Kamis, 14 April 2016

  • Keutamaan Rajab Sebagai Bulan Haram


    Bulan Rajab dalam Kalender Hijriyyah terletak di antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban, sebelum Ramadhan. Bulan Rajab seperti juga bulan Muharram termasuk bulan-bulan haram.

    Allah menyebutkan di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Q.S. At-Taubah [9]: 36).

    Para mufassir menjelaskan bahwa empat bulan yang dimaksud pada ayat tersebut adalah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram.

    Penjelasan itu berdasarkan hadits yang menyebutkan: Artinya: “Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

    Bulan-bulan tersebut dinamakan bulan-bulan haram (suci) untuk memperkuat haramnya dan kesuciannya berperang pada bulan-bulan itu. Maka, pada bulan-bulan tersebut, janganlah seseorang menganiaya diri sediri dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang atau melakukan maksiat pada bulan-bulan itu, karena dosanya lebih besar. Termasuk menganiaya diri adalah melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.

    Ulama terdahulu, Al-Qadhi Abu Ya’la menguraikan, bahwa dinamakan bulan-bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Serta pada bulan-bulan tersebut lebih ditekankan dilarang untuk melakukan perbuatan haram karena mulianya bulan-bulan tersebut. Demikian pula pada bulan-bulan itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.

    Sebagian ulama berpendapat, bahwa haramnya berperang pada bulan ini adalah mansukh (telah dihapus hukumnya) dan boleh memulai berperang. Yaitu memerangi orang-orang kafir yang memerangi kaum Muslimin pada bulan Rajab dan bulan-bulan haram lainnya, karena adanya dalil-dalil yang umum dalam masalah ini. Namun kesimpulannya adalah bahwa memulai berperang pada bulan Rajab hukumnya haram. Namun jika musuh-musush Islam memerangi kaum Muslimin, atau perang tersebut merupakan kelanjutan dari bulan-bulan sebelumnya, maka tidaklah mengapa berperang pada bulan tersebut.

    Amaliyah bulan Rajab

    Karena mulianya bulan-bulan tersebut, maka para ulama salaf sangat suka untuk melakukan puasa sunah di dalamnya. Seperti dikemukakan Sufyan Ats-Tsauri, “Pada bulan-bulan haram itu, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

    Seorang sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan shalih yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”

    Demikian halnya dalam keutamaan ibadah, seperti difatwakan Ibnu Rajab bahwa tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq (yakni dengan puasa sebulan penuh pada bulan-bulan itu, Rajab misalnya). Sebab, tiga hari itu adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam.

    Demikian pula, maka tidak ada satu shalat pun atau shaum pun yang dikhususkan pada bulan Rajab. Kalau mau melaksanakan shalat sunah, ya shalat sunah sebagaimana biasanya, qabliyah dan ba’diyah, yang mengiringi shalat fardhu. Demikian pula shaum sunah Senin dan Kamis. Maknanya adalah menggemarkan ibadah shalat sunah dan shaum sunah pada bulan-bulan haram, termasuk Rajab.

    Hal ini disimpulkan antara lain oleh Ath-Thurthusi yang menyebutkan, “Tidak ada satu riwayat pun yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan shalat khusus pada bulan ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh, semoga rahmat Allah pada mereka”.

    Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan bulan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu-waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat mengenai hal itu. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin.

    Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyatakan, “Adapun shaum Rajab, maka ia tidak memiliki keutamaan dari bulan haram yang lain. Tidak ada hadits shahih yang menyebutkan keutamaan shaum Rajab secara khusus. Jika pun ada, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil pendukung.”

    Disebutkan dalam Kitab Kifayatul Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk shaum setelah Ramadhan adalah bulan- bulan haram yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Rajab dan Muharram.

    Adapun terkait hukum shaum dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi dalam Kitab Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim menyatakan “Memang benar tidak ada satupun ditemukan hadits shahih mengenai shaum Rajab. Namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyukai shaum dan memperbanyak ibadah pada bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram.

    Ditegaskan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan shaum Rajab tersebut terkategori ke dalam hadits dha’if (lemah atau kurang kuat). Namun dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang shalih telah bersepakat bolehnya mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal-amal utama).

    Seperti juga dikatakan Al-Hafidz Al-‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah yang mengatakan: “Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya. Selama hadits tersebut tidak berkaitan dengan hukum dan aqidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal”.
    Wallahu A’lam Bish Showab.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism