Rabu, 24 Juli 2013

  • Buah dari Ramadhan


    Setengah dari Ramadhan telah meninggalkan kita, senang bagi mereka yang menganggap bulan puasa hanya menjadi beban semata, sedih bagi kita yang berupaya dengannya dapat meningkatkan kualitas taqwa sekaligus tempat pelebur dosa-dosa dan pembebas dari api neraka.

    Tujuan utama dari Ramadhan tidak lain adalah taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam akhir surat Al-Baqarah : 183, La’allakum tattaqun.

    Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum (berpuasa) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 183)

    La’allakum tattaqun agar kamu bertaqwa, artinya shaum atau puasa yang benar akan melahirkan manusia taqwa, suatu kedudukan derajat tertinggi bagi manusia di sisi Allah. Sebaliknya, shaum yang hanya dilakukan secara tradisi, sekedar menggugurkan kewajiban dengan menahan diri dari tidak makan dan tidak minum pada siang hari, tetapi tidak mengindahkan kaifiyatus shaum dengan benar maka shaumnya sia-sia. Dan itu yang tidak dikehendaki Allah Ta’ala.

    RAMADHAN

    Ramadhan secara bahasa adalah panas, atau panas yang menyengat atau membakar, orang-orang arab biasanya memberikan nama-nama bulan disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat itu terjadi. Sebagai mana Bulan Muharram, diberi nama Muharram karena Allah mengharamkan pada bulan tersebut untuk berperang, demikian juga Ramadhan, karena pada bulan tersebut di negeri arab suhu udara sangatlah panas, seolah-olah membakar tubuh kita.

    Demikian pula Shaum yang dilakukan pada bulan Ramadhan, selain membakar dalam arti hisyiah, membakar koresterol dan lemak dalam tubuh, membakar disini lebih dalam arti maknawiyah, ‘membakar’ hawa nafsu kita agar terkendali, bukan membunuh tetapi mengendalikan dan mendidik keinginan-keinginan yang mengantarkan kepada perbuatan dosa, baik yang dihalalkan (ketika berpuasa) apalagi dilarang oleh Allah dan Rasulnya.

    Sebagaimana yang termaktub dalam ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam maya pada ini, biasa disebut ayat kauniyah, hendaknya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran darinya. Logam emas yang ditempa dan dibakar, tidak lain untuk menguji ketinggian kadar emas yang dikandungnya, begitu juga dengan tanah lempung yang sebelumnya hina, diinjak-injak, tidak berharga, ketika telah dibentuk dan dibakar, maka kedudukannya menjadi naik, lebih berharga dan memiliki nilai, kini menduduki tempat yang tinggi menjadi atap genting.

    Demikian pula shaum yang telah menempa tiap individu seorang muslim, hendaknya dapat menaikan derajat ketakwaan, kedudukan dan kehormatan seorang muslim di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena salah satu pengertian taqwa adalah melaksankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

    Dalam sekup yang lebih luas, dengan konsistensi umat Islam terhadap aturan Allah dan Sunah Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam, meneguhkan keimanan, melaksankan isi Al-Qur’an, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, niscaya predikat dari umat yang terpuruk, dilecehkan dan dihinakan, serta mudah dipecah belah oleh Yahudi dan Nasrani karena tidak bersatu, dengan melaksanakan semua aturan Allah dan Rasulnya, serta hidup berjamaah (QS. Ali Imran: 103) niscaya hal tersebut akan menguatkan kekuatan muslimin di mata dunia, menjadi umat yang disegani, tidak hanya kekuatannya, kekompakannya saja sudah mampu mengentarkan musuh-musuh Allah. Sehingga khairul ummah yang telah Allah sematkan benar-benar nyata dan dapat dirasakan.

    “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

    Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip sebuah hadits dari Bahz bin Hakim bahwa tatkala membaca ayat ini Rasulullah s.a.w. bersabda: “Kalian adalah penyempurna dari 70 umat, kalian yang terbaik di antara mereka dan termulia di sisi Allah ‘Azza wa Jalla” (HR. At-Tirmidzi).

    Karena itu, hendaknya momen Ramadhan ini kita jadikan ajang untuk memperbaiki diri, keluarga, dan masyarakat untuk kembali kepada aturan Allah dan Rasulnya, sehingga title khoirul umat itu tetap melekat pada umat Islam.

    RAMADHAN DAN KETAQWAAN

    Gool dari perintah Allah akan shaum Ramadhan kepada umat Islam yang terdahulu hingga hari ini tidak lain agar para pelakunya memiliki nilai takwa dalam dirinya. Yaitu senantiasa melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Menurut Ibnu Katsir at taqwa makna asalnya ialah mencegah diri dari hal-hal yang tidak disukai, mengingat bentuk kata kerjanya adalah qawa yang berasal dari al wiqayah (pencegahan).

    Menurut Syara’, taqwa berarti : “Menjaga dan memelihara diri dari siksa dan murka Allah Ta’ala dengan jalan melaksanakan perintah-perintahNya, taat kepadaNya dan menjauhi larangan-laranganNya serta menjauhi perbuatan maksiat”.

    Rasulullah SAW pernah menjelaskan hakikat taqwa dengan sabdanya : “Taqwa yaitu mentaati Allah dan tidak mengingkari perintah-Nya, sentiasa mengingati Allah dan tidak melupakanya, bersyukur kepada-Nya dan tidak mengkufuri nikmat-Nya”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Abas ra. )

    Taat dan tidak mengingkariNya

    Ibadah puasa yang Allah turunkan merupakan ujian ketaatan seorang hamba kepada khaliknya, betapa tidak, ibadah puasa adalah ibadah rahasia (syirriah), yang diketahui hanya oleh dirinya atau hati nurani seseorang dan Allah saja. Untuk itu ketaatan seorang hamba akan perintah ini dipertaruhkan, apakah ia seorang yang taat, atau ingkar.

    Puasa merupakan satu-satunya ibadah yang urusannya diatur langsung oleh Allah. “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang membalasnya secara khusus,” demikian Allah berfirman dalam Hadist Qudsi. Apabila ibadah-ibadah mahdhoh lainnya, seperti syahadat, shalat, zakat, dan haji, dapat dengan mudah diketahui atau bahkan disaksikan oleh orang lain, maka untuk ibadah puasa hanya dirinya (si pelaku ibadah) dan Allah sajalah yang mengetahui. Seseorang dapat saja di muka umum berpura-pura, sepertinya sedang puasa, namun ketika dia menyendiri di tempat yang tersembunyi dia melakukan perbuatan yang dilarang Allah.

    Untuk itu, ketakwaan yang dilahirkan dari ibadah puasa sesuai perintah Allah dalam Qur’an surat Al-Baqarah:183, diharapkan mampu menjadikah hamba-hambanya bertaqwa, senantiasa mendengar dan mentaati segala perintah Allah dan Rasulnya, dimanapun dan kapan pun. Baik dalam waktu lapang maupun sempit.

    Selalu mengingat Allah

    Allah Ta’ala berfirman, "Maka igatlah kepada Ku, niscaya Aku akan ingat kepadamu, bersyukurlah kepada Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada Ku “. ( Qs. Al Baqarah : 152)

    Dijelaskan dalam tafsir As-Sa’di karangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di bahwa: adzquruni adzqurkum, “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu” Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengingat-Nya, dan menjanjikan baginya sebaik-baik balasan yaitu bahwa Allah akan mengingatnya pula, yaitu bagi orang yang ingat kepadanya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw :Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

    Bersyukur, tidak kufur

    Shaum Ramadhan menghendaki para pelakunya mempunyai sifat kepedulian kepada saudaranya, saling memberi serta mensyukuri karunia yang Allah telah berikan kepadanya seraya tidak mengkufurinya.

    Setelah Allah memerintahkan untuk selalu mengingat-Nya kapan dan dimanapun, perintah berikutnya dalam surat Al Baqarah : 152 adalah memerintahkan untuk bersyukur, tidak berbuat kufur.

    Wasykurulii “Dan bersyukurlah kepada Ku”. Maksudnya terhadap apa yang kami nikmatkan kepada kalian dengan nikmat-nikmat tersebut, dan Aku jauhkan dari kalian berbagai macam kesulitan. Syukur itu dilakukan dengan hati berupa pengakuan atas kenikmatan yang didapatkan, dengan lisan berupa dzikir dan pujian, dan dengan anggota tubuh berupa ketaatan kepada Allah serta kepatuhan terhadap perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

    Syukur itu menyebabkan kelanggengan nikmat yang telah didapatkan dan menambah kenikmatan yang belum didapatkan. Dan ketika kebalikan dari rasa syukur adalah pengingkaran maka Allah melarang pengingkaran tersebut seraya berfirman : Walatakfuru. ”Dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku” Maksud dari pengingkaran disini adalah satu hal yang bertolak belakang dengan bersyukur yaitu ingkar terhadap kenikmatan yang diberikan dan menampiknya serta tidak bersyukur kapada-Nya. Kemungkinan juga maknanya bersifat umum, maka pengingkaran terhadap Allah adalah pengingkaran yang paling besar, kemudian bermacam-macam kemaksiatan dengan segala bentuk dan jenisnya dari kesyirikan dan selainnya.

    BUAH TAQWA

    Selalu menta’ati Allah, mengingat-Nya di manapun, dan bersyukur atas segala karuniannya dan tidak mengingkarinya merupakan penjabaran dari taqwa. Dan inilah yang mampu menjadi penyebab turunnya rizki, firman Allah, yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya...” (QS. ath-Thalaq: 2-3).

    Dan taqwa itu dapat diraih dengan shaum Ramadhan yang tengah kita lakukan. (An/Ahso)

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism