Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Rabu, 28 Agustus 2013

  • Peningkatan Pasca Ramadhan


    Allah Subhanahu Wa Ta’ala ber-firman:
     فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب
     “Apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakan-lah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya kamu berharap.” (Q.S. Al-Insyirah [94]: 7-8)

    Mualla bin Fadhil berkata, “Para shaha-bat membagi tahunnya kepada dua bagian. Bagian pertama, mereka per-gunakan untuk berdoa agar Allah Sub-hanahu Wa Ta’ala menerima puasa yang telah dilaksanakan. Bagian kedua, mereka pergunakan untuk berdoa agar Allah memberikan kekuatan untuk me-laksanakan puasa yang akan datang.”

    Ayat tersebut sangat relevan untuk kita jadikan bahan renungan setelah kita selesai melaksanakan shaum Ramadh-an seperti saat ini.

    Setelah selesai melaksanakan shaum Ramadhan hendaklah memiliki perasa-an cemas dan harapan. Cemas karena khawatir puasa kita tidak diterima Allah namun kita juga berharap semoga Allah dengan sifat rahman dan rahim-Nya berkenan menerima puasa kita walau-pun belum kita laksanakan secara mak-simal seperti yang ditentukan oleh Allah.

    Oleh karena itu, apabila kita berjumpa dengan teman-teman kita di hari Idul Fitri, kita disunnahkan saling men-doakan dengan ucapan: “Taqabalallahu minna wa min-kum.” (Semoga Allah menerima amal kami dan amal kali-an).

    Diriwayatkan dari Jubair bin Nufair: Para sahabat Rasulu-llah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila bertemu di hari raya mereka mengucapkan “taqabalallahu minna wa minkum.”

    Pada ayat tersebut, Allah mengajarkan kepada kita, apabila kita telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan hendaklah segera bersiap siaga untuk mengerjakan pekerjaan yang baru karena Islam adalah agama yang sangat menekankan bekerja yang di dalam syariat Islam disebut amal shalih dan menggantungkan harapan kepada Allah.

    Bekerja dan doa harus selalu menghiasi pribadi setiap muslim karena betapapun kuatnya manusia dalam bekerja, potensinya sangat terbatas sehingga hanya harapan yang tercurah kepada Allah yang dapat menjadikan dia bertahan menghadapi hempasan ombak kehidupan yang sangat dahsyat.

    Setelah kita selesai mengerjakan puasa segeralah kita me-ngerjakan pekerjaan yang baru dan kita usahakan pekerja-an yang kita kerjakan setelah puasa lebih baik dari pada sebelumnya. Inilah yang terkandung dari arti bulan Syawal ini yaitu peningkatan.

    Peningkatan itu hendaknya kita usahakan dalam tiga hal yaitu peningkatan iman, ibadah dan akhlak.

    1.  Peningkatan Iman

    Dalam peningkatan iman, selama bulan Ramadhan kita dididik oleh Allah dengan puasa sebagai ibadah yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh Allah dan pelakunya.

    Hal ini mendorong kita untuk berlaku ikhlash dengan mengerjakan sesuatu bukan karena ma-nusia tetapi semata-mata karena Allah.

    Karena itu, mari kita tingkatkan keikhlasan kita. Bekerja bukan karena atasan kita, teman-teman kita atau malu dengan bawahan kita, tetapi bekerja semata-mata karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila kita bekerja dengan “meng-hadirkan” Allah sebagai sumber motivasi pekerja-an kita, maka pekerjaan kita akan usahakan selalu baik, benar dan maksimal. Karena Allah Maha Indah, Maha Benar dan menuntut kita agar maksimal dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
    وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُون وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
    Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikem-balikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”  (Q.S. At-Taubah [9]: 105)

    2.  Peningkatan Ibadah

    Dalam peningkatan ibadah, selama bulan Ra-madhan kita dididik oleh Allah dengan berbagai macam ibadah, seperti shalat tarawih, membaca Al-Qur’an memperbanyak sedekah dan sebagai-nya. Ibadah-ibadah hendaknya kita pertahankan untuk mengisi aktivitas keseharian kita.

    Shalat tarawih adalah didikan agar kita rajin sha-lat tahajjud, shalat sunnah yang paling tinggi nilai-nya dan satu-satunya shalat sunnah yang di singgung dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain:
    وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
    “Dan pada sebahagian malam hari shalat taha-judlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Q.S. Al-Israa [17]: 79)

    Dengan membaca Al-Qur’an kita diajak selalu berdialog dengan Allah, sehingga rasa cinta ke-pada Allah semakin mendalam. Rasulullah Sha-llallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

    “Al-Qur’an lebih dicintai oleh Allah dari langit dan bumi beserta isinya.” (H.R. Abu Nu’aim)

    Adapun shadaqah akan mempertajam kepekaan sosial kita. Betapa banyaknya saudara-saudara kita sampai hari ini masih hidup dalam kekurang-an dan penderitaan, seperti di Mindanao, Pales-tina, Afghanistan, dan sebagainya.

    3.  Peningkatan Akhlak

    Dalam peningkatan akhlak, selama puasa kita dididik oleh Allah untuk memperbaiki hal tersebut. Akhlak adalah suatu pekerjaan yang telah menja-di kebiasaan. Di antara kebiasaan yang ditanam-kan oleh Allah selama puasa, ialah kebiasaan menepati waktu. Hal ini tampak pada perintah berbuka dan sahur pada waktunya.

    Berbuka sebaiknya di awal waktu sedang sahur di akhir waktu. Hal ini mengisyaratkan agar kita mulai bekerja di awal waktu dan tidak mengakhiri-nya sebelum habis waktunya.

    Oleh karena itu apabila orang menghayati makna puasa, tidak mungkin dia akan sering terlambat masuk kerja dan pulang sebelum waktunya. Apa-lagi terlambat beberapa hari masuk kerja karena alasan mudik seperti kebiasaan yang terjadi seti-ap selesai merayakan Idul Fitri.

    Inilah beberapa peningkatan yang harus di laku-kan setelah puasa, semoga kita memahaminya.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.
    Oleh: KH. Yakhsyallah Mansur MA.
    Pimpinan Ma'had Al-Fatah Indonesia

  • Kamis, 15 Agustus 2013

  • Shaum 6 hari di Bulan Syawwal


    عن ‏ ‏أبي أيوب الأنصاري ‏ ‏رضي الله عنه ‏ ‏أنه حدثه ‏ ‏أن رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال ‏ ‏من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
    Dari Abu ayub Al Anshory, semoga Allah meridhoinya, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda : Barangsiapa yang shaum Ramadhan kemudian dia ikuti dengan enam hari pada bulan Syawal, maka dia seperti shaum setahun.” (HR. Muslim)

    Imam Ahmad, Syafi’i dan Hambali menjadikan hadis di atas sebagai landasan disunnahkannya melaksanakan shaum enam hari di bulan Syawal. Tetapi, Imam Malik menganggap bahwa hukum shaum pada bulan Syawal adalah makruh disamping ada kekhawatiran akan dianggap sebagai shaum wajib.

    Mengenai hal ini, Imam Ibnu Abdul Bar menjelaskan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Muslim ini belum sampai kepada Imam Malik. Berdasarkan sanadnya, hadis di atas dipertentangkan oleh para ulama. Namun, pada kesimpulannya bahwa hadis tersebut adalah hasan, bahkan Imam Tirmidzi menilai hadis tersebut hasan shoheh.

    Hadis tersebut menunjukan dalil disunahkannya shaum enam hari di bulan Syawal. Adapun dalam pelaksanaannya, shaum enam hari di bulan Syawal boleh dilaksanakan secara berturut-turut, boleh secara terpisah, boleh pula melaksanakannya pada awal, pertengahan maupun akhir Syawwal.

    Imam Ash-Shon’any dalam “Subulus Salam”, berpendapat bahwa tidak ada dalil yang menentukan waktu shaum di bulan Syawal. Karena barangsiapa yang melaksanakannya dalam bulan Syawal pada hari yang mana saja, maka sudah benar bahwa dia telah mengikuti shaum Ramadhan dengan enam hari di bulan Syawal.

    Adapun mengenai pahala seperti satu tahun, Imam Asy-Syaukani dalam “Nailul Author” mengemukakan bahwa para ulama menyepakati hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al-An’aam ayat 160 yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan, maka baginya sepuluh balasan yang sepadan...”

    Karena satu kebaikan itu dinilai sepuluh kali lipat, maka satu bulan Ramadhan dikalikan sepuluh sama dengan sepuluh bulan. Dan enam hari bulan syawal dikalikan sepuluh sama dengan dua bulan, sehingga sempurnalah bilangannya satu tahun.

    Salah satu fedah terpenting dari pelaksanaan puasa enam hari di bulan Syawal ini adalah menutupi kekurangan puasa wajib pada bulan Ramadhan. Sebab, puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan pasti tidak terlepas dari kekurangan atau dosa yang dapat mengurangi keutamaannya. Pada hari kiamat nanti akan diambil pahala puasa sunat tersebut untuk menutupi kekurangan puasa wajib.

    Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, “Amal ibadah yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Allah Ta’ala berkata kepada malaikat—sedang Dia Maha Mengetahui tentangnya, ‘periksalah ibadah shalat hamba-hambaKu, apakah sempurna ataukah kurang.’ Jika sempurna maka pahalanya ditulis utuh sempurna. Jika kurang, maka Allah memerintahkan malaikat, ‘periksalah apakah hamba-hamba-Ku itu mengerjakan shalat-shalat sunnah ? Jika ia mengerjakannya maka tutupilah kekurangan shalat wajibnya dengan shalat sunat itu.” Begitu pula dengan amal-amal ibadah lainnya.” (HR. Abu Dawud)

    (Bulughul Maram, Subulus Salam, Nailul Authar)

  • Rabu, 14 Agustus 2013

  • Kembali Ke Fitrah, Hidup Berjama’ah


    Ramadhan telah berlalu, hendaklah kita tetap bertawakkal dan bersyukur kepada Allah Ta’ala karena telah memberikan hidayah-Nya berupa akidah dan ketetapan iman yang benar, dengannya semoga kita tetap mampu mengaplikasikan nilai-nilai Ramadhan menuju peningkatan iman pada sebelas bulan kemudian.

    Bulan Ramadhan adalah bulan yang Allah khususkan bagi pembinaan ibadah umat. Amalan sebulan Ramadhan lalu hendaknya benar-benar menghasilkan pribadi-pribadi yang bertakwa, semakin bertakwa. Shaum dan ibadah kita akan menjadi gagal manakala selepas ramadhan tidak ada perubahan positif pada nilai iman dan takwa kita.

    Perwujudan takwa kita dalam menatap ke depan adalah istiqomah dalam melaksanakan syariat-syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memelihara fitrah kita sebagai sosok manusia yang Allah muliakan. Keluar dari Islam, menolak syariatnya berarti menolak tata nilai kebenaran dan perwujudan fitrah manusia yang benar.

    Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada dein ini. Itulah fitrah Allah dimana fitrah manusia di atasnya.” (QS. Ar-Ruum : 30)

    Ketika hewan saling memangsa dan membunuh, maka Islam mengajarkan manusia saling kasih saying dan tolong-menolong. Ketika hewan makan tanpa peduli sesamanya, maka Islam mengajarkan peduli sesama, karenanya ada perintah zakat, infaq dan shodaqoh. Ketika hewan tidak peduli makan apa dan milik siapa, maka islam mengajarkan kebersihan dan kehalalan. Maka terorisme, keberingasan, kekejaman, penipuan, korupsi dan segala bentuk kejahatan bukanlah ajaran Islam.

    Islam membentuk manusia mulia, manusia yang saleh karena amal perbuatannya berkualitas, penuh tanggung jawab, jujur, amanah, adil serta segala perbuatan yang membawa kebaikan diri dan lingkungannya. Dan nilai-nilai Ramadhan telah membentuk manusia yang bertaqwa tersebut. Maka manusia macam apa yang menolak syariat Islam? Potensi Manusia

    Tidak dipungkiri, manusia memendam potensi baik maupun potensi buruk, fa’al hamahaa fujuuroha wa taqwaahaa, dengan potensi tersebut sebagian manusia menyadari, mau memahami dan mengikuti jalan hidup yang Allah berikan, dan sebagian lagi ingkar dan memaksiati Allah sehingga berada pada jurang kejahatan dan kehinaan, Allah telah menyatakan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya kami telah menunjuki kepada jalan yang lurus, maka ada yang bersyukur dan ada yang kufur.” (QS. Al-Insan : 3)

    Munculnya manusia-manusia jahat yang terjerat dengan potensi buruknya karena mengingkari hukum-hukum Allah telah menimbulkan kerusakan di muka bumi ini, baik kerusakan fisik maupun moral. Allah mengingatkan, “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut karena ulah perbuatan manusia sendiri.” (QS. Ar-Ruum : 41)

    Fakta yang dapat kita saksikan hari ini, sumber daya alam habis oleh tangan-tangan rakus manusia tak beriman tanpa mempedulikan kepentingan dan kebutuhan umat manusia lainnya, kemiskinan dan kesulitan hidup semakin subur karena korupsi yang merajalela disetiap sektor pembangunan. Sumberdaya rusak, moral pun semakin rusak. Pergaulan bebas, huru hara dan maksiat lainnya semakin marak di mana-mana. Allah mengingatkan.

    Maka datanglah sesudah mereka, penganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal sholeh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (QS. Maryam : 59-60)

    Yang lebih parah lagi adalah penindasan dan penjajahan manusia atas manusia yang terjadi di abad modern ini, abad IPTEK, HAM, dan peradaban tinggi. Namun ironisnya perampasan, penindasan dan pembunuhan atas saudara-saudara kita masih terjadi, di Palestina, Afganistan dan Rohingya di Myanmar, serta di negeri-negeri muslim lainnya oleh Zionis Israel dan jaringan antek-anteknya hingga hari ini.

    Parahnya, populisai 1,5 Milyar di dunia ini ternyata tidak mampu melawan musuh-musuh Islam dan Muslimin tersebut. Kenapa? Karena muslimin terpecah belah secara politik, mazhab, aliran pemahaman serta kotak-kotak social lainnya. maka musuh-musuh Islam begitu mudahnya menghancurkan muslimin satu demi satu di seluruh dunia. Muslimin laksana hidangan di atas meja yang siap disantap lahap musuh-musuh islam, kekuatannya tercerai berai bagai buih di lautan. Lantas seperti apa solusinya? Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan:

    1. Amalkan Islam secara Kaffah
    Wahai orang-orang yang berimana, masuklah ke dalam Islam secara Kaffah, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh ia musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Al-Baqarah: 108)

    Perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah satu paket amalan kehidupan yang lengkap dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Utuh satu paket, akidah, akhlaq, amalan-amalan syariah merupakan satu paket pembentukan karakter sesuai fitrah manusia. Islam adalah sebuah system kehidupan yang mencakup tata aturan hidup pribadi, keluarga hingga masyarakat. Dari zikir, shalat, hingga jual beli bahkan jihad mempertahankan akidah dan keselamatan umat, dari keseluruhan amalan-amalan tersebut Allah ajarkan untuk memelihara dinamika kehidupan sesuai fitrah manusia itu sendiri.

    Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya, ketika ia menyeru kamu, untuk menghidupkan kamu.”(QS. Al-Anfal: 24)

    Sungguh memprihatinkan ketika sebagian besar muslimin hanya merasa cukup dengan keislamannya dengan zikir dan sholat semata, sementara urusan muamalah, pergaulan, apalagi perjuangan membela yang lemah, amar ma’ruf nahi munkar dilupakan, jihad fii sabilillah tidak di kenal, apalagi menjadi bagian amalan hidup sehari-hari. Pantaslah jika sesama saudara semuslim ada yang terdholimi, terusir dari negerinya, kita tidak dapat membantu, hanya sanggup menyaksikan saja. Ini bukan Islam yang Kaffah! Rasulullah dan para sahabat beliau justru berhasil membanguna peradaban Islam yang rahmatan lil alamin karena mereka totalitas memenuhi syariah Islam yang kaffah. Tidak memilah-milih yang sesuai dengan hawa nafsunya semata.

    Dan tidaklah patut bagi mukmin dan mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu hokum bagi mereka, ada bagi mereka hak untuk memilih dalam urusan mereka…” (QS. Al-Ahzab: 36)

    2. Amalkan Islam secara berjama’ah
    Manusia adalah makhluk social, tidak mampu hidup sendiri. Naluri manusia mendorong untuk hidup bersama saling mengisi kebutuhan dan kekurangan masing-masing. Maka Islam datang mengajarkan kebiakan dan memerintahkan muslimin tidak hidup berpecah-belah, melainkan hidup dalam satu jama’ah (QS. Ali Imran: 103). Sebuah wadah bagi mereka yang ingin bersama-sama mengamalkan Islam secara kaffah, karena amalan-amalan Islam memang memerlukan dan mengharuskan sistem kebersamaan--bagai satu tubuh, kalbunyaanun yasyuddu ba’duhu ba’dhon. Islam mengajarkan saling nasihat menasihati, saling tolong menolong, saling menanggung, maka jelas Islam menolak sikap egois, parsial, berfirqoh-firqoh dalam menegakkan hidup dan kehidupan dalam Islam.

    Keterpurukan umat Islam sekali lagi karena terpecahnya muslimin dalam berbagai mazhab, aliran, ashobiyah hingga politik, tidak mau hidup berjama’ah, bersatu, terpimpin oleh seorang imam atau khalifah. Karena itu Allah berfirman dalam QS. Ash-Shof : 4, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan seperti bangunan yang tersusun kokoh.

    Karena terpecah belah, sehingga mudah diadudomba dan dihancurkan musuh, satu samalain saling mengkafirkan, melecehkan dan tidak menjaga kehormatan saudaranya semuslim, demikinalah Zionis Yahudi telah berperan penting melemahkan kekuatan muslimin. Dengan demikian kesatuan umat dalam Jama’ah Muslimin merupakan solusi teramalkannya pola hidup Islam, berjamaah sesuai tuntunan Allah dan Sunnah Rasulullah serta para khulafaur rasyidin almahdiyin.

    3. Tegakkan kepemimpinan umat Islam
    Kepemimpinan dalam kehidupan manusia merupakan keharusan yang tidak bisa dielakkan, bahkan masyarakat tradisional sekalipun memiliki ketua yang memimpin kehidupan mereka, guna mempertahankan kelompoknya dari serangan kelompok lain dan menjaga tata nilai yang telah disepakatinya. Masyarakat modern pun memerlukan dan mengangkat pemimpin-pemimpin politik mereka. Tentu disadari, tanpa pemimpin maka masyarakat akan kacau karena masing-masing bergerak atas kemauannya sendiri tanpa ketertiban. Maka Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui telah mewajibkan umat Islam mengangkat pemimpin dan mentaatinya selain Allah dan Rasul-Nya, yaitu Ulil Amri.

    Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian.” (QS. An-Nisa : 59)

    Ulil Amri diantara orang-orang beriman bukanlah jabatan politis melainkan sebagai penerus kepemimpinan Nabi yang memimpin umat Islam sedunia dalam beribadah kepada Allah. Mengajak umat dalam menegakkan syariah. Misi mulia yang hanya terwujud bagi orang-orang yang beriman yang ingin menegakkan syariah islam secara kaffah.

    Maka fitrah manusia akan terpelihara dan sisitem kehidupan yang rahmah akan tercapai jika muslimin mengamalkan Islam secara Kaffah, hidup berjama’ah dan terpimpin oleh seorang imam. Maka tegaknya khilafah alaa minhajin nubuwwah sebagai wadah kesatuan umat sedunia adalah kewajiban muslimin dimanapun berada (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Baqarah : 30). Maka janganlah kita menunda untuk menggapainya.

    (Ust. Agus Priono MS./khutbah Idul Fitri 1434H)

  • Kamis, 08 Agustus 2013

  • Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H

    Seluruh Staff LBIPI dan Redaksi Ar-Risalah,
    mengucapkan 

    " Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. " 


    " Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menerima semua Amal Ibadah Ramadhan Kita "


  • Senin, 05 Agustus 2013

  • Teks Khutbah Idul Fitri 1434 H.


    Bagi Para Pembaca yang mencari referensi Teks Khutbah Idul Fitri 1434 H, berikut ini kami berikan salah satunya. 

    Teks Khutbah Idul Fitri Versi Majelis Da'wah Pusat Jamaah Muslimin (Hizbullah) yang disusun oleh Ust. KH. Abul Hidayat Saerodji dan Ust. Ahmad Soleh

    Bisa dilihat di link berikut 

    Semoga bermanfaat, 
    Jazakumullah Khairan.

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism