Kamis, 10 November 2016

  • Mengikuti Millah Ibrahim AS

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (Qs. al-Nisaa’: 125)

    Ayat diatas menggunakan uslub (gaya bahasa) “istifham inkari” (pertanyaan retoris). Allah menyatakan, siapakah yang paling baik agamanya, artinya tidak ada lagi orang yang lebih baik dalam beragama selain orang yang memiliki sikap yang disebut dalam ayat tadi, yaitu:

    Menyerahkan wajahnya kepada Allah, Selalu mengerjakan kebaikan, dan Mengikuti agama Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam.

    Dalam ayat di atas, ada dua kata yang berarti agama yaitu dien dan millah. Ar-Raghib al Asfihani dalam al-Mufradat fi Gharibi al-Qur’an menerangkan persamaan dan perbedaan dua kata tersebut, beliau berkata, “Al-Millah itu sama dengan ad-Dien yaitu nama untuk segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya melalui lisan para nabi agar mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah.”

    Adapun perbedaannya, kata al-Millah dinisbatkan kepada nabi tertentu atau kepada seseorang pembawa syariat, seperti pada ayat: “Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus.” (Qs. Ali ‘Imran: 95), dan ayat “dan mengikut agama nenek moyangku.” (Qs. Yusuf: 38)

    Hampir tidak ada kata millah yang dinisbatkan kepada Allah dan kepada umat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sedangkan kata ad-Dien biasanya dinisbatkan kepada Allah atau kepada seseorang seperti Dienullah dan Dinu Zaid. Disebutkan pula bahwa kata al-millah digunakan untuk segala sesuatu yang disyariatkan Allah sedang ad-Dien digunakan untuk yang melaksanakan agama karena arti ad-Dien adalah taat sedang al-millah arti asalnya adalah mendiktekan atau membacakan.

    Menurut para ahli agama, ditinjau dari sumbernya, maka agama dibedakan menjadi dua bagian:

    Pertama, agama samawi (dien as-samawy, revealed religion, agama wahyu, agama profetis, agama langit), yaitu Islam, Yahudi dan Nasrani.

    Kedua, agama budaya (dien at-thabii, dien al-ardli, non revealed religion, natural religion, agama filsafat, agama ra’yu, agama bumi), misalnya: Hindu, Budha, dan Majusi.

    Dalam pandangan Islam, agama samawi hanya satu yaitu Islam. Sebagaimana firman-Nya:

    “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali ‘Imran: 19), dan

    “Siapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali ‘Imran: 85)

    Adapun agama Yahudi dan agama Nasrani dalam bentuknya yang asli adalah Islam. Bahkan menurut al-Quran, semua nabi yang diutus oleh Allah seluruhnya beragama Islam.

    Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim AS.: “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Qs. Ali ‘Imran: 67)

    Nabi Nuh ‘Alaihi Salam berkata:“Dan aku (Nuh ‘alaihi salam) diperintahkan agar aku termasuk orang muslim (berserah diri).” (Qs. Yunus: 72)

    Jadi yang dimaksud orang yang paling baik agamanya adalah orang yang paling baik Islamnya. Menurut ayat di atas, orang yang paling baik Islamnya adalah:

    1. Orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah
    Artinya menyerah bulat dengan penuh ridla kepada Allah dan melepaskan diri dari ikatan lain selain Allah. Penggunaan kata wajah di sini menunjukkan kepasrahan total, lahir dan batin kepada Allah. Wajah adalah gambaran hati. Pada wajah tergambar hati manusia. Kalau seluruh wajah telah dipasrahkan kepada Allah, artinya tidak lagi menyerahkan segala sesuatu kepada selain Allah. Ibn Katsir menjelaskan, “menyerahkan wajah kepada Allah artinya beramal secara ikhlas hanya untuk Allah.”

    Ikhlas artinya bersih dan tidak terkena campuran apapun. Perbuatan yang dilakukan dengan kebersihan dan kemurnian dinamakan perbuatan yang ikhlash. Menurut ‘urf (kebiasaan) syara’, kata ikhlash dikhususkan bagi memurnikan tujuan dalam beribadah kepada Allah dari segala campuran yang mengotorinya atau membuat cela dan noda. Jadi apabila tujuan ibadah itu sudah dicampuri oleh pengaruh lain seperti riya’, sombong, mengharap pujian, dan lain-lain maka perbuatan semacam ini sudah keluar dari yang dinamakan ikhlash. Sebagai contoh antara lain:

    Menuntut ilmu untuk tujuan dunia, Menjenguk orang sakit supaya kalau dia sakit dijenguk oleh orang yang dijenguk, Memberikan sumbangan untuk mendapat pujian.

    2. Selalu mengerjakan kebaikan
    Dalam sebuah hadits yang panjang yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan pengerikan ihsan, sebagai berikut: “Ihsan adalah engkau memperibadati Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Maka meskipun engkau tidak melihat-Nya namun Dia tetap melihat engkau.”

    Orang yang memiliki sikap seperti ini, dalam kehidupan keberagamaannya sekarang sangat ditentukan oleh ibadahnya. Ibadah yang dilandasi dengan seakan-akan melihat Allah atau merasa dilihat Allah dapat melahirkan sikap yang disebut oleh ar-Raghib al-Ashfihani ketika menjelaskan pengertian ihsan, yaitu:

    “Memberikan lebih banyak yang menjadi kewajibannya dan mengambil lebih sedikit dari apa yang menjadi haknya.”

    3. Mengikuti agama Nabi Ibrahim ‘alaihi salam yang lurus
    Lurus di sini adalah arti bahasa kata hanif. Sedangkan secara istilah, hanif adalah sikap lahir dan batin yang berpihak kepada kebenaran yang datang dari Allah melalui ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihima.

    Ayat ini ditutup dengan pernyataan Allah tentang ketinggian derajat Nabi Ibrahim ‘alaihi salam bahwa Allah telah mengangkatnya sebagai khalil-Nya (kesayangan-Nya). Ibn Katsir menyebutkan ada empat nabi yang mendapat gelar khusus yang dinisbatkan kepada Allah, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihi salam sebagai Khalilullah, Nabi Musa ‘alaihi salam sebagai Kalimullah, Nabi Isa ‘alaihi salam sebagai Ruhullah, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Habibullah. (HR. Ibn Mardawaih).

    Tentang sebab Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam diangkat sebagai Khalilullah, diriwayatkan oleh al-Hakim, sebagai berikut:

    “Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam adalah seorang yang senang menjamu tamu. Pada suatu hari beliau mencari orang untuk menjadi tamunya tetapi tidak mendapatkannya. Kemudian beliau kembali ke rumahnya dan beliau mendapati ada seorang laki-laki yang sudah berdiri di dalam rumahnya. Beliau berkata, “Hai Abdullah, apa yang menyebabkan engkau masuk rumahku tanpa izinku?” Orang tersebut berkata, “Saya memasukinya dengan izin pemiliknya. Beliau berkata, “Siapakah anda?” Dia menjawab, “Saya adalah malakul maut. Allah mengutusku menemui salah seorang hamba-Nya untuk memberi kabar gembira kepadanya bahwa Allah telah menjadikannya sebagai kesayangan-Nya.” Beliau berkata, “Siapakah dia, demi Allah, jika engkau memberitahukan kepadaku orang tersebut dan dia berada di ujung negeri pasti aku akan mendatanginya dan menjadikannya sebagai tetangga sehingga kematian memisahkan kami.”

    Dia berkata, “Hamba tersebut adalah anda.” Beliau berkata, “Saya?” Dia berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Sebab apa Allah menjadikan aku sebagai kesayangannya?” Dia berkata, “Sebab engkau senang memberi kepada manusia dan tidak minta kepada mereka.” (HR. Ibn Abi Hatim).

    Diantara millah atau ajaran Nabi Ibrahim yang ditinggalkan untuk umat Islam pengikut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah syariat berkurban. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

    Syariat kurban ini disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: “Maka shalatlah untuk Tuhan-mu dan sembelihlah kurban.” (Qs. al-Kautsar: 2)

    Wallahu a’lam bishawab.
    Nasehat Imaamul Muslimin

    Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism