Rabu, 12 Juni 2013

  • Kewajiban Mengamalkan Khilafah


    Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Surah Al-Baqarah ayat 30 menyebutkan : artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Surah Al-Baqarah ayat 30).

    Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurthubi disebutkan, ayat ini merupakan dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan, dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya khilafah.

    Dalam ayat lain, Allah Menegaskan dalam FirmanNya: Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Yang demikian itu adalah yang lebih baik dan sebaik baiknya penyelesaian.” (Q.S. An-Nisa : 59).

    Pada ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada orang yang beriman untuk mentha’ati ulil amri. Ulil amri adalah pemimpin atau khalifah yang mengurusi umat Islam. Tentu saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memerintahkan umat Islam untuk mentha’ati seseorang yang tidak wujud. Sehingga jelaslah bahwa mengamalkan kepemimpinan Islam atau khilafah adalah wajib.

    Tentang kewajiban adanya pemimpin juga didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, antara lain yang artinya : “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi amir atau pemimpin.” (Hadits Riwayat Ahmad).

    Asy-Syaukani berkata : “Hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan adanya pemimpin, umat Islam akan terhindar dari perselisihan, sehingga akan terwujud kasih sayang di antara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak mengikuti pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Disamping itu, kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : Artinya : “Adalah Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap nabi meninggal diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku, dan akan ada beberapa khalifah yang banyak. Para shahabat berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda, “Tetapilah bai’at yang pertama kemudian yang pertama. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah menanyakan kepada mereka tentang apa yang diserahkan oleh Allah kepada mereka.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

    Itulah sentral kepemimpinan umat Islam, sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat lainnya :

    Artinya : “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya, dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (Q.S. An Nisa : 83).

    SINYAL KHILAFAH
    Kini gaung kebangkitan khilafah semakin keras terdengar, khusunya di Indonesia belum lama ini telah diadakan event besar untuk menyadarkan dan menyuarakan tentang kewajiban muslimin menegakkan khilafah. walau sesungguhnya sinyal kebangkitan khilafah sebagai usaha penyatuan umat Islam telah lama diupayakan.

    Berawal muncul dengan adanya gerakan All Khilafat Conference di India (tahun 1919). Gerakan ini secara tetap mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan dan mengusahakan tegaknya kembali kekhilafahan. Dilanjutkan pertemuan serupa di Karachi, Pakistan (1921).

    Tahun 1926 di Kairo diselenggarakan Kongres Khilafah yang diprakarsai para ulama Al-Azhar. Kemudian Kongres Islam Sedunia di Mekkah (1926), Konferensi Islam Al-Aqsha di Yerussalem (1931), Konferensi Islam International kedua di Karachi (1949), Konferensi Islam International ketiga di Karachi (1951), Pertemuan Puncak Islam di Mekkah (1954), Konferensi Muslim Dunia di Mogadishu (1964), Konferensi Muslim Dunia di Rabat Maroko yang melahirkan OKI (1969), dan Konferensi Tingkat Tinggi Islam di Lahore Pakistan (1974).

    Di Indonesia usaha penyatuan muslimin dalam khilafah juga dilakukan oleh beberapa tokoh Islam seperti HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansur, KH Munawar Cholil, Dr. Abdul Karim Amrullah, dan Syaikh Wali Al-Fattaah. Dimulai dengan penyelenggaraan Komite Khilafah berpusat di Surabaya (1926). Dilanjutkan dengan Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta (1949), dan Kongres Alim Ulama Mubalighin Seluruh Indonesia di Medan (1953).

    Hingga diamalkannya kembali sistem khilafah ala minhajin nubuwwah dengan imaamnya Syaikh Wali Al-Fattaah tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. / 20 Agustus 1953 M. (Suara Merdeka Rabu, 12 Agustus 1953, Mimbar Indonesia, Jumat 21 Agustus 1953).

    Sinyal kebangkitan khilafah adalah secercah harapan kejayaan Islam dan muslimin dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat Islam yang membawa misi rahmatan lil ’alaimin.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism