Rabu, 27 Mei 2015

  • Khilafah Sumber Perdamaian

    Lukisan sejarah peradaban dunia tercatat dengan tinta merah genangan darah manusia. Permusuhan, kebencian, dendam kesumat dan perkelahian individu, suku, antarbangsa, hingga perang perbedaan ideology dan perang agama berlangsung.

    Demikian pula terjadi persaingan ekonomi, perang perebutan wilayah, perebutan kekuasaan serta konflik kepentingan lainnya, yang menyulut dan mengobarkan api segala bentuk peperangan.

    Namun kalau kita telusuri dari akar sejarahnya, sumber segala  konflik  adalah syaitan yang hendak melakukan makar terhadap Allah dan para nabi utusan-Nya serta sekalian orang yang beriman. Syaitan semua dengan para pendukungnya (hizbusy syaithan) berhadapan dengan mereka yang berpihak kepada Allah (hizbullah).

    Semua nabi adalah khalifatullah, mewakili Allah di permukaan muka bumi (khalifatullah fil ardh). Tetapi, tidak setiap khalifatullah adalah nabi. Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin juga adalah para khalifah atau disebut juga dengan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khalifah pengikut jejak kenabian). Khalifah nabi akhir zaman adalah Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

    Syaithan dan para pengikutnya mengobarkan kebencian dan peperangan di muka bumi dan menimbulkan malapetaka dan penghancuran peradaban manusia. Sedangkan Khilafah mengibarkan cinta kasih dan perdamaian dunia yang hakiki dan abadi, serta penuh dengan rahmat bagi semesta alam.

    Khilafah terwujud dengan terlebih dahulu menciptakan ummat terbaik (kuntum khoiru ummah) di antara sekalian derajat manusia dengan karakter dan akhlakul karimah, “menegakkan yang maruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran”.

    Sumber Al-Quran

    Memang ada perbedaan persepsi, misi dan visi tentang kekhilafahan yang sangat beragam. Hal itu sangat tergantung pada latar belakang, paradigma pemikiran dan penafsiran masing-masing, walaupun sumber referensinya mungkin saja sama.

    Dengan banyaknya ragam penafsiran, kebenaran Al-Quran yang mutlak  dan final tidak lagi mempunyai kesamaan makna tunggal. Akan tetapi beragam dan terkadang kontradiktif, yang haq diyakini bathil dan yang bathil diyakini haq, yang sunnah dibilang bid’ah yang bid’ah dibilang sunnah.

    Padahal Qur’an atau Al Furqon adalah kitabullah yang secara jelas dan terang benderang memberi petunjuk “Mana haq dan mana bathil”. Petunjuk yang benar dan tidak meragukan isinya ini, berubah menjadi kebenaran relatif yang samar dan nisbi, yang mengambang di ruang “atmosfeer kebingungan”.

    Parameter salah dan benar bukan lagi fokus pada Quran dan Sunnah Rasul secara utuh, tapi bias oleh ragam faham dan golongan.

    Selamat di dunia dan di akhirat, bukanlah sloganisme yang hampa dan utopia, melainkan karena manusia mengamalkan Islam secara kaffah, tidak sulit untuk untuk mencapainya.

    Allah menurunkan Al-Quran bukan untuk mendatangkan kesusahan (kesulitan), sebagai mana firman-Nya dalam Al Qur’an, yang maknanya, “Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah”. (Q.S. Thaaha [20]: 2).

    Berbicara tentang sumber referensi khilafah, maka seluruh kaum muslimin tentu akan berpedoman kepada Al-Quran (Sunah Allah) dan Sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

    Allah menyebutkan, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (Q.S. An-Nisa [4]: 59).

    Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah

    Allah telah menurunkan sejarah (kisah) para nabi dan ummatnya dari kurun para nabi sebelumnya, agar menjadi ibrah (pelajaran berharga) bagi ummat yang akan datang kemudian (sepanjang masa).

    Dalam tarikh Islam, para pelaku  Khilafah ‘Ala Minhajin nubuwwah (Khilafah pengikut jejak kenabian) adalah Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin. Mereka dalah empat shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang sudah di-nash (ditetapkan) oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai ahlul jannah (ahli surga), yaitu ummat periode masa awal, baik Muhajirin maupun kaum Anshar sebagai mukminin periode awal.

    Mereka adalah para Khailfah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

    Keterangan  hadits dan tareh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin tersebut dapat disimpulkan, bahwa sunnah Nabi Muhammad Shalallohu ‘Alaihi Wassalam itu meliputi juga sunnah Khulaur Rasyidin Al Mahdiyyin yang mengikuti jejak kenabian.

    Para pelaku Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin itulah yang dimaksud dengan penerus jejak langkah kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).

    Pertanyaan yang selalu menggelitik di hati Penulis adalah, “Mengapa Para shahabat Nabi yang di-nash (ditetapkan) sebagai ahli surga mengamalkan syariat Islam berkhilafah, tapi mengapa ummat Islam sekarang tidak?”

    Karena itu, adalah sebuah realita, bahwa para Khalifah Nabi, sejak Nabi Adam Alaihis Salam sampai dengan Khalifah Nabi akhir zaman, Muhammad Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Madiyyin yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adalah wujud utuh dan konkrit yang tampil dalam panggung sejarah Dunia Islam.

    Sepatah kata yang disebut “Khalifah”, itulah jati diri kepemimpinan orang orang yang beriman yang telah mengukir sejarah peradaban manusia seutuhnya dengan Islam.

    Persepsi kekhilafahan.

    Kekhilafahan adalah satu satunya sistem sosial ilahi Rabbi untuk mengurus dan menggembala ummat manusia di muka bumi dengan segala isinya, berlandaskan Al-Islam yang menebarkan rahmat bagi semesta ‘alam.

    Allah menyebut di dalam ayat-Nya,“Tidaklah aku utus engkau (Muhammad), kecuali untuk menebar rahmat bagi semesta ‘alam”. (Q.S. Al-Anbiya [21]: 107).

    Maka, sesuai dengan fungsi dan kapasitasnya, Khalifah disebut juga sebagai Imaamul Muslimin (Pemimpin orang orang muslim di seluruh muka bumi), Ulil Amri minkum (Yang memimpin urusan orang orang mukmin), Imaamah linnas (Pemimpin semua ummat manusia), dan Ro’in (Penggembala ummat).

    Sumber Perdamaian

    Secara aksiomatis, ummat terbaik seperti itu akan menjadi sumber perdamaian dunia yang hakiki dan abadi dalam kehidupan social. Bukan perdamaian dunia semu ala semboyan doctrinal yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa yang tendensius, mengusung sebuah kepentingan terselubung penuh misteri.

    Dalam praktiknya PBB bukan mencegah atau menghukum Negara aggressor, tapi malah melegalisirnya melalui hak veto.  Inikah Perdamaian Dunia ala PBB yang dicibir oleh Ir Soekarno sebagai : “The Old established force’s” (kekuatan kolot yang sudah renta yang mengusung misi kolonialisme).

    Lawan dari itu menurut Ir Soekarno adalah, “The new emerging force’s”, kekuatan baru yang sedang bangkit dan mengusung missi  kemerdekaan, perdamaian dunia dan mengangkat derajat kemanusiaan.

    Dan itulah Khilafah, sekalipun beliau tidak mengatakan secara eksplisit seperti itu.

    Maka, sudah sepantasnya dan sudah waktunya bagi masyarakat dunia termasuk di dalamnya ummat Islam untuk memilih satu di antara dua opsi : Memilih Kekhilafahan sebagai sumber perdamaian dunia yang hakiki dan abadi yang universal petunjuk ilahi Robbi Yang Rahman-Rahim atau memilih perdamaian semu yang penuh intrik ciptaan Zionis Yahudi?

    Jawabannya, sangat tergantung kepada apa yang berbisik di dalam hati nurani kita yang paling dalam.

    Tapi yang jelas, iman atau tidak beriman, khilafah itu adalah syariat Islam yang wajib diamalkan!            
    Wallahu A’lam bis Shawwab.
    Oleh : Yayan DNS, (Pemerhati Politik dan Sejarah Islam )

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism