Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Rabu, 22 Januari 2014

  • Bencana dan Ulah Manusia

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya:  "Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan, saudara mereka Syu`aib, maka ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah olehmu Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di muka bumi berbuat kerusakan.
    Ilustrasi Bencana Banjir

    Maka mereka mendustakan Syu`aib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka." (QS. Al-'Ankabut [29] : 36-37).

    Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan, melalui Ayat ini, Allah Ta’ala mengabarkan tentang Nabi dan Rasul-Nya yaitu Syu’aib Alaihissalam, bahwa ia telah memperingatkan kaumnya, para penduduk Madyan. Nabi Syu’aib memerintahkan kaumnya agar beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, juga agar mereka takut akan adzab, siksaan dan hukuman Allah pada hari Kiamat. Ia berseru, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir,” [36] maksudnya, takutlah kepada hari Akhirat. Ini serupa dengan firman Allah Ta’ala,

    “…(Yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian…”(QS. Al-Mumtahanah: 6)

    Lalu ia mencegah mereka dari berbuat kerusakan di muka bumi, yaitu, berjalan di muka bumi dengan berbuat jahat kepada penghuninya, mereka telah mengurangi takaran dan timbangan, juga merampok orang-orang yang mengadakan perjalanan, ini disertai dengan pengingkaran mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Maka Allah membinasakan mereka dengan mendatangkan gempa dahsyat yang mengguncang negeri mereka, suara keras yang mengeluarkan jantung-jantung dari pangkal tenggorokan, dan adzab pada hari mereka dinaungi awan yang mencabut ruh-ruh dari tempatnya, sesungguhnya adzab itu adalah adzab hari yang besar.

    Dan firman Allah Ta’ala, “Lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka,” [37] Qatadah mengatakan, ”Maksudnya menjadi mayat-mayat.” Sedangkan yang lainnya mengatakan, ”Maksudnya saling bergelimpangan satu sama lain.”

    Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia jika sudah berpaling dari syariat yang dibawa para Nabi dengan melakukan kedurhakaan, tidak lagi menyembah Allah atau telah menjadikan sekutu-sekutu (musyrik) terhadap Allah, dengan mengadakan kebaktian dan memuja selain Allah, kemudian melakukan kedzaliman dan kerusakan di muka bumi, pencemaran alam, moralitas dan aklaq yang rusak serta tidak mengindahkan norma-norma syariat Islam, maka Allah menurunkan berbagai macam bencana. Banjir bandang, gunung meletus tanah longsor dan berbagai bencana yang kini tengah menimpa negeri Indonesia merupakan teguran keras dari Allah SWT sekaligus salah satu bukti kebenaran firman Allah tersebut.

    Di ayat lain Allah berfirman:

    "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-A'raf (7) : 96)

    Hendaknya kita semua introspeksi diri, negeri yang kita cintai ini bertubi-tubi ditimpa berbagai musibah, musim panasnya menyebabkan kekeringan dan musim hujannya membuat banjir di mana-mana seperti yang terjadi kini.

    Mungkin ini karena ulah MANUSIA, karena kita kurang bersyukur dan mulai bergeser pada pola-pola pemikiran sekuler, liberal dan materialistis yang mengabaikan aqidah dan norma-norma syari'at Agama.

    Hal ini pula ditandai oleh berkembangnya berbagai macam bentuk kemusyrikan, baik kemusyrikan lama maupun neopaganisme yang memberhalakan materi dan pemikiran. Berhala modern ada dimana-mana dan setiap waktu, (acara tv yang tayang pada waktu-waktu sholat) telah melalaikan kita.

    Dorongan hidup didominasi oleh naluri biologis dan menepiskan hati nurani, berkiblat pada falsafah hedonisme, fokus dan tujuan hidup hanya pada kesenangan sesaat, muncul berbagai bentuk kemaksiyatan, korupsi, kolusi, penindasan dan kedurhakaan. Kebohongan seolah-olah menjadi suatu keharusan dalam memenangkan kompetisi hidup yang nampak jor-joran tanpa menimbang halal dan haram.

    Maka ketika bencana menimpa umat manusia, menjadi sangat tergantung pada manusia sendiri dalam mensikapi bencana tersebut :

    1. Terhadap orang-orang yang jernih hatinya, beriman dan beramal saleh, jika musibah menimpa dirinya kemudian ia meninggal dunia, baginya adalah rahmat, karena musibah yang menimpanya menjadi sebab diampuni segala dosa dan mempercepat jalan pintas masuk ke dalam sorga sebagai syuhada.

    2. Terhadap orang-orang yang lalai dan lupa kepada Allah, menjadi suatu tadzkirah (peringatan) agar mereka kembali kepada jalan yang benar (taubat) dan menjadi kafarat bagi dosa dan kelalaiannya.

    3. Terhadap orang yang tidak beriman, dzalim dan durhaka, bencana menjadi persekot ADZAB sebelum mereka di adzab di dalam kubur dan hari akhirat nanti.

    4. Terhadap orang-orang yang tidak terkena bencana secara langsung, hal ini menjadi satu pelajaran yang amat berharga dan sekaligus merupakan ujian dan tes kwalitas diri, benarkah dirinya manusia yang memiliki nurani (iman) atau sebaliknya, hatinya telah beku membatu dan nuraninya telah mati. Sehingga bencana itu tidak mampu mengusik hatinya untuk sadar dan bertaubat kepada jalan yang benar, menjadi hamba Allah yang beriman.

    Takhtim

    Dan bencana yang lebih besar dari itu semua adalah runtuhnya Kekhilafahan Islam di tubuh muslimin. Hilangnya kehidupan berjamaah telah mengakibatkan kekuatan umat Islam di Dunia lemah, terpecah belah, mudah diadu domba oleh Yahudi dan Nasrani. Sehingga kerusakan terjadi di mana-mana. Pertikaian antar muslim, mudahnya menumpahkan darah saudaranya seiman telah menyebabkan kemurkaan Allah turun.

    Untuk itu, terhadap berbagai musibah yang tengah terjadi sepatunya kita semua introspeksi diri dan kembali kepada Islam seutuhnya, hidup dan berjuang sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dengannya semoga musibah yang terjadi Allah ganti dengan keberkahan dan kebahagiaan sebagaimana yang telah di janjikan-Nya dalam QS. Al-A’raf :96.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Rabu, 15 Januari 2014

  • Menta’ati Allah dan Rasul-Nya

    Ilustrasi Taat 
    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
    مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
    yang artinya:  “Barang siapa yang metha’ati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah mentha’ati Allah. Dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketha’atan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara bagi mereka." (QS An-Nisa [4] : 80).

    Pengaturan yang baik dalam mengelola umat perlu menetapkan peraturan yang baik dan ditha’ati oleh ummatnya. Bahwa ajaran Islam Allah turunkan kepada manusia bukan hanya untuk mengatur masalah pribadi manusia. Akan tetapi juga mengatur masalah sosial kemasyarakatan. Mulai dari tatacara berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat hingga bersosialiasi ke masyarakat dunia. Dan semuanya saling kait-mengait, ikat-mengikat, bagai rantaiyang tak terputuskan.

    Perkara shalat umpamanya, walaupun itu ibadah fardhu ‘ain, wajib bagi tiap-tiap pribadi muslim. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, diatur dengan shalat berjama’ah. Penetapan ibadah shaum Ramadhan dan hari raya, tidak masing-masing melaksanakan sendiri-sendiri. Tetapi ada manajemen kepemimpinan yang mengaturnya. Demikian halnya zakat sampai masalah terbesar yakni jihad fi sabilillah, semuanya teratur dan terpimpin, tertib dan sentral kepemimpinan kaum muslimin. Di bawah kepemimpinan dan ketha’atan kepada Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi  Wasallam. Yang kemudian sepeninggal beliau, dilanjutkan dengan ketha’atan kepada Khalifah atau Amirul Mukminin atau Imaamul Muslimin.

    Artinya : “Barangsiapa yang tha’at kepadaku maka sungguh ia telah tha’at kepada Allah. Dan Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa tha’at kepada amir berarti ia tha’at kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir berarti ia bermaksiat kepadaku”. (HR Bukhari dan Muslim).

    Ketha’atan selama haq dan dengan penuh keikhlasan.

    Kemudian Allah melanjutkan pada ayat berikutnya,
    وَيَقُولُونَ طَاعَةٌ فَإِذَا بَرَزُوا مِنْ عِندِكَ بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِّنْهُمْ غَيْرَ الَّذِي تَقُولُ وَاللَّهُ يَكْتُبُ مَا يُبَيِّتُونَ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلً
    Artinya : “ Dan mereka mengatakan, "(Kami siap) tha’at." Tetapi, apabila mereka telah pergi dari sisimu (Muhammad), sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah mencatat siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah dari mereka dan bertawakalah kepada Allah. Cukuplah Allah yang menjadi Pelindung."  (QS An-Nisa [4] : 81).

    Ayat ini memberikan peringatan akan bahaya orang-orang  yang acapkali membuat keputusan sendiri di luar keputusan yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah. Di antara mereka terdapat kelompok yang lemah imannya yang pada lahiriyahnya bersama kaum muslimin yang sama-sama bermubaya’ah kepada Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi Wasallam.

    Karena dalam pertemuan rahasia di malam hari mereka mengambil keputusan lain dan berupaya melakukan konspirasi terhadap ketha’atan kepada Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi Wasallam. Bagaimana cara menghadapi mereka yang bersyahadah di hadapan beliau? Rasulullah sangat mengenali mereka dan tidak merasa cemas terhadap konspirasi mereka. Karena Allah memantau ucapan dan keputusan mereka dan pasti dapat dipatahkan tepat pada waktunya. Karena Islam ini, wadah Jama’ah ini milik Allah. Maka Allah-lah yang berhak membuat keputusan-Nya.

    Lanjutan ayatnya :
    أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
    Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An-Nisa [4] : 82).

    Pada prinsipnya, salah satu dari mukjizat al-Quran adalah kekuatan dan nilai-nilai  agung yang terkandung di dalam setiap ayat-ayatnya. Membacanya berpahala, menghafalkannya menambah kebaikan, mengahayati mentadabburinya menambah keimanan, dan mengamalkannya memperkokoh ketha’atan.

    Allah pun menjaga keagungan Al-Quran antara lain dengan terlahirnya para hufadz penghafal Al-Quran di setiap waktu dan tempat. Sejak jaman nabi, sahabat, tabi;in hingga kini. Di tempat damai, di medan perang, selalu hadir para penghafal Al-Quran. Karena itu sudah menjadi ketentuan-Nya.
    إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
    Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”(QS Al-Hijr [15] : 9).

    Bagaimana menjaga kesolidan dan ketha’atan?

    Dengan mengembalikan permaslahan kepada Ulil Amri di antara kaum mukminin. Seperti ayat berikutnya :
    وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
    Artinya : “Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka langsung menyiarkannya. Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)." (QS An-Nisa [4] : 83).

    Sabar dan nasihat, tetapi tidak lari dari ketha’atan.

    “Barangsiapa melihat pada amirnya suatu yang ia benci, hendaklah ia shabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri sejengkal dari Al-Jama’ah dan ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah. (HR Bukhari dan Muslim).

    “Sebaik-baik pimpinan bagi kalian adalah : Pemimpin yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan merekapun mendoakan kalian. Dan sejelek-jelek pemimpin bagi kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian. Kami bertanya : Wahai Rasulullah apakah kita tidak mengangkat pedang (memberontak) saja pada saat demikian ? Beliau bersabda : jangan memberontak, selama mereka mendirikan shalat bersama kalian. Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin pemimpin dan ia melihatnya bermaksiat kepada Allah, maka hendaklah Ia membenci maksiat yang dilakukannya, akan tetapi jangan sekali-kali mencabut tangan dari mentha'atinya”. (HR Muslim). -

    Karena itu, dengan semangat bulan Rabiul Awwal, hendaknya kecintaan kita terhadap Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bukan semata seremonial belaka dengan acara-acara yang jauh dari tuntunan-Nya. Melaksanakan semua perintah Allah yang telah Rasulullah SAW ajarkan dan contohkan menjadi sebuah keniscayan pembuktian cinta dan ketaatan kita kepada keduanya.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism