Kamis, 25 Desember 2014

  • Bai’at

    Ilustrasi Bai'at
    Bai’at secara bahasa berasal dari kata baaya’a-mubaaya’ah yang bermakna saling mengikat janji. Disebut mubaya’ah karena diserupakan seperti dua orang yang saling menukar harta, di mana salah satunya menjual hartanya kepada yang lain. ( Lisanul ‘Arab 8/26)

    Bai’at secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya transaksi jual beli, atau berjabat tangan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. (An-Nihayah (I/174).

    Di zaman Rasulullah Saw, bai’at diberlakukan terhadap mereka yang hendak masuk Islam serta bagi yang berkeinginan menunaikan amal-amal ibadah (baik ibadah mahdhoh maupun muamalah) . Di antara bai’at yang ada waktu itu adalah bai’at untuk taat dan patuh kepada Rasulullah Saw.[ Sa’id Hawa, Tarbiyyatuna al-Ruhiyyah.] Ini disebut bai’at Muamalah.

    Adapun Bai’at Imarah yaitu berjanji untuk mengangkat seseorang sebagai khalifah seraya mentaatinya menurut kadar kemampuan selama dalam kebenaran, (sebagaimana pada masa khulafaur rasyidin al mahdiyyin).

    Di dalam Al-Qur’an, makna Bai’at ini dijelaskan, pertama, bermakna jual beli. “…Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (QS At Taubah ayat 111) Kedua, Bermakna Janji Setia. (QS. al-Fath (48) : 10)

    Tujuan Bai’at

    Dari Sunnah yang telah dijalankan oleh Rasul dan para Shahabat, Bai’ah memiliki beberapa tujuan bagi yang mengikrarkannya. Pertama, sebagai penetapan diri untuk siap menerima dan mengamalkan Syari’at Allah swt, siap diatur dengan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah.

    Kedua, ikrar untuk siap membela Agama Allah dengan diri dan harta, ketiga, memperkuat dan memperteguh ikatan, melalui sebuah janji ketaatan dalam rangka mewujudkan ukhuwah Islamiyyah untuk memenangkan Agama Allah dengan terpimpin oleh seorang khalifah sebagai ulil amri minkum.

    Kenapa Harus Berbai’at?

    Bai’at merupakan perkara yang disyariatkan berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab bai’at merupakan amalan yang telah dilaksanakan oleh para sahabat dan sebagai bentuk ketaatan seseorang terhadap Ulil Amri Minkum. Di antara dalil-dalilnya;

    1. Bai’at sebagai penyelamat dari kematian jahiliyyah.

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah (argumen). Dan barang siapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at, dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”[HR Muslim, no. 1851. Ahmad dalam al-Musnad, 2/133. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, no. 91, dan lainnya; dari 'Abdullah bin 'Umar

    Adapun makna “dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”, dijelaskan oleh para ulama sebagaimana An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yaitu di atas sifat kematian orang-orang jahiliyah, yang mereka dalam keadaan kacau, tidak memiliki imam”[ Syarah Muslim, 12/238]

    2. Bai’at mendatangkan pahala, keridhaan, ketenangan dan kemenangan.

    “Sesungguhnya orang-orang yang berbai’at kepadamu sesungguhnya mereka berbaiat kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang mengingkari bai’atnya niscaya akibat pelanggarannya akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa yang menepati bai’atnya, maka Allah akan memberikan pahala yang besar.” (Q.S. Al Fath : 10). (QS. At-Tau bah : 111).

    3. Bai’at merupakan pengikat keislaman

    “Barangsiapa mati dan dilehernya tidak ada baiat, maka sungguh dia telah melepas ikatan Islam dari lehernya" [HR. Muslim dari Ibnu Umar]

    4. Mendapat ampunan Allah SWT.

    “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak anaknya, tidak akan berdusta yang mereka ada adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dengan urusan yang baik, maka terimalah bai’at mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al-Mumtahanah:12)

    Pengharaman Membatalkan Bai’at

    Rasulullah SAW. bersabda, "Mendengar dan taat (kepada pimpinan) dalam masalah yang disenangi atau tidak, merupakan kewajiban seorang muslim, selama tidak disuruh melakukan perbuatan maksiat.... [Mutafaqun ‘alaih].

    “Barangsiapa melepaskan ketaatannya (kepada ulil amri) maka dia bertemu Allah dalam keadaan tak memiliki hujjah dan barangsiapa yang mati dalam keadaan tak berbai’at maka dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851)

    Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya taat kepada imam yang telah disepakati untuk dibai’at, serta diharamkan melakukan pemberontakan terhadapnya, meskipun dia berbuat zalim dalam menetapkan hukum. Dan bai’at tidak tercabut karena adanya kefasikan yang diperbuatnya.” (Fathul Bari, 1/72)

    Sejarah Bai’at

    Masalah bai’at ini sudah dikenal sejak sebelum Islam. Dahulu, anggota-anggota setiap kabilah memberikan bai’atnya kepada pimpinan kabilah mereka, dan mereka mengikuti perintah dan larangan pimpinan.

    Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla berbai’at kepada Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, dalam keadaan suka maupun tidak. Juga berbai’at untuk melindungi beliau.

    Setelah Rasulullah saw wafat pembai’atan terjadi pada masa khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin untuk mendengar dan taat kepada para khalifah, setelah masa khulafaur rasyidin al mahdiyyin berlalu, maka sebagian kaum muslimin yang berjuang untuk menegakkan kembali sistem kekhilafahan yang mengikuti sunnah Rasulullah saw dan khulafaur rasyidin al mahdiyyin mereka membai’at para khalifah pada masanya. Diantara peristiwa pembai’atan tersebut adalah:

    1). Pembai’atan Abu Bakar rd.(11-13H/632-634 M)

    Rasulullah SAW wafat, Beliau tidak berwasiat apa-apa tentang siapa yang akan menggantikannya sebagai khalifah. Karena beliau menyerahkan semuanya kepada musyawarah umat Islam. Berkumpulah kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah untuk bermusyawarah siapa yang akan dibai’at menjadi khalifah. Sejarah mencatat enam orang Makkah yang memasuki pertemuan kaum Anshar di Saqifah pada sore hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah, pada saat Rasul belum lagi dimakamkan. Mereka itu ialah Abu Bakar, Umar dan Abu 'Ubaidah, serta tiga orang lagi, yaitu Mughirah bin Syu'bah, Abdurrahman bin Auf dan Salim maula Abu Hudzaifah. Dari hasil musyawarah itu dibai’atlah Abu Bakar sebagai Khalifah, kemudian setelah itu dengan serta merta kaum muslimin membai’at Abu BakarAsh Shiddiq rd.

    2). Pembai’atan Umar bin Khattab rd.(13-23 H/634-644 M)

    Tatkala Abu Bakar merasa bahwa kematiannya telah dekat dan sakitnya semakin parah. Dia ingin memberikan kekhalifahan kepada seseorang agar diharapkan tidak terjadi konflik. Maka jatuhlah pilihannya kepada Umar bin Khatab ra atas persetujuan serta pertimbangan dari hasil musyawarah shabat-sahabat senior dan mereka pun mendukungnya. Beberapa hari setelah itu Abu Bakar meninggal, ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 13 H/634 M.

    Pembai’atan Umar bin Khattab sebagai Khalifah merupakan realisasi dari wasiat Abu Bakar. Umar bin Khattab menjadi Khalifah pada tahun ke 13 H, tepatnya menurut az-Zuhri pada hari Selasa, 22 Jumadil Akhir 13 H. Umar adalah khalifah yang menamakan dirinya “Amirul Mukminin”.

    3).Pembai’atan Utsman bin ‘Affan rd.(23-35 H/644-656 M)

    Ketika Umar merasakan ajalnya sudah dekat, ia menunjuk 6 orang sahabat pilhan untuk menggantikannya yaitu mereka yang menjadi dewan syura di zamannya yaitu, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf dan Thalha bin Ubaidillah. Dan apabila suara yang di pilih seimbang semua, maka haruslah di pilih dan disetujui oleh Abdullah bin Ummar.

    Seperti halnya Umar, Utsman naik menjadi khalifah melalui proses pemilihan, bedanya Umar dipilih atas petunjuk langsung sedangkan Utsman diangkat melalui badan syuro yang dibentuk oleh Umar ketika dia sakit keras menjelang akhir hayatnya. Dan terpilihlah Utsman bin Affan menjadi khalifah setelah Umar bin Khattab pada penghujung bulan Dzulhijjah 23 H dan dikukuhkan pada awal Muharram 24 H/644 M.

    4). Pembai’atan Ali bin Abi Thalib rd. (35-40 H/656-661 M)

    Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin memilih Ali untuk menjadi Khalifah pemimpin mereka. Para sahabat mendesaknya agar bisa keluar dari kemelut yang menimpa mereka. Dan akhirnya dia mau menerima tampuk kekhalifahan sedangkan dia tidak bernafsu untuk memegangnya.

    5). Pembai’atan Wali Al Fatah

    Menjelang runtuhnya Turki Utsmani dan sesudahnya hingga tahun 1952 muslimin di berbagai dunia termasuk di Indonesia mengadakan musyawarah/konferensi untuk mengembalikan sistem khilafah. Akan tetapi semua usaha ini belum berhasil mewujudkan khilafah.

    Ketidak berhasilan ini lebih banyak disebabkan karena faktor nasionalisme masing–masing pihak yang dibawa ke majelis musyawarah. Konferensi Khilafah di berbagai negara, pra dan pasca keruntuhan Utsmaniyyah (1924):.All India Khilafat Conference, 1919 M di India, Konferensi Islam International, 1921 M. di Karachi Pakistan, Dewan Khilafah, 1924 di Mekkah (dibentuk Syarif Husein Amir)—tidak berlanjut, dan beberapa konferensi lainnya, terakhir Konferensi Tingkat Tinggi Islam, Pebruari 1974 di Lahore Pakistan.

    Setelah mengalami perjalanan yang panjang, sampai dengan tahun 1953 muncullah tiga pertanyaan dalam pemikiran Dr. Syaikh Wali Al–Fatah : Mengapa kaum muslimin senantiasa gagal dalam memperjuangkan Islam?, Mungkinkah Islam dapat ditegakkan dengan cara di luar Islam?, Mustahil dalam Islam tidak ada sistem untuk memperjuangkan Islam?

    Dari tiga pertanyaan itulah Wali Al-Fatah terus-menerus melakukan kajian bersama para ulama saat itu, untuk mencari solusi permasalahan tersebut. Setelah berkali-kali diadakan musyawarah dengan para ulama, maka dibai’atlah Wali Al Fatah oleh beberapa orang ulama dan tokoh saat itu, kemudian pada hari Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H/20 Agustus 1953 diumumkan pembai’atan tersebut di gedung Aducstaat (Bapenas sekarang) di Jakarta.

    Diantara para ulama yang membai’at awal Wali Al-Fatah generasi awal adalah : 1.Kyai Muhammad Maksum (Khadimus Sunnah, ahli hadits - Yogyakarta- ). 2.Ust. Sadaman (Jakarta). 3.KH. Sulaeman Masulili (Sulawesi). 4.Ust. Hasyim Siregar (Tapanuli). 5.Datuk Ilyas Mujaindo, dll.

    Kemudian disiarkan melalui media cetak: Harian Keng Po, Pedoman dan Daulat Rakyat, serta media elektronik : melalui Radio Australia dalam bahasa Inggris 22 Agustus 1953 oleh Zubeir Hadid dan di RRI Pusat (1956) oleh Ust. Abdullah bin Nuh dalam bahasa Arab. Inilah awal ditetapinya kembali Jama’ah Muslimin dan Imaamnya. Wali Al-Fatah bersama usahanya untuk kembali kepada kesatuan umat ini mendapat tanggapan positif dan do’a serta gelar Syaikh kepada Wali Al-Fatah, dari Raja Feisal –Saudi Arabia. Dan selama sosialisasi itu pula tidak ditemuka ada khalifah yang di bai’at lebih dahulu, Karena tidak boleh ada dua khalifah dalam satu masa “Apabila dibai’at dua khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya. (yaitu yang terakhir).” (HR. Muslim)

    6). Pembai’atan Muhyiddin hamidy

    Wali Al-Fattaah wafat pada19 Nopember 1976, Maka sebelum jenazahnya dikuburkan, sesuai dengan sunnah, pada hari Sabtu 28 Dzulqa’dah 1396H / 20 November 1976M dibai’atlah sebagai penggantinya, hamba Allah Muhyiddin Hamidy menjadi Imaamul Muslimin yang kedua dalam Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Alhamdulillah dari waktu ke waktu kaum muslimin makin menyadari akan pentingnya kesatuan dan persatuan umat, sehingga secara bertahap muslimin di berbagai daerah dari dalam dan luar negeri bersatu dalam satu wadah yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya, yakni Jama’ah Muslimin dan Imaamnya.

    7). Pembai’atan Yakhsyallah Mansur

    Imaamul Muslimin Syaikh Muhyiddin Hamidy (81) Wafat pada Jumat 18 Shafar 1436 H. bertepatan 12 Desember 2014 M di kediaman almarhum Ponpes Al-Fatah Al-Muhajirun, Natar, Lampung Selatan, Lampung.

    Sebagaimana sunnah, sebelum jenazah imamul Muslimin Muhyiddin Hamidy dimakamkan, melalui musyawarah Dewan Imamah Jamaah Muslimin (Hizbullah) dibaiatlah hari itu juga Syeikh Yakhsyallah Mansur sebagai imaamul muslimin selanjutnya pengganti khalifah terdahulu.

    Orang yang pertama membai’at imam adalah KH. Abul Hidayat Saerodjie yang kemudian diikuti oleh 28 musyawirin yang hadir dalam musyawarah dewan imamah pengangkatan Imamul muslimin yang baru. Selanjutnya selama beberapa pekan ini ribuan umat Islam menyerahkan bai’atnya untuk memperbaharui bai’at yang terdahulu. Dan sudah menjadi sunnah, setiap pergantian khalifah, seluruh kaum muslimin wajib memperbaharui bai’atnya kepada khalifah selanjutnya.

    “Dari Az-Zuhri, telah menghabarkan kepada kami Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwasanya ia mendengar khutbahnya Umar yang akhir ketika ia duduk di atas mimbar. Waktu itu pagi hari ketika wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kata Umar, “Sesungguhnya Abu Bakar telah diangkat menjadi pemimpinmu, maka berdirilah kamu semua dan berbai’atlah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari IV/248)

    Rasullullah menegaskan, “Dengarkanlah dan taatilah sekalipun yang memimpin kamu seorang budak Habsyi....” (HR.Al-Bukhari dan Muslim)

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism