Kamis, 10 Desember 2015

  • Memahami Makna Jihad Menurut Al-Qur'an dan Sunnah


    Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: 
    فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
    Artinya : “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqan [25] : 52)

    Kata jihad berasal dari kata “jahdun” yang berarti usaha, atau “juhdun” yang berarti kekuatan.

    Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, secara bahasa jihad berarti mencurahkan segenap kekuatan dengan rasa takut untuk membela Allah terhadap cercaan orang yang mencerca dan permusuhan orang yang memusuhi.

    Menurut Ibnu Taimiyah, jihad itu hakekatnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang diridhai Allah berupa amal shalih, keimanan dan menolak sesuatu yang dimurkai Allah berupa kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.

    Kamil Salamah menyimpulkan bahwa jihad lebih luas cakupannya dari pada aktivitas perang. Ia meliputi pengertian perang, membelanjakan harta, segala upaya dalam rangka mendukung agama Allah, berjuang melawan hawa nafsu dan menghadapi setan.

    Kata jihad dalam bentuk fiil maupun isim disebut 41 kali dalam Al-Qur’an, sebagian tidak berhubungan dengan perang dan sebagian berhubungan dengan perang.

    Ayat yang sedang kita renungkan tersebut adalah sebagian ayat jihad yang tidak berhubungan dengan perang.

    Ibnu Qayim ketika menjelaskan Q.S. Al-Furqan [25] ayat 52, menyatakan, “Inilah surah Makiyah dan jihad di dalamnya adalah jihad tabligh (menyampaikan keterangan) dan jihad hujjah (menyampaikan bukti kebenaran Islam).

    Jelaslah bahwa arti jihad di sini bukan berarti perang, karena perang baru diizinkan setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hijrah ke Madinah.

    Pada ayat ini Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar tidak tunduk kepada orang kafir dan terus berjihad dengan bersenjatakan Al-Qur’an dengan jihad yang besar, maksudnya jihad yang tidak mengenal lelah.

    Berjihad dengan Al-Qur’an berarti menegakkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan, dengan senjata yang sangat kuat. Edward Gibbon (1737-1794) seorang orientalis Inggris berkata, “Al-Qur’an adalah sebuah kitab agama, kitab kemajuan keduniaan, persaudaraan dan perundangan. Al-Qur’an mengandung isi yang lengkap meliputi urusan ibadah, akidah, akhlak hingga pekerjaan sehari-hari dan dalam urusan rohani maupun jasmani.

    Jihad yang bukan bermakna perang juga terdapat di ayat lain dalam Al-Qur’an, di antaranya: 
    وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
    Artinya : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut [29] ayat 69)

    Al-Maraghi ketika menjelaskan ayat ini menyatakan, “Jihad pada ayat ini bukan berarti memerangi orang kafir saja, tetapi jihad berarti menolong agama, menolak ahli bathil, melawan orang dzalim dan yang besar adalah amar makruf nahi mungkar dan yang paling besar adalah memaksa diri sendiri untuk mentaati Allah.

    Pada ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: 
    وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ الله لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
    Artinya : “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.” (QS. Al-Ankabuut [29] ayat 6)

    Kata jihad pada ayat ini mengandung pengertian kerja, mengeluarkan seluruh kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

    Oleh karena itu, salah besar sebagian kaum orientalis pembenci Islam yang mengatakan bahwa Islam itu disiarkan dengan pedang, sebagaimana yang dikatakan Mac Donald D.B. (1863-1942) bahwa penyebaran Islam dengan pedang adalah kewajiban kolektif bagi semua Muslimin.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengajarkan bahwa “jihad” itu tidak hanya berperang melawan orang kafir atau musyrik. Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dengan rijal shahih dari Kaab bin Ujrah berkata: Seorang laki-laki lewat di hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Para sahabat melihat kekuatan dan ketangkasan orang itu, lalu mereka berkata, “Alangkah baiknya kalau orang ini berperang di jalan Allah.

    Maka beliau bersabda, “Jika ia bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil maka dia di jalan Allah, dan jika dia bekerja untuk kedua orang tuanya yang telah lanjut usianya maka dia di jalan Allah, dan jika dia bekerja untuk dirinya agar terpelihara kehormatannya maka dia di jalan Allah, dan jika dia keluar bekerja karena pamer dan bermegah diri maka dia di jalan sesat.”

    Jadi jihad tidak selamanya tepat jika diartikan sebatas perang walaupun jihad dapat diartikan perang. Sebagaimana firman Allah:
    انفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ لله ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
    Artinya : “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah [9] ayat 41)

    Kata jihad pada ayat ini artinya adalah perang. Hanya, jihad yang berarti perang itu bukan untuk memaksa orang masuk Islam dan bukan pula untuk melebarkan daerah kekuasaan Islam, akan tetapi semata-mata mempertahankan diri dan melindungi umat Islam dari serangan musuh. Sebagaimana firman Allah:
    أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ الله عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
    39. “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, 
    الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا الله ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ الله النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ الله كَثِيرًا ۗ وَلَيَنصُرَنَّ الله مَن يَنصُرُهُ ۗ إِنَّ الله لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
    40. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah” Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. 
    الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ ۗ وَالله عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
    41. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj [22] ayat 39-41).

    Dalam rangkaian ayat ini –Wallahu A’lam– Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang alasan kaum Muslimin diizinkan berperang.

    Pertama: Lantaran mereka teraniaya, diserang lebih dahulu dan diusir dari tempat tinggalnya, meninggalkan harta bendanya semata-mata karena agama dan keyakinannya.

    Kedua: Menjaga semua tempat ibadah yang di dalamnya disebut nama Allah, seperti biara, gereja orang Kristen, rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid. Dengan ini jelas sekali bahwa dalam Islam kebebasan beragama yang merupakan hak pribadi dijamin dan dilindungi. Di samping itu umat Islam berkewajiban menjaga tempat-tempat ibadah agama lain dari segala ancaman dan gangguan.

    Ketiga: Mewujudkan keamanan, ketentraman, ketertiban dan kemantapan beragama sehingga orang yang beribadah tidak terganggu. Bagi umat Islam, mereka dapat menunaikan zakat yang dapat memperbaiki masalah sosial dan ekonomi.

    Kemudian mereka dapat memerintahkan kebaikan yang berguna bagi seluruh umat manusia dan melarang kemungkaran yang mencakup segala hal yang dapat mendatangkan kejahatan dan bahaya bagi dirinya dan orang lain.

    TINGKATAN JIHAD
    Dalam syariat Islam, jihad itu sendiri ada empat tingkatan yang harus dilakukan secara berurutan. Tingkatan kedua tidak boleh dilakukan sebelum tingkatan pertama dilakukan dan seterusnya. Adapun keempat tingkatan jihad tersebut adalah:

    I. Jihad melawan hawa nafsu
    Jihad yang pertama ini wajib dilakukan oleh setiap Muslim, sebagaimana Firman Allah: 
    وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ الله لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
    Artinya : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut [29] ayat 69)

    Ibnu Athiyyah menjelaskan bahwa ayat ini turun di Makkah. Jadi ayat ini diturunkan sebelum turunya perintah melawan orang kafir yang memerangi umat Islam. Oleh sebab itu, ayat ini mengandung pengecualian bahwa untuk berjihad dalam bentuk berperang membela agama Allah dan menuntut kesuciannya, orang harus lebih dahulu berperang terhadap dirinya sendiri, yaitu melawan hawa nafsunya untuk berbakti kepada Allah.

    Jihad (berperang) terhadap diri sendiri itu terdiri dari empat (4) tingkatan. Pertama, rajin mempelajari agama yang benar berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, berusaha sekuat tenaga menjalankan kebenaran yang sudah dipelajarinya. Ketiga, mendakwahkan kebenaran kepada orang yang belum mengetahuinya. Dan keempat, dalam mendakwahkan kebenaran itu harus mampu menahan berbagai penderitaan dan harus berani menghadapi tantangan yang dilakukan oleh orang yang tidak mau menerima kebenaran itu.

    II. Jihad melawan setan
    Allah berfirman: 
    إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
    Artinya : “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir [35] ayat 6)

    Secara bahasa, setan dalam bahasa Ibrani “ha-satan”, berarti “sang penentang”, sedangkan dalam bahasa Arab “syaithan” berarti “sesat atau jauh”.

    Semua makhluk Allah yang tidak shalih, yang menggoda dan mengajak kepada kemaksiatan, dinamai setan, baik dari jenis jin maupun manusia.

    Pada ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa setan adalah musuh umat Islam dan Allah memerintahkan agar umat Islam memusuhinya, maka wajiblah umat Islam memeranginya.

    Jihad melawan setan itu ada dua tingkatan: pertama, memerangi segala tipu muslihat yang menimbulkan keragu-raguan dalam kepercayaan (iman). Kedua, memerangi segala godaan yang mendorong manusia melanggar ketentuan Allah.

    III. Jihad melawan kezhaliman, kejahatan dan bid’ah
    Jihad tingkatan ketiga ini lebih ditekankan kepada intern umat Islam. Dalam sebuah hadits disebutkan:
    أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
    Artinya : “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).\

    Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim disebutkan bahwa apabila seorang Muslim melihat seseorang mengatakan dan mengerjakan yang tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, maka dia wajib berjihad dengan tangannya, jika tidak mampu dia wajib berjihad dengan lisannya, jika tidak mampu dia wajib berjihad dengan hatinya. Orang yang berjihad dengan hati ini adalah termasuk orang yang beriman. Jika dengan hatinya dia tidak mampu, maka sama saja dia tidak memiliki iman sama sekali.

    IV. Jihad terhadap orang kafir
    Jihad terhadap orang kafir ini wajib dikerjakan setelah umat Islam mengerjakan ketiga jihad di atas dengan sempurna.

    Jihad terhadap orang kafir tidak mesti dilakukan dengan memerangi mereka secara fisik, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

    Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.” (Shahih: HR. Ahmad (III/124), an-Nasa-i (VI/7), dan al-Hakim (II/81), dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu)

    Memerangi orang kafir tidak diperbolehkan sebelum dilakukan dakwah (mengajak) mereka untuk mengikuti ajaran Islam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah engkau perangi suatu kaum sampai engkau mendakwahkan mereka (untuk masuk ke dalam Islam).” (HR. Ahmad. Lihat Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah no. 2641).

    Disebutkan juga dalam sebuah hadits: “Tidaklah sekali-kali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerangi mereka sehingga beliau berdakwah kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim)

    Oleh karena itu, sangat tepat apa yang dikatakan oleh Syekh Thanthawy Al-Jauhari, “Orang-orang yang kurang mengerti menganggap bahwa jihad itu tidak lain kecuali memerangi orang kafir. Sekali-kali tidak! Para ulama yang benar-benar memahami agama telah menetapkan, jihad itu tidak terbatas hanya memerangi musuh, tetapi mengandung arti dan tujuan yang sangat luas. Memajukan pertukangan, kerajian, pertanian, membangun negeri, membina akhlak dan meninggikan martabat umat, itu semuanya termasuk jihad yang tidak kurang pentingnya dan mamfaatnya dibanding orang yang mengangkat senjata melawan musuh.”

    Wallahu a’lam bishawab.

    Nasihat Imamul Muslimin Yakhsyallah Mansur























































  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism