Kamis, 06 Juni 2013

  • Islam dan Kepemimpinan Dunia


    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 26)

    Asbabun Nuzul

    Imam Al Baghawi dan Al Wahidy meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhasil membebaskan kota Makkah, beliau menjanjikan kepada umat Islam bahwa Kerajaan Persi dan Kerajaan Romawi juga akan dibebaskan. Kemudian orang munafiq dan orang yahudi berkata, “Tidak mungkin, tidak mungkin. Dari mana Muhammad dapat membebaskan Kerajaan Persi dan Romawi karena kerajaan ini sangat kuat dan kokoh. Apakah Makkah dan Madinah tidak cukup bagi Muhammad sehingga ingin menguasai Kerajaan Persi dan Romawi?” Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat tersebut.

    Penjelasan

    Ayat ini merupakan sebagian ayat yang menjelaskan tentang kekuasaan dan kepemimpinan atas yang lain yang sering disebut dengan istilah hegemoni. Pada ayat ini disebutkan bahwa Allah lah penguasa yang sebenarnya. Sebagaimana disebutkan pada ayat ini: “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Mulk [67]: 1)

    Kekuasaan manusia betapapun besarnya hanyalah pinjaman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan naiknya seseorang menjadi penguasa hanyalah setelah adanya pengakuan dari orang lain. Sedang Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai Maha Kuasa tidaklah berkuasa karena diangkat dan seandainya semua makhluk di muka bumi tidak mau mengakui kekuasaan Allah, Allah tetap Maha Kuasa.

    Maka pada ayat di atas, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengajarkan kepada manusia dengan ungkapan penuh ta’dzim tentang kekuasaan. Dilihat dari segi kata-kata, ayat di atas bernuansakan doa; dari segi makna merupakan pengharapan; dari segi isi merupakan sentuhan halus pada perasaan manusia agar tidak berambisi kepada kekuasaan; dari segi ‘kauniyah’ menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah dalam mengatur alam raya ini dan manusia hanya bagian kecil dari bagian alam raya yang Mahaluas ini.

    Menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi ayat di atas merupakan penghibur untuk Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menghadapi orang yag menentang Islam sekaligus sebagai peringatan untuk beliau akan kekuasaan Allah yang mampu menolong agama-Nya dan meluhurkan kalimat-Nya.

    Muhammad Ramadlan Al Buthy menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berjuang bukanlah untuk mecapai suatu hegemoni (kekuasaan) atau mencapai jabatan tertinggi kepada sebagai penguasa atau raja.

    Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa ‘Utbah bin Rabiah, salah satu cendikiawan kafir Quraisy datang menghadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar beliau menghentikan dakwahnya sambil berkata, “Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang anda lakukan itu anda ingin mendapatkan harta, maka akan kami kumpulkan harta yang ada pada kami untuk anda sehingga anda menjadi orang yang terkaya di kalangan kami. Jika anda menginginkan kehormatan dan kemuliaan, anda akan kami angkat sebagai pemimpin dan kami tidak memutuskan persoalan apapun tanpa persetujuan anda. Jika anda ingin menjadi raja, kami bersedia menobatkan anda sebagai raja kami. Jika anda tidak sanggup menangkal jin yang merasuk ke dalam diri anda, kami bersedia mencari tabib untuk menyembuhkan anda tanpa menghitung biaya yang diperlukan sampai anda sembuh.”

    Ketika tawaran Utbah ini ditolak oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para pembesar Quraisy beramai-ramai mendatangi beliau dengan menawarkan apa yang ditawarkan oleh Utbah. Kepada mereka beliau menyampaikan, “Aku tidak memerlukan semua yang kamu tawarkan. Aku berdakwah tidak karena menginginkan harta kekayaan, kehormatan atau kekuasaan. Tetapi Allah mengutusku sebagai Rasul. Dia menurunkan Kitab kepadaku dan memerintahkan aku menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan.”

    Dari sini tampak jelas bahwa tujuan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukan untuk mencari kekuasaan dan beliau tidak mau menggunakan kekuasaan untuk menegakkan risalahnya, seperti yang dilakukan para penganjur ideologi sekuler yang memanfaatkan kekuasaan untuk memaksakan ideologi kepada orang lain.

    Jika cara seperti ini dibenarkan dan dianggap sebagai “kebijaksanaan” yang syar’i, niscaya tidak ada bedanya dakwah Islam dan penganjur kebaikan karena dakwah Islam berdasar kerelaan, sebagaimana firman Allah:

    “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat... (Q.S. Al Baqarah : 256)

    Sedang penganjur kebatilan berdasar kesewenang-wenangan, dan penindasan. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Fir´aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir´aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qashash [28]: 4)

    Pejalanan Hegemoni Islam

    Hegemoni Islam mulai mendunia di masa Islam di bawah kekuasaan Bani Umayyah. Sekalipun di awal kekuasaannya menimbulkan kontroversi yang dahsyat di kalangan umat Islam, tetapi kekuasaan Bani Umayyah telah menyumbangkan kepada umat Islam kekuasaan imperium yang luar biasa. Tidaklah salah bila dikatakan bahwa pada masa ini, hegemoni dan pengaruh Islam di luar jazirah Arab telah mencapai prestasi yang mencenggangkan.

    Secara syar’i, Bani Umayyah dengan pemimpin yang pertama Muawiyah bin Abi Shafyan telah mengubah sistem khilafah menjadi monarki. Abul A’la al-Maududi menyebut pemerintahan Bani Umayyah sebagai kerajaan. Ketika menulis khalifah di depan nama Muawiyah, ia menulisnya dengan menggunakan tanda kutip, “Khalifah.” Menurut Maududi, kekuasaan Bani Umayyah tidak berdasarkan persetujuan kaum muslimin, dan tidak pula dipilih oleh umat Islam secara bebas melainkan berdasarkan kekuatan pedang.

    Hegemoni umat Islam atas manusia berakhir dengan ruhtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang ditengarai dengan munculny Kemal Al-Tatruk yang mengganti sistem Islam dengan sistem kapitalisme. Sejak itu kebesaran Turki Utsmani benar-benar tenggelam bahkan tidak lama kemudian pada tahun 1924 Kekhilafahan dihapuskan. Semua daerah kekuasaannya yang luas baik Asia, Afrika maupun Eropa dijajah oleh negara-negara Barat.

    Ketika hegemoni Islam mendunia, keamanan dunia relatif dapat tercipta, para pengikut berbagai macam agama hidup dengan tenang dan terhormat karena mereka diberlakukan dengan sangat baik.

    Kemajuan ekonomi pada masa kejayaan Islam dititik beratkan pada perdagangan dan industri. Bidang perdagangan, yang terutama adalah pakaian dan tekstil yang dikonsumsi oleh orang-orang Cina dan Eropa. Sedangkan di bidang industri, adalah penenunan yang mencakup produksi kain, bahan pakaian, dan karpet.

    Di dunia Islam tidak mengenal sistem perbankan, mereka tidak menggunakan uang kertas (fiat money), tetapi mereka menggunakan dirhan (perak) mengikuti orang-orang Persi, dan dinar emas, mengikuti orang-orang Bizantium. Karena nilai logam ini relatif tidak berfluktuasi maka terbentuknya sistem keuangan yang sangat efisien, sehingga sebuah cek yang dikeluarkan di Baghdad dapat diuangkan di Maroko.

    Penjajahan Barat terhadap dunia Islam diawali dengan Perang Salib yang berlatar belakang sebagai berikut:

    (1). Mercenary, yaitu untuk mencari keuntungan di negeri-negeri Islam. (2). Missionary, yaitu menyebarkan agama Kristen ke negeri-negeri Islam. (3.) Military, yaitu perluasan daerah militer.

    Selain hal di atas, yang melatarbelakangi penjajahan Barat adalah faktor ekonomi dan kekuasaan.

    Bentuk-bentuk penjajahan Barat terhadap dunia Islam berupa penyerangan, penaklukan, sehingga wilayah-wilayah Islam yang jatuh ke negara-negara Barat, rakyatnya ditindas dan diperbudak.

    Hegemoni Barat terhadap dunia Islam ternyata membawa implikasi yang sangat luas bagi perkembangan peradaban Islam, baik peradaban material yang berupa teknologi baru maupun peradaban mental.

    Hegemoni Barat telah memicu gerakan pembaharuan Islam yang bertujuan untuk memurnikan agama Islam dari pengaruh asing dan menggali sumber-sumber Islam dan menyadarkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah.

    Umat Islam menyadari bahwa hegemoni Barat terhadap dunia Islam dikarenakan kaum muslimin tidak dalam kondisi bersatu. Perpecahan terjadi di seluruh wilayah dan para pemimpin Islam saling bermusuhan serta tidak memiliki seorang pemimpin. Oleh karena itu muncullah kesadaran umat Islam untuk kembali menghidupkan sistem kesatuan kepemimpinan yang disebut dengan sistem khilafah.

    Di Indonesia, kesadaran ini dipelopori oleh Imam Wali Al-Fataah ketika beliau bersedia untuk dibaiat sebagai Imaamul Muslimin dalam sebuah gerakan yang awalnya disebut gerakan Hizbullah. Selanjutnya gerakan ini menemukan bentuknya sesuai dengan dalil-dalil yang qath’i yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah dalam bentuk Jama’ah Muslimin (Hizbullah).

    Bersamaan berkembangnya Jama’ah Muslimin (Hizbullah), hegemoni Barat terhadap dunia Islam mulai melemah. Hal ini adalah sebagai isyarat firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.”(Q.S. As-Shaff [61]: 9)

    Melemahnya hegemoni Barat terhadap Islam tampak dimulai dari kerusakan-kerusakan dalam kehidupan mereka: (1). Kerusakan sistem politik, yang faktanya kedaulatan bdagi para pemilik modal. Kedua, (2). Kerusakan sistem ekonomi, membawa Yunani, Brazil, Amerika Serikat, dsb bangkrut. (3). Kerusakan sistem sosial, kebejatan mora dan sek bebas, sehingga poligami dianggap kriminal.

    Kerusakan-kerusakan di atas, membuka peluang untuk menyebarkan dakwah Islam yang menjadi jalan keselamatan bagi umat manusia.

    Islam mengajarkan bahwa kekuasaan bukan merupakan suatu tujuan tetapi anugerah Allah Ta’ala sehingga perebutan kekuasaan yang merupakan salah satu sumber kerusakan dapat dihindari. (MINA)

    Wallahu A’lam bis Shawab.
    Oleh: KH. Yakhsyallah Mansur, MA.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism