Kamis, 27 Agustus 2015

  • Pendidikan Ibadah Haji

    Haji / performhajj.com
    Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan kepada hamba-Nya untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah, di Mekkah Al-Mukarramah. Sebagaimana Dia menyatakan dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran (3) ayat 97,
    وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
    Artinya : "Mengerjakan haji adalah kewajiban menusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah".

    Setiap peribadatan yang Allah syari'atkan dalam Islam memiliki tujuan yang jelas dan hikmah yang berbobot. Begitu pula dalam pelaksanaan ibadah haji, mulai dari berpakaian ihram, talbiyah, thawaf, hingga wukuf di padang Arafah memiliki maqsud dan hikmah syar'iyah yang sarat serta mengandung pesan moral yang tinggi.

    Ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima itu, merupakan ibadah fisik, pengorbanan harta dan ibadah hati. Hendaknya orang-orang yang sudah berniat menunaikannya dan para jamaah yang memenuhinya, memahami maksud dan hikmah pensyari'ahan ibadah haji ini. Sa'id Hawwa dalam Kitabnya, Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus, yang dalam edisi bahasa Indonesia menjadi Tazkiyatun Nafs, yang merupakan intisari dari Kitab Ihya 'Ulumuddin nya Al-Ghazali, menyatakan, "Haji merupakan pembiasaan jiwa melakukan sejumlah nilai, yaitu pasrah dan menyerahkan diri kepada Allah, mencurahkan segenap kemampuan dan harta di jalan Allah, saling menolong dan berkenalan, serta melaksanakan syi'ar-syi'ar ketundukan kepada Allah. Semua itu memiliki dampak dalam penyucian jiwa, sebagaimana hal itu juga merupakan bukti terealisasikannya kesucian jiwa" (Jakarta: Pena Pundi Aksara, Cet. VI, 2008).

    Sehingga, jangan sampai tenaga yang dipakai dan waktu yang diluangkan dalam menunaikan ibadah ini menjadi sia-sia. Begitu pula finansial yang dikeluarkan, tenaga serta tetesan keringat yang tertumpah, tidak mendatangkan efek positif bagi pelakunya.

    Selain tercapainya kesucian jiwa yang mengakibatkan meresapnya berbagai petunjuk dan arahan ilahiyah, ibadah haji diharapkan dapat menghadirkan keyakinan terhadap akhirat dan keimanan yang kokoh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena di dalam pelaksanaan manasiknya, dibangun kesadaran terhadap adanya kehidupan sesudah kematian, yaitu kehidupan akhirat dan hal yang mengikutinya. Wukuf di Padang Arafah yang dianggap sebagai puncak haji misalnya, dimaknai sebagai gambaran berkumpulnya seluruh manusia di Padang Mahsyar, untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka masing-masing di dunia kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga sebagian ulama menyatakan bahwa ibadah haji merupakan gladi resik serta gambaran miniatur akhirat.

    Pemahaman ini menjadi penting, karena keimanan yang dibangun atas enam azas itu, sering kali oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam diringkas menjadi dua azas. Yaitu iman kepada Allah dan iman kepada hari akhir. Banyak hadis yang mengisyaratkannya. Salah satunya, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. [HR. Bukhari dan Muslim).

    Kompetensi Haji

    "Hudzu 'anni manasikakum, ambillah dariku manasik (haji) mu". Demikian anjuran Rasulullah untuk mencontoh beliau dalam ibadah ini. Karena, manasik haji Rasulullah merupakan manasik yang dibimbing oleh wahyu dan memiliki banyak keutamaan.

    Juga pendidikan (Tarbiyah) dalam ibadah haji mengharuskan para lulusan manasiknya memiliki kompetensi yang berguna di dunia dan berakibat bahagia di akhirat. Predikat yang didapat bukan sekedar saleh ritual, yaitu predikat kesalehan yang disandarkan atas ketaatan dalam melaksanakan ritus-ritus keagamaan. Para pemilik predikat saleh ritual ini, biasanya sangat memperhatikan kaifiyat-kaifiyat (prosedur pelaksanaan) dalam melaksanakan ibadah mahdloh. Bahkan tidak jarang berselisih pendapat dalam penetapan hukum dan pelaksanaannya.

    Tetapi yang tidak bisa dipisahkan dari kompetensi haji itu adalah saleh sosial. Yaitu kesalehan yang disandarkan kepada pelaksanaan kebaikan-kebaikan dan penerapan amalan-amalan mulia yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Hal ini pula sebagai ciri dari haji mabrur. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "(ibadah) haji yang mabrur tidak punya balasan kecuali surga." Lalu beliau ditanya, "Apakah kemabruran haji itu wahai Rasulullah?", Beliau menjawab, "Perkataan yang baik dan memberikan makanan." (HR. Ahmad).

    Sehingga orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji serta orang yang mengerti tentang hikmah syar'iyah dari ibadah haji dapat menjadi contoh kebaikan dan teladan kemuliaan bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Tetangga yang kelaparan, anak-anak yatim yang tidak mendapat pendidikan dan santunan, serta janda-janda tua yang terabaikan tidak akan dijumpai lagi di lingkungan para hujjaj dan orang-orang yang mengerti hikmah syar'iyah haji tersebut.

    Dari pemahaman itu pula, mereka yang sudah menunaikan ibadah haji dan masih memiliki kemampuan finansial untuk menunaikan ibadah haji, hendaknya ia mengalokasikannya pada penerapan syari'ah lainnya. Menggalakkan pendidikan keislaman, memberi santuan kepada fakir miskin yang memerlukan modal untuk berkarya, membiayai para mujahid di Al-Masjidul Aqsha yang mempertahankan dan berupaya membebaskan masjid tersebut, serta pos-pos lainnya yang sangat membutuhkan uluran tangan orang-orang berada, merupakan hal yang lebih utama.

    Peran Ulama

    Masalah teknis dan administrasi jama'ah haji penting untuk diurus hingga tuntas. Namun, pencapaian terhadap tujuan pensyariahan ibadah haji pun tidak boleh diabaikan. Para 'alim yang tergabung dalam kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), para mubaligh dan para da'i yang mengerti, diharapkan bisa berperan aktif dalam menjelaskan dengan gamblang tentang hikmah syar'iyah dari tiap-tiap rangkaian manasik haji itu.

    Jangan sampai pelaksanaan ibadah haji hanya dinilai sebatas wisata dan jalan-jalan yang tak berguna. Tidak berbekas pada jiwa dan tidak pula menghadirkan kerinduan berjumpa dengan Allah. Dianggap membuang waktu dan menghambur-hamburkan uang. Karena, sulit dibedakan antara orang yang sudah menunaikan ibadah haji dengan mereka yang tidak mengenal aqidah dan kebaikan.

    Takhtim

    Ibadah haji bukan sekedar melakukan perjalanan dari negeri yang dicintai menuju negeri dimana baitullah dan bekas-bekas perjalanan para utusan Allah berada. Namun lebih dari itu. Memiliki maksud pembinaan jiwa dan pelatihan (riyadloh) fisik yang bermuara kepada ketaqwaan yang paripurna.

    Sulit bagi kita untuk membuka pintu rahasia dan hikmah syar'iyah ibadah haji ini, jika tidak memiliki kunci-kuncinya. Diantara kunci-kuncinya itu ialah pertama, kepahaman bahwa ibadah haji ini merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, kerinduan bahwa ia akan berjalan dan mendekat menuju Rumah-Nya. Ketiga, azam (tekad) meninggalkan keluarga, negeri, syahwat dan berbagai kenikmatan demi mengunjungi rumah Allah. Keempat, Berupaya memutuskan segala keterikatan dengan makhluk Allah, baik keterikatan itu diakibatkan kezaliman seperti menipu dan mencuri, maupun keterikatan dengan cara yang mubah yaitu berhutang. Kunci yang lainnya adalah bekal yang cukup untuk dirinya di perjalanan maupun untuk keluarga yang ditinggalkan.

    Demikian komponen-komponen tarbiyah ibadah haji, mudah-mudahan semua orang yang menginginkan kemuliaan mampu menapaki pesan-pesan dan menaiki tangga-tangganya.

    Wallahu a’lam bisshowab.
    Oleh : Abu Faris

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism