Rabu, 17 Agustus 2016

  • Hindari Toleransi ‘Kebablasan’

    Kata toleransi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (secara etimology) berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh, Belanda: tolerantie). Toleran mengandung pengertian bersikap mendiamkan. Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada, sifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Toleransi sikap sosial secara umum, karena fakta perbedaan suku bangsa, bahasa dan kebiasaan tertentu dalam Islam adalah Firman Allah dalam QS.al-Hujurat 13:

    “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS.al-Hujurat: 13).

    Adapun khusus tentang toleransi beragama Allah menyampaikan dalam al-Qur’an sbb:

    “Katakanlah (wahai Muhammad), “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. al-Kafirun: 1-6).

    Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang ‘kebablasan’, diantaranya:

    1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga meskipun non-muslim

    Berikut ini teladan dari para Alim dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, imam Mujahid, ia berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata: ”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”.

    Lalu ada salah seorang yang berkata: “(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”. ‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.”

    2. Bermuamalah yang baik berlaku adil meskipun terhadap non-muslim

    Allah mengajarkan muslimin boleh bergaul dan berbuat baik kepada non muslim selama mereka tidak memerangi dan mengusir muslimin dari kampung halamannya. Jika mereka dholim sebagaimana kasus penyerangan dan pengusiran muslimin Palestina oleh Yahudi Israel hingga saat ini maka muslimin wajib membela diri mereka, menghentikan kedholiman. Pepatah mengatakan: Cacing diinjak juga menggeliat. Allah berfirman:

    “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. al-Mumtahanah: 8).

    Dalam ayat lain ketika orang tua kita bukan Islam, maka tetap harus berbuat baik dan berbakti kepada mereka dalam hal muamalah. Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).

    Ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai Palestina maka mereka melakukan pembantaian terhadap muslimin.

    3. Islam melarang keras membunuh non-muslim tanpa alasan yang benar

    Dalam agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi yaitu kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu semisal orang kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh. Maka bagaimana mungkin ada kelompok orang mengaku Islam tetapi kegiatannya menyerang dan membunuh sesama muslimin?. Allah mengingatkan:

    “Barangsiapa membunuh seseorang tanpa alasan atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah ia membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa menghidupi mereka seolah-olah menghidupi manusia seluruhnya” (QS. Al-Maidah: 32 ).

    Ayat diatas membuktikan bahwa ajaran Islam itu rahmah, membawa kedamaian, bukan pembawa ancaman apalagi teror penebar maut di tengah masyarakat. Naudzubillah mindzalik. Rasulullah teladan umat sangat santun dan penyabar, beliau menyatakan: “Aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (al-Hadits).

    AJAKAN TOLERANSI YANG KEBABLASAN

    Di Italia (Harian Republika, 2/8/2016), Imam Sami Salem, para imam dan muslimin menghadiri misa di gereja-gereja dari Palermo hingga Milan sebagai aksi solidaritas atas penyerangan gereja di Perancis. Aksi serupa juga dilakukan bahkan diberitakan wanita berhijab dan pria Yahudi nampak memadati barisan depan di gereja katedral Lille, Calais-Perancis.

    Toleransi kebablasan ini, ternyata sudah ada sejak jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperjuangkan agama Islam di Mekah. Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan tolenasi kebablasan kepada beliau, mereka berkata:

    “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”

    Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini : “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).

    Toleransi dalam beragama bukan berarti kita boleh mengikuti peribadahan agama tertentu. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk kepahaman kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk sistem dan tata cara peribadatannya, dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing. Jangan sebaliknya, segolongan orang mengaku Islam tetapi latah ikut acara ibadah agama lain. Hal seperti ini jelas bukan toleransi, bahkan dilarang Allah sebagaimana dalam Surat al-Kafirun diatas.

    Sikap toleransi ini sekaligus mengukuhkan komitmen Islam terhadap perwujudan perdamaian dan ketenteraman dunia yang memang heterogen, jauh dari sikap anarkhis apalagi teroris, naudzubillah mindzalik.

    Bacaan:
    -Al-Qur’an dan Terjemahnya. Dept. Agama RI.
    -Al Irwa’ Al-ghalil no. 891
    -Tafsir Al Qurthubi 20: 225, Darul Kutub Al-Mishriyyah, cet. Ke-II, 1386 H.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism