Rabu, 12 Agustus 2015

  • Balas Kejahatan Dengan Kebaikan

    Good vs Bad
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
    وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
    وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
    yang artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Q.S. Fushshilat [41]: 34-35).

    Sehubungan dengan ayat tersebut, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma mengatakan, “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang berbuat jahil, dan memaafkan ketika ada orang yang berbuat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan syaitan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”

    Ibnu Katsir juga mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.”

    Begitulah, ayat ini berkaitan dengan akhlak seorang Muslim, yang harus menghiasi dirinya dengan berbagai sifat-sifat terpuji (mahmudah).

    Kandungan Ayat

    Pada ayat tersebut Allah menyebut dengan “Walaa tastawi al-hasanah wa las sayyi`ah (dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan).

    Menurut al-Raghib al-Asfahani, secara bahasa kata al-hasanah digunakan untuk menyebut semua kenikmatan menyenangkan yang diperoleh manusia, baik pada diri, badan, maupun kondisinya.

    Sedangkan al-syayyi`ah berarti sebaliknya. Dalam ayat ini juga ditegaskan bahwa keduanya laa tastawi (tidak sama).

    Imam Asy-Syaukani menyebutkan, al-hasanah yang dimaksud adalah kebaikan yang diridhai Allah dan diberikannya pahala. Sebaliknya, asy-syayyi`ah adalah kejahatan yang dibenci Allah dan diberikan hukuman atasnya.

    Fakhruddin al-Razi menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di sini adalah dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajak kepada agama yang haq, sabar terhadap kebodohan orang-orang kafir, tidak melakukan pembalasan, dan tidak berpaling kepada mereka.

    Kemudian Allah menyebut, idfa’ bi al-lati hiya ahsan (tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik). Diterangkan oleh Imam Asy- Syaukani, pengertian dari ayat ini adalah: Tolaklah keburukan jika datang kepadamu dengan pembalasan yang lebih baik, yakni membalas keburukan dengan kebaikan, dosa dengan maaf, serta kemarahan dengan kesabaran.

    Kelak manfaatnya adalah, seperti urian ujung ayat, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia).

    Dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Apabila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu, maka kebaikan itu akan menuntun dia untuk mencintai dan condong kepadamu hingga dia berubah seolah-olah sahabat dekatmu karena kasih sayang dan kebaikannya”.

    Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan, apabila ada orang yang melakukan keburukan kepadamu, khususnya orang-orang yang memiliki hak yang besar terhadapmu, seperti kerabat, sahabat, dan semacamnya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Maka, balaslah dengan kebaikan.

    Jika memutuskan silaturahim, maka sambunglah; jika menzalimimu, maafkanlah; jika membincangkan keburukanmu, baik di depanmu atau di belakangmu, jangan dibalas, namun maafkan dan perlakukanlah dengan perkataan yang lembut. Jika memutuskan hubungan dengan kamu dan tidak menyapamu, maka perbaikilah perkataanmu terhadapnya dan berikanlah salam. Jika kamu membalas keburukan dengan kebaikan, akan menghasilkan faedah yang besar.

    Anugerah bagi yang Sabar

    Setelah diterangkan tentang perintah membalas keburukan dengan kebaikan beserta faedahnya, kemudian Allah mengakhir dengan: wamaa yulaqqaahaa illaa al-ladziina shabaruu (sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang sabar).

    Menurut al-Asfahani, al-shabr di sini berarti menahan diri dalam kesusahan. Seperti juga dikatakan Imam Ath-Thabari, tidak diberikan sifat mau membalas keburukan dengan kebaikan itu kecuali orang-orang yang sabar.

    Demikianlah, maka tindakan membalas kebaikan dengan kebaikan merupakan akhlak terpuji yang diperintahkan. Seperti Allah seburkan juga pada ayat lain:

    Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. (Q.S. Ar-Rahman [55]: 60).

    Ayat pada surat Fushshilat tadi memerintahkan lebih dari itu. Yakni membalas keburukan dengan kebaikan. Tindakan ini bisa memberikan manfaat besar, baik orang yang membalas atau orang yang dibalas.

    Ketika Al-Bashri Digunjing

    Praktik membalas kejahatan dengan kebaikan, antara lain pernah dilakukan oleh Imam Hasan Al-Bashri. Ketika suatu saat pembantunya menyampaikan bahwa seseorang telah menggunjing dan menjelek-jelekkan namanya. Mendengar hal tersebut, Hasan Al-Bashri kemudian meminta pembantunya tadi untuk menghadiahkan kurma kepada orang yang menjelek-jelekkannya tersebut.

    Pembantu berkata, “Wahai Imaam, bukankah dia telah menjelekkan engkau di hadapan orang banyak. Tapi mengapa engkau malah menghadiahinya kurma?” Sang Imaam pun menjawab, “Bukankah sudah sepantasnya aku memberikan hadiah bagi orang yang telah memberikan kesempatan pahala dari Allah buatku?”.

    Begitulah, Hasan Al-Bashri sedang memberikan pelajaran berharga bukan hanya buat pembantunya, tetapi kita semua. Agar tetap menjadi pribadi yang tenang dan menenangkan. Bukan pribadi yang gelisah dan penuh amarah. Tenang bukan berarti tidak mampu, tenang bukan berarti kalah, tenang bukan berarti lambat. Tenang adalah seni menyampaikan kritikan dengan bahasa yang lembut, tenang adalah penyampaian fakta keras dengan cara yang santun, tenang adalah penolakan berat dengan cara yang ringan.

    Itu pulalah yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika penduduk Thaif melemparinya dengan batu. Beliau malah berdoa, “Allahummahdii qawmii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku ini, karena mereka tidak tahu apa-apa).

    Kebaikan Shalahuddin al-Ayyubi

    Begitu pula teladan kebaikan yang telah dilakukan oleh Panglima Islam Shalahuddin Al-Ayyubi, Sang Pembebas Al-Aqsha Palestina dari cengekeraman Salibis.

    Yaitu, setelah 88 tahun Al-Quds dikuasai serdadu Perang Salib, Palestina akhirnya kembali ke pangkuan umat Islam, tahun 1187 atau setelah tiga bulan berjibaku dalam pertempuran Hittin.

    Pembebasan Al-Quds yang dilakukan pasukan Islam di bawah komando Shalahuddin sungguh amat berbeda, ketika tentara Perang Salib mendudukinya pada 1099. Shalahuddin menepati janjinya. Jenderal dan panglima perang tentara Islam itu membebaskan Al-Quds menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi.

    Tak ada balas dendam dan pembantaian, penaklukan berlangsung seperti yang diajarkan Al-Quran. Padahal, sebelumnya ketika 40 ribu tentara Perang Salib yang dipimpin Peter The Hermit menyerbu tanah suci Palestina, mereka datang dengan dirasuki fanatisme agama yang membabi buta. Kala itu seluruh kota Al-Quds banjir darah dan bangkai manusia. Suasana penuh dendam dan amarah, terjadi pula ketika pasukan Perang Salib menguasainya.

    Pada tahun 1194, Richard Si Hati Singa, juga memerintahkan untuk menghukum mati 3.000 umat Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak, secara tak berkeadilan.

    Semua itu jauh berbeda dengan Shalahuddin ketika datang membebaskan Al-Quds.

    Bahkan seorang Penulis ternama dari Barat, Karen Amstrong dalam bukunya Perang Suci menggambarkan, saat Shalahuddin dan pasukan Islam membebaskan Palestina, tak ada satu orang warga Kristen pun yang dibunuh. Tak ada pula perampasan harta benda.

    Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Bahkan, Shalahuddin menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan akibat keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Dan ia pun membebaskan banyak dari mereka, sesuai imbauan Al-Qur’an,” papar Amstrong.

    Keadilan Shalahuddin pun membuat umat Nasrani kala itu berdecak kagum. Seorang tua penganut Kristen bertanya kepada Shalahuddin. ”Mengapa Tuan tidak membalas dendam terhadap musuh-musuh Tuan?

    Shalahuddin menjawab, ”Islam bukanlah agama pendendam, bahkan sangat mencegah dari melakukan perkara di luar perikemanusiaan. Islam menyuruh umatnya menepati janji, memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf dan melupakan kekejaman musuh ketika berkuasa walaupun ketika musuh berkuasa, umat Islam ditindas.

    Mendengar jawaban itu, bergetarlah hati orang tua itu. Ia pun kemudian berkata, ”Sungguh indah agama Tuan! Maka di akhir hayatku ini, bagaimana untuk aku memeluk agama Tuan?” Salahuddin pun berkata, ”Anda cukup mengucapkan dua kalimah syahadah.”

    Anugerah Kebaikan

    Memang bukan perkara yang mudah untuk menahan marah dengan tetap berbuat ramah. Apalagi kemudian membalasnya dengan hal yang sebaliknya. Tidak semua orang memang mampu melakukannya, kecuali yang diberi kesabaran dan anugerah kebaikan.

    Itu pulalah yang menjadi salah satu hikmah disyariatkannya puasa, nilai pengendalian diri. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang keutamaan puasa, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan, “Jika ada seseorang yang mencaci dan mengajak bertengkar, maka katakanlah, “Saya sedang berpuasa, Saya sedang berpuasa, Saya sedang berpuasa”. (H.R. Bukhari).

    Mulut yang senantiasa mengucapkan kata-kata indah, penuh kebakan, yang menyejukkan bukan menyakiti apalagi menghinakan.

    Wallahu a’lam bisshowab.
    (Ust. Ali Farhan Tsani)

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism