Rabu, 08 Juni 2016

  • Ru’yatul Hilal dan Urgensi Khalifah

    Ru’yatul Hilal

    Pelaksanaan ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) yang menandai masuknya tanggal satu dalam hitungan kalender Hijriyah, merupakan bagian dari syariat ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

    Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : Artinya : “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (QS. Al-Baqarah [2] : 185).

    Ibnu Katsir menyebutkan, ini merupakan hukum wajib bagi orang yang menyaksikan hilal untuk memulai puasa Ramadhan.

    Al-Maraghi menjelaskan, siapapun menyaksikan masuknya bulan, dan kesaksiannya itu melalui melihat hilal tanda masuk bulan (tanggal satu) atau mengetahui melalui orang lain, maka hendaknya ia berpuasa. Keterangan hadits mengenai masalah ini sangat banyak, yang tersebut di dalam Sunnah Nabawi, dan sudah dilaksanakan sejak Islam permulaan hingga sekarang.

    Pada ayat lain Allah menyebutkan soal hilal tersebut: Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 189)

    Adapun pelaksanaan satu Ramadhan setelah ru’yatul hilal adalah secara terpimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib. Pada masa Mulkan, baik Adhan maupun Jabbariyah, walaupun telah bergeser dari sistem Khilafah ke sistem Mulkan, tetapi sentral pengambilan keputusan Ru’yatul Hilal oleh pimpinan umat Islam tetap terjaga. Dan memang penentuan awal Ramadhan merupakan hak dan wewenang Imaam / Khalifah.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : Artinya : “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

    Artinya: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (HR. Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).

    Kewenangan Imaam/Khalifah/pemimpin bagi kaum Muslimin, ditegaskan oleh Imam Ahmad :

    Artinya: “Berpuasalah bersama Imaam dan Jama’ah Muslimin baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”

    Adapun kesaksian ru’yatul hilal awal Ramadhan oleh seorang Muslim walaupun satu orang, tetap sah. Memang, dalam penglihatan bulan Ramadhan boleh dengan satu orang saksi, beda halnya dengan bulan selain Ramadhan yang mesti dengan dua saksi.

    Ini seperti dikemukakan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram :

    Artinya: Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).

    Urgensi Imaam bagi Muslimin
    Dalam rangka penyatuan penanggalan Kalender Dunia Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya pernah membuat kesepakatan yang dikenal dengan Konvensi Istambul 1978. Konvensi Istambul adalah pertemuan Musyawarah Ahli Hisab dan Ru’yat di Istanbul, Turki tahun 1978 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 19 Negara Islam (termasuk Indonesia). Ditambah dengan tiga Lembaga Kegiatan Masyarakat Islam di Timur Tengah dan Eropa

    Ada tiga kesepakatan terpenting Konvensi Istambul, yaitu pertama, sepakat satunya penanggalan bagi dunia Islam. Kedua, ru’yatul hilal (penglihatan bulan) suatu negara berlaku untuk semua negara. Ketiga, Mekkah Al-Mukarramah dijadikan sentral ru’yatul hilal dan pusat informasi ke seluruh negeri-negeri Islam.

    Insya Allah, mereka yang berpatokan pada rukyat global itulah yang memperjuangkan ukhuwah Islamiyyah sebenarnya, satunya kaum Muslimin di seluruh dunia tanpa sekat-sekat ashobiyah nasionalisme. Mereka kaum Muslim tidak mempedulikan di mana info ru’yat itu pertama kali terjadi dan Muslim siapa yang melihatnya. Selama si peru’yat Muslim diterima kesaksiannya berdasarkan pertimbangan kredibilitasnya, keadilan dan kemampuannya dalam meru’yat, maka informasi itu akan diterima untuk memulai/mengakhiri puasa Ramadhan serentak bersama umat Islam sedunia.

    Inilah ukhuwah Islam dan kesatuan umat Islam yang sebenarnya, bukan jargon dan pengkaburan fakta semata. Dan untuk penetapan itu semua, maka di sinilah letak urgensinya keberadaan seorang Imaam atau Khalifah bagi satunya kaum Muslimin seluruh dunia.

    Begitu pentingnya hal trersebut, Imam At-Tirmidzi ketika mengomentari hadits dari shahabat Abu Hurairah, tentang : “Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah hari mereka berbuka. Dan Idul Adha adalah hari mereka menyembelih kurban.” (HR At-Tirmidzi)

    Maka At-Tirmidzi kemudian berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan : “Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama Jama’ah Muslimin di bawah pimpinan Khalifah atau Imam”.

    Sementara Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata, “Kaum Muslimin senantiasa wajib mengikuti Imaam atau Khalifah. Maka, jika Imaam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imaam berbuka (ber-Idul Fitri), mereka wajib pula berbuka”.

    Begitulah urgensi kehadiran seorang Imaam atau Khalifah bagi kaum Muslimin, bukan dalam keadaan sedang terpecah-belah ke dalam shabiyah seperti sekarang ini, yang masing-masing dipimin oleh pimpinan kelompoknya sendiri-sendiri.

    Begitu sangat pentingnya satu Imaam atau satu Khalifah bagi dunia Islam dalam satu masa, sehingga sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mewasiatkan umat Islam agar kepemimpinan atas umat Islam itu hanya satu. Jika lebih dari satu, maka hapuskan yang akhir darinya.

    Artinya: “Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dibaiat di antara keduanya”. (HR Muslim dari Abu Sa’iid Al-Khudriy).

    Tentunya dzahirnya bukan untuk langsung membunuh atau memenggal orang-orang yang memecah-belah. Tetapi khabar itu adalah indikasi bagi perintah yang sangat tegas agar umat Islam hanya berada pada satu satu pemimpin, satu Imaam, satu Khalifah bagi seluruh kaum Muslimin.

    Adapun penilaian objek hukum (tahqiqul manath) terhadap Imaam atau Khalifah tidak bisa dinisbatkan pada semua kepala negara yang ada di dunia ini, walaupun itu mengepalai negara yang mayoritasnya umat Islam atau negara Islam (Islamic State), atau apalagi umat Islam menjadi minoritas di sana.

    Sebab telah terbukti bahwa mereka tidak menjalankan fungsinya sebagai Khalifah atau Imaam bagi seluruh kaum Muslimin, yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dan menyebarkan Islam dengan dakwah dan futuhat (pembebasan) yang bersifat rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana fungsi dan definisi Khalifah itu sendiri.

    Untuk itu, bicara ru’yatul hilal, adalah bicara umat Islam yang wajib bersegera untuk mengamalkan dan memiliki Imaam atau Khalifah, agar ukhuwah islamiyah yang hakiki terwujud, dan agar Islam kembali berjaya di atas agama dan ideologi lainnya, serta hancurlah kebatilan serta lenyaplah segala fitnah yang sekarang mencengkeram umat Islam akibat terpecah-belah dalam sekat-sekat ashabiyyah.

    Wallahu a’lam bishshawab.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism