukan tuntutan jika ketahuan.
    3. Sertifikasi Halal akan menjadi nilai tambah bahkan satu keharusan bagi produsen jika ingin produknya laku.
    4. Pemerintah akan lebih terdorong, mudah dan powerfull dalam menetapkan kewajiban sertifikasi Halal untuk produk pangan yang ada di Indonesia, karena merupakan aspirasi dari sebagian besar penduduknya.

    Takhtim

    Pemahaman dan kesadaran masyarakat atas kondisi saat ini dan kewajiban untuk melindungi diri dari sesuatu yang haram ini menurut kami merupakan langkah awal yang harus di perjuangkan. Beginilah selalu siklus dakwah para Rasul. Titik pertama selalu dimulai dari penyampaian ilmu sehingga timbul pemahaman. Pemahaman yang benar dan utuh akan menimbulkan keyakinan dan kesadaran sehingga timbulah motivasi dalam diri yang akan melahirkan amal atau action.

    Kesadaran tidak boleh berhenti pada tatanan individu namun harus di sebarluaskan. Setiap individu yang telah difahamkan dan disadarkan oleh dakwah halal ini, wajib untuk menyampaikannya kembali ke orang lain. Dimulai dari keluarga terdekat, teman, masyarakat sampai ke tingkatan negara dan dunia. Beginilah Rasulullah mencontohkan kepada kita. Mari kita mulai! (Mirajnews.com)

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism