Sabtu, 29 Oktober 2016

  • Al-Maidah : 51


    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin [mu]; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 51)

    Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsir Al-Quranul ‘Adzim menjelaskan ayat ini, bahwa Allah telah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memberikan loyalitas kepemimpinan kepada orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka itu memusuhi Islam. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah pemimpin terhadap sesamanya. Kemudian Allah pun mengancam dan memperingatkan bagi orang-orang beriman yang melanggar larangan ini. Bahwa “Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.”

    Sebab Turun Ayat
    Menurut riwayat, ayat ini turun sesudah Perang Badar, sebuah perang besar yang dimenangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta pasukannya.

    Saat itu, ‘Ubadah bin Shamit mengisahkan awal pertemanannya dengan orang-orang Yahudi. Namun ia kemudian lebih memilih untuk setia kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan orang-orang beriman. Sementara Abdullah Ubay bin Salul yang juga sudah masuk Islam, tapi tetap melakukan pertemanannya dengan orang-orang Yahudi dan setia kepada mereka. Kemudian Allah menurunkan ayat 51 surat Al-Maidah, yang melarang pertemanan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.

    Di dalam kisah lain, disebutkan ayat tersebut turun saat Bani Qaynuqa’ memerangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ada juga yang menyatakan ayat tersebut turun setelah peristiwa Perang Uhud, di mana umat Islam kalah dalam peperangan. Sebagian dari mereka meminta perlindungan kepada orang Yahudi dan sebagian lagi meminta perlindungan kepada orang-orang Nasrani. Namun yang jelas hampir tak ada perbedaan, bahwa peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut adalah dalam situasi perang.

    Imam Ath-Thabari, Al-Zamakhsyari, dan Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini dengan menyatakan larangan untuk berteman dan bersekutu dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Imam al-Razi menafsirkan, bahwa yang dimaksud ayat tersebut yaitu larangan bagi umat Islam untuk meminta tolong kepada orang-orang Yahudi dan Kristen untuk meraih kemenangan dalam perang.

    Sementara Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang dilarang untuk dijadikan teman adalah mereka yang jelas-jelas sudah teridentifkasi memusuhi Islam.

    Pada ayat lain Allah menyebutkan: Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Q.S. Ali Imran [3]: 28).

    Menurut Imam Al-Qurthubi, surat Ali Imran ayat 28 memiliki kandungan dua hal. Pertama larangan memberikan loyalitas dan kasih sayang kepada orang kafir, dan kedua bolehnya menyembunyikan keimanan dengan alasan takut, ini berkaitan dengan karena lemahnya umat Islam kala itu, di awal dakwah Islam.

    Imam Ath-Thabari menegaskan, ayat ini adalah larangan dari Allah kepada orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, pelindung, dan mencintainya.

    Imam Ibnu Katsir juga menegaskan, dengan ayat ini Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman, untuk memberikan loyalitas (berwala’) kepada orang-orang kafir dan larangan mengambil mereka sebagai pemimpin (waliy).

    Menurut penjelasan Prof. Dr. Abu Zahrah, larangan menjadikan orang-orang yang kafir kepada Allah sebagai pemimpin adalah karena beberapa hal:

    Pertama, orang-orang kafir itu tidak mungkin menjaga hak-hak orang mukmin dengan sebenarnya.

    Kedua, kekuatan dan bala bantuan orang-orang Islam yang hidup di bawah kekuasaan orang kafir selalu dimanfaatkan untuk memperkuat mereka, bukan untuk kehormatan Islam dan orang mukmin sendiri. Demikian itu karena setiap kekuatan dan aktifitas sosial yang dilakukan oleh orang Islam yang hidup di bawah kekuasaan kafir pada hakikatnya akan menguntungkan mereka, bukan menguntungkan Islam itu sendiri.

    Ketiga, orang-orang Islam yang hidup di bawah kekuasaan orang kafir akan diganggu dalam menjalankan aturan agamanya dan tidak diberi kebebasan dalam merealisasikan hukum-hukum Islam.

    Larangan Berwalikan Orang Kafir
    Pada ayat lain Allah mengingatkan: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah [untuk menyiksamu]?” (Q.S. An-Nisa [4]: 144).

    Makna auliya adalah walijah yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (Lisaanul ‘Arab). Auliya bentuk jamak dari waliy yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At-Tafasir). Waliy juga bermakna teman akrab, pemimpin, pelindung atau penolong. Yakni janganlah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin (juga teman dekat), dan jangan memberikan kepada mereka dengan memberi pertolongan sebagai bentuk loyalitas, menyatakan kecintaan dan dukungan dalam masalah agama.

    Pakar bahasa Arab dan Tafsir, Imam Ar-Raghib Al-Asfahani mengatakan: Artinya: “Dan setiap orang yang mengurus perkara orang lain, maka dia menjadi walinya.

    Ibnu Abbas Radhiyallahu ’Anhu menjelaskan makna ayat ini, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mukminin untuk menjadikan orang kafir sebagai waliyah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang-orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama.

    Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: “kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.

    Pemimpin Orang Beriman
    Pemimpin orang-orang beriman adalah orang-orang muslim, Allah Ta’ala befirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, ..” (Q.S. An-Nisa : 59).

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sungguh ia taat kepada Allah dan barangsiapa yang memaksiati aku maka sungguh ia telah memaksiati Allah. Barangsiapa yang mentaati amirku maka sungguh ia telah mentaati aku dan barangsiapa yang memaksiati amirku maka sungguh ia telah memaksiati Aku.” (HR.Al-Bukhari dari Abi Hurairah, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Ahkam: IX/77.

    Dalam Riwayat Ibnu Majah: “Dan barangsiapa yang mentaati imam maka sungguh ia telah mentaatiku dan barang siapa yang memaksiati imam maka sungguh ia telah memaksiatiku.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah dalam bab Tha’atul Imam : II/201)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguhnya Allah akan menanyakan apa yang digembalakannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahih Al Bukhari dalam Kitab Bad’ul Khalqi: IV/206)

    Rasulullah SAW., bersabda, “Dengarkanlah dan taatilah sekalipun yang memimpin kamu seorang budak Habsyi...” (HR.Bukhari dan Muslim)

    Wallahu a’alm bis shawab

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism