Kamis, 20 Maret 2014

  • Mengkaffahkan Pengamalan Ilmu

    Rabbi Zidni 'Ilmaa
    Penerapan syariat Islam yang bersifat syamil (menyeluruh), kamil (sempurna) dan mutakamil (saling menyempurnakan) tidak mungkin terwujud dan ditegakkan di muka bumi ini hanya oleh seorang muslim atau yang lainnya tanpa ada keterikatan satu sama lain, masing-masing potensi berdiri sendiri.

    Tetapi, jika potensi-potensi itu disatukan dan di rekat, maka kekuatan dahsyat akan di dapat dan Islam dapat ditegakkan dengan kaffah. Seperti kekuatan pasir, krikil, dan besi yang apabila direkatkan dengan semen dan air maka ia menjadi beton yang kokoh.

    Untuk itu, guna mengamalkan ilmu yang didapat serta menegakkan syariah Islam yang kaffah diperlukan satu wadah atau institusi yang mampu menampung setiap individu muslim dan mengikatnya serta mengumpulkan potensi-potensi mereka. Sehingga, ilmu menjelma dalam kehidupan sehari-hari dan syariah Islam dapat menjadi kendaraan para mufasir muslim dalam mencapai keridloan Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Institusi itulah yang kita kenal dalam literatur-literatur Islam dengan nama Khilafah atau Jama’ah.

    Allah Subahanahu Wa Ta’ala berkalam dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 103,
    وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
    “Dan berpeganglah (kamu semuanya) kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamua ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara…”

    Ayat ini turun disebabkan pertikaian yang terjadi antara shahabat dari kabilah Aus dan Khazraj. Bermula saat para shahabat dari dua kabilah ini sedang duduk-duduk begitu rukun dan akrabnya. Padahal mereka dahulu saling bermusuhan, menumpahkan darah dan saling menyerang. Datanglah Syas bin Qais, seorang Yahudi yang tidak senang terhadap keakraban mereka. Yahudi ini tidak terima mereka (umat Islam) bersatu dalam satu aqidah, satu bimbingan dan kepemimpinan Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam. Syas mengingatkan kembali Aus dan Khazraj terhadap peperangan yang pernah dilakukan dua kabilah itu. Orang Yahudi itu terus mengompori dengan menyebut-nyebut kabilah Aus dan kabilah Khazraj, sehingga akhirnya shahabat dari kedua kabilah ini hampir-hampir saling menyerang dan berbunuh-bunuhan.

    Jika bukan karena kasih sayang Allah dengan datangnya Nabi SAW setelah mendengar percekcokan mereka, niscaya mereka akan kembali kepada kecelakaan. Beliau kemudian berpidato di hadapan para shahabat kedua kabilah itu. “Apakah dengan sebutan-sebutan jahiliyah kalian berseru, sementara aku di hadapan kalian?” lalu beliau membacakan beberapa ayat dan merekapun menyesal, lalu berbaikan, saling berpelukan dan meletakkan senjatanya.

    Sebutan kabilah Aus dan Khazraj sudah berakhir. Kini mereka menjadi Anshar. Di sana hanya ada Islam yang telah menjadikan mereka bersaudara, hanya ada jama’ah muslimin yang telah menghimpun dan menyatukan mereka.

    Berjama’ah dan Tauhid Uluhiyah

    Banyak ayat Al-Qur’an menunjukan bahwa saat Allah memerintahkan hamba-Nya untuk memenuhi hak-Nya, yaitu Tauhid Uluhiyah seringkali diawali atau diiringi dengan penjelasan Tauhid Rububiyah—yang merupakan hal-hal yang diterima oleh para hamba-Nya—. Hal ini menunjukan bahwa ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah disebut juga Tauhid Ubudiyah) merupakan aplikasi dan tuntunan dari Tauhid Rububiyah. Dengan kata lain mengesakan Allah dari sisi Rububiyah tidaklah cukup dalam pengakuan namun harus diaplikasikan dengan pengabdian yang benar Tauhid Uluhiyah, sebagai contoh,
    يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ 
    “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan hujan dari langit sebagai rezki untukmu…” (QS. Al-Baqarah 21-22)

    Kalimat “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu” merupakan perintah kepada manusia untuk beribadah dan mentauhidkan Allah (Tauhid Uluhiyah), sedangkan “Yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan hujan dari langit sebagai rezki untukmu…” merupakan penjelasan bahwa Allahlah Pencipta, Pengatur seluruh alam, pemberi rizki serta nikmat-nikmat lain yang merupakan penjabaran Tauhid Rububiyah.

    Atau dalam QS. Al-Kautsar: 1-2, yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.”

    “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak,” merupakan penjabaran Tauhid Rububiyah. Sedangkan “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” Merupakan perintah beribadah sebagai aplikasi Tauhid Ubudiyah.

    Sehingga dengan pendekatan pemahaman tauhid, perintah untuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an seraya berjama’ah merupakan tuntunan dari Tauhid Uluhiyah sebagai konsekuensi dari Tauhid Rububiyah yaitu nikmat Allah yang telah menyatukan hari para shahabat sehingga mereka menjadi bersaudara yang sebelumnya mereka saling bermusuh-musuhan dan nyaris terpeleset ke jurang neraka.

    Al-Jama’ah

    Kata “Jama’ah” atau “Al-Jama’ah” mempunyai beberapa arti dan maksud, sesuai dengan bidang apa kata tersebut dibicarakan. Secara etimologi, arti Jama’ah adalah persatuan atau orang-orang yang bersatu, sekelompok manusia yang berhimpun untuk mencapai tujuan yang sama. Sedangkan definisi lain mengartikan Jama’ah sebagai kumpulan atau himpunan tertentu bukan sembarang himpunan atau kumpulan.

    Sedangkan menurut istilah atau syara, arti jama’ah sama dengan arti secara bahasa dengan tambahan “di atas sunah”, hal ini datang dari adanya dua kalimat yang berbeda untuk satu makna yaitu ”JAMA’AH” dan “mereka yang mengikuti jejakku dan jejak sahabat-sahabatku.” (Dudung Amadung, “Ahlu sunnah wal jama’ah metode beragama para salaful ummah.”) atau yang dimaksud dengan Al-Jama’ah adalah Jama’atul Muslimin sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Khudzaifah bin Al Yaman yang berbunyi, “…Engkau tetap pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka.”

    Atau yang seperti yang dikemukakan oleh shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Ali Bin Abi Thalib, yaitu berkumpulnya ahlu haq walaupun sedikit.

    Imam Syatibi setelah mengemukakan beberapa hadis Rasulullah tentang jama’ah, menyimpulkan, pertama, Jama’ah ialah para penganut Islam apabila bersepakat atas suatu perkara; dan para pengikut agama lain diwajibkan mengikuti mereka.

    Kedua, jama’ah adalah masyarakat umum dari penganut Islam, ketiga, jama’ah adalah kelompok ulama mujtahidin, keempat, jama’ah adalah para shahabat ra., secara khusus.

    Setelah itu Imam Syatibi menguatkan bahwa yang di maksud dengan jama’ah ialah Jama’atul Muslimin apabila mereka menyepakati seorang amir/imam. Pendapat ini didukung oleh Al-Hafidz Ibnu hajar di dalam Fathul Bari.

    Jika dinisbatkan kepada pernyataak bahwa al-jama’ah itu adalah orang-orang yang berjalan “di atas jalanku”, sebagaimana sabda Nabi SAW dan jalan para sahabatnya yang berpengang teguh dengan keimanan, mendirikan shalat, menunaikan zakat seraya tunduk kepada Allah serta menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai penolongnya mereka itu juga disebut sebagai Hizbullah.

    Imam, Imamah dan Khalifah

    Imamah menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan kata imamah, yang ada imam (pemimpin) dan aimmah (pemimpin-pemimpin), (Ali as Salus, Aqidah al Imamah inda as Syi’ah al isna ‘asyariyah). Sementara Ali Jabir menukil dari lisanul Arab, bahwa Imam menurut bahasa ialah, setiap orang yang dianut oleh suatu kaum, baik mereka berada di jalan lurus atau sesat.

    Pengertian-pengertian itu diisyaraktkan Al-Qur’an dalam berbagai tempat. Kata imam yang menunjukan pemimpin manusia di jalan lurus diantaranya firman Allah, “…Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (Nabi Ibrahim) imam bagi manusia.” (QS. Al-Baqarah: 124) dan “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

    Kata imam yang menunjukan sebagai pemimpin kesesatan, firman Allah, “…maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu…” (QS. At-Taubah: 12) atau firman yang lain, “Dan kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru ke neraka…”

    Adapun kata imam yang menunjukan untuk kedua macam pemimpin secara umum, ditemukan pada QS. Al-Isra: 71. “(Ingatlah) suatu hari (yang dihari itu) kami pangil tiap umat dengan pemimpinnya…”

    Tidaklah suatu wadah disebut khilafah ‘ala minhajin nubuwwah tidak pula dinamai jama’ah muslimin kecuali diamiri seorang khalifah atau dipimpin oleh seorang imam.

    Karena, imam disebut juga khalifah, dibai’at untuk menjaga keberlangsungan syariah di dunia dan mengarahkan setiap ilmu dan pengamalan syariah Islam itu kepada akhirat. Mengutip pernyataan imam Al Mawardi, bahwa sesungguhnya imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. (Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah).

    Takhtim

    Perenarap syariah yang bersifat wajib itu, tidak mungkin terwujud dengan baik dan benar jika tidak ada yang mengawasi dan mengamirinya (memimpin). Adanya orang atau institusi yang mengarahkan serta mengambil tindakan-tindakan syariah demi tegaknya aturan-aturan Allah tersebut merupakan kewajiban yang tidak boleh di abaikan. Baik kewajiban itu dilihat berdasarkan akal (aqli) maupun ditinjau secara nash (naqli).

    Telah bersepakat semua pihak dari ahlu sunnah, begitu pula yang lainnya dalam kewajiban mengangkat imam ini. Dan umat wajib tunduk kepada seorang imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya itu.

    “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan Ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jka kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian… (QS. An Nisa: 59)

    Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mentaatiku, maka ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa mentaati amirku, maka ia telah mentaatiku, dan barangsiap yang membangkang kepada amirku, maka ia telah membangkang kepadaku.” (HR. Bukhari)

    Pengamalan Islam yang kafah, telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, kemudian diikuti Khulafa Ar Rasyidin Al Mahdiyyin. Merupakan sunnah bagi muslimin untuk mencontoh dan menapaki jejak-jejak mereka dalam mengamalkan ilmu dan menegakkan syariah Islam yang kaffah itu, apalagi akhir zaman pasca wafat Rasulullah SAW akan banyak ditemui hal-hal baru.

    Adapun perbedaan-perbedaan seputar fiqih yang lahir dari ijtihad para ulama (yang sebenarnya itu masih di tolelir dalam Islam) yang selama ini telah menjadikan muslimin saling bertikai yang melahirkan kebencian diantara mereka yang notabene itu dibenci oleh Allah dan Rasulnya, akan dapat terayomi ketika ada diantara meraka imam/khalifah yang menjadi pengambil kebijakan untuk menetapkan hukum. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam senantiasa menerima perbedaan pemahaman diantara para shahabatnya dalam kasus-kasus tertentu.

     Wallahu A’lam bis Shawwab.
    (Buku Quantum Ilmu)

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism