Menyampaikan Isi Risalah Kenabian

Rabu, 27 November 2013

  • Adab Makan dalam Islam

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

    يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
    yang artinya: “Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebaikan. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Mu’minun [23]: 51)

    Pada ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan kepada para rasul (juga bagi para pengikutnya), sebagai manusia terbaik untuk makan makanan yang baik dan melakukan perbuatan yang baik.

    Bagi seorang muslim, makan bukan hanya sekedar untuk mengisi perutnya tetapi untuk beribadah melaksanakan perintah agama, sebagaimana disebutkan firman Allah:

    وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ
    “Dan makanlah dari apayang telah diberikanAllah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Q.S. Al Maidah: 88) Atau ayat-ayat dalam Q.S. Al Baqarah: 172 juga Q.S. An Nahl [16]: 114)

    ADAB MAKAN

    Agar makan bernilai ibadah maka seseorang yang makan hendaknya memperhatikan adab sebagai berikut.

    1. Adab Sebelum Makan

    Pertama: Makanan yang hendak dimakan, hendaknya merupakan makanan yang halal baik ditinjau dari barangnya atau cara memperolehnya.

    Kedua: Membasuh kedua tangan, sebab tangan tidak selalu bersih karena merupakan anggota badan yang paling sering digunakan untuk melakukan berbagai macam aktivitas.

    Ketiga: Hendaknya berniat bahwa dengan makan ia dapat lebih kuat beribadah dan melaksanakan perintah Allah SWT.

    Keempat: Merasa cukup dengan apa yang dihadapannya, tidak mencari-cari apa yang tidak ada.

    Kelima: Berusaha makan bersama orang banyak sekalipun dengan keluarganya sendiri maupun anak-anaknya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Berkumpullah pada makananmu maka kamu diberkahi dalam makanan itu.(H.R. Abu Dawud)

    2. Adab Ketika Makan

    Pertama: Dimulai dengan membaca “bismillaahirrahmaanirrahiim”dan berdoa.

    Doa Sebelum Makan; allahuma baariklanaa fiimaarozaktanaa waqinaa adjabannaar.

    Ya Allah, berkahilah rizki yang telah engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.(H.R. Ibnu As Suni dengan sanad dhaif)

    Apabila seseorang lupa membaca “basmalah” sewaktu memulai makan, hendaknya ia membaca: bismillahi awwalahu waakhirohu, Dengan menyebut nama Allah pada permulaan dan penghabisan makan.(H.R. Abu Daud)

    Kedua: Makan dengan tangan kanan dan yang dekat.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Makanlah dengan menyebut nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan serta makanlah dari makanan yang dekat dengan kamu.(Muttafaq ‘Alaih)

    Dalam hadis lain disebutkan, Rasulullah Shallallahu bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian makan hendaknya ia makan dengan tangan kanannya dan minum hendaknya dengan tangan kanannya karena sesungguhnya setan makan dengan tangan kiri dan minum dengan tangan kiri.(Dikeluarkan oleh Muslim)

    Ketiga: Makan Sambil Duduk

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum dengan berdiri. Barang siapa lupa maka hendaklah memuntahkannya.(H.R. Muslim)

    Dalam hadis yang lain diriwayatkan Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang minum dengan berdiri. Qatadah berkata, “Kemudian kami bertanya, kalau makan?” Ia menjawab, “Maka itu lebih buruk dan keji.”(H.R. Tirmidzi)

    Keempat: Tidak Mencela Makanan Yang Ada

    Disebutkan dalam hadis: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila beliau suka maka beliau memakannya dan apabila tidak suka beliau meninggalkannya.” (Muttafaq ‘Alaih)

    Imam An-Nawawi mengatakan mencela makanan seperti dengan mengatakan, “Terlalu asin, atau kurang asin, kecut, tipis, keras, kurang matang dan sebagainya.”

    Kelima: Makan Sambil Berbicara

    Apabila makan bersama orang lain kita disunnahkan sambil berbicara. Dalam “Al-Adzkar”, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan berbicara ketika makan.”

    Imam Al-Ghazali dalam “Al-Ihya” mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang shalih dalam makan.

    Keenam: Tidak Duduk Sambil Bersandar

    Imam Bukhari meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Aku tidak pernah makan dengan bersandar

    3. Adab Setelah Makan

    Maka selayaknya, kita bersyukur terhadap segala karunia yang telah Allah berikan, yaitu dengan : Berdoa dan bersyukur, berkumur dan bersiwak serta tidak tidur setelah makan.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

  • Daging Haram & Kerusakan Syaraf

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Baqarah: 173).

    Allah Subhana Wa Ta’ala menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna dengan kelebihan berupa akal yang gunanya untuk berfikir, membedakan sesuatu yang baik (haq) dan yang tidak baik (bathil) apakah itu berupa perintah atau larangan.  Perintah dan larangan pun tentunya akan kembali ke makhluknya, karena Dia mengetahui  apa yang baik dan tidak baik untuk ciptaannya termasuk dalam hal kesehatan  baik fisiknya dan jiwanya.

    Indahnya Islam adalah dalam setiap peraturan mesti memiliki kebaikan bagi mereka yang ta’at.Seperti halnya untuk asupan makanan, Allah menyeru untuk  tidak memakan makanan haram seperti daging babi. Apa sebenarnya pelajaran yang diberikan Allah lewat ayat tersebut?

    Fakta Tersembunyi

    Penelitian mengungapkan bahwa babi diketahui memiliki sistem biologis yang mirip dengan manusia, oleh karena itu babi bisa digunakan untuk uji in vivo di bidang medis. Uji ini diperlukan untuk melihat keefektifan suatu obat baru sebelum diujikan ke manusia, keefektifan khasiatnya dan juga resiko efek sampingnya. Di dunia penelitian, sering digunakan juga hewan uji dari ordo rodentia seperti tikus dengan alasan yang sama.

    Dr. Murad Hoffman (Doktor ahli & penulis dari Jerman) menulis bahwa Memakan babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tapi juga menyebabkan peningkatan kolesterol tubuh dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh. Ditambah cacing babi Mengakibatkan penyakit kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rheumatic serta virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang di musim panas karena medium (dibawa oleh) babi.
    Babi adalah hewan yang kerakusannya dalam makan tidak tertandingi hewan lain. Ia makan semua makanan di depannya. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan, bahkan memakan muntahannya.

    Ia memakan semua yang bisa dimakan di hadapannya. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya.

    Ia mengencingi kotoranya dan memakannya jika berada di hadapannya, kemudian memakannya kembali. Ia pun tak segan memakan sampah, busuk-busukan, dan kotoran hewan.

    Ia adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama, jika dibiarkan. Kulit orang yang memakan babi akan mengeluarkan bau yang tidak sedap.

    Penelitian ilmiah modern di dua negara Timur dan Barat, yaitu Cina dan Swedia (Cina mayoritas penduduknya penyembah berhala, sedangkan Swedia mayoritas penduduknya sekular) menyatakan: daging babi merupakan merupakan penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini di negara-negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis.

    Terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.

    Jeruk Makan Jeruk

    Sepertinya merupakan ungkapan yang sesuai saat manusia mengkonsumsi binatang yg memiliki sistem biologis yang mirip. Masih ingatkah kasus sapi gila? Kasus ini begitu terkenal sampai mengancam industri daging sapi di Amerika.

    Banyak negara yang melarang impor daging sapi dari Amerika, karena penyakit yang dikenal juga dengan Bovine spongiform encephalopathy (BSE)  ini bisa menyerang manusia. Penyakit ini menyebabkan kerusakan sistem syarat yang diikuti dengan munculnya berbagai penyakit neurodegenatif mematikan baik bagi sapi maupun manusia. Penyakit ini diketahui bermula dari sapi yang diberi makan protein sapi.  Industri sapi mencampurkan makanan sapi dengan jeroan, usus, tulang-belulang sapi yang dihancurkan.

    Sama seperti halnya dengan kasus ini, pada saat tubuh kita menerima asupan makanan yang bersumber dari babi, maka protein daging tersebut akan dirubah oleh sistem biologis kita sebagai ‘prion’, protein yang mengalami misfolding sehingga menyebabkan disfungsi protein (protein abnormal). Prion ini akan menginduksi protein-protein normal untuk menjadi prion juga lewat reaksi berantai.

    Terakumulasinya prion ini akan membentuk plak di dalam sistem syaraf pusat. Selain menyebabkan gangguan pada neuron, prion juga resisten terhadap enzim protease, UV, dan radiasi lainnya sehingga sulit sekali dihancurkan. Masa  inkubasi dari infeksi prion ini cukup panjang sampai 20 tahun, tetapi sekali gejalanya muncul maka penyakitnya akan segera berkembang mulai dari terjadinya kerusakan otak yang menimbulkan berbagai penyakit diantaranya penurunan kemampuan intelektual, alzeimer, stroke, sampai kematian. Maha Benar Allah atas segala frman-Nya.(MINA).

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

    Oleh : Hesti Lina
    *Mahasiswa Institut Tekhnologi Bandung (ITB) Jurusan Bio Kimia Dan Universite Paris-Sud, Biologi Molecular Kedokteran

    Referensi:
    Merrifield CA, Lewis M, Claus SP, Beckonert OP, Dumas ME, Duncker S, Kochhar S, Rezzi S, Lindon JC, Bailey M, Holmes E, Nicholson JK. A metabolic system-wide characterisation of the pig: a model for human physiology. Mol Biosyst. 2011 Sep;7(9):2577-88. doi: 10.1039/c1mb05023k. Epub 2011 Jul 14., Ryan KJ, Ray CG, et al, ed. (2004). Sherris Medical Microbiology (4th ed.). McGraw Hill. pp. 624–8. ISBN 0-8385-8529-9

    Sumber : Miraj News Agency

  • Kamis, 21 November 2013

  • I’tiba Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam

    Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Aku tinggalkan dua perkara yang apabila kalian berpegang teguh pada keduanya maka tidak akan sesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan terpisah sampai keduanya mendatangiku di Telaga (syurga).” (HR. Al Hakim dan Baihaqi).

    Ittiba’ adalah mengikuti satu pendapat dari seorang ulama dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memberikan penjelasan yang menukil dari perkataan Abu Dawud : “Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan : Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum” [lihat I’lamul-Muwaqqi’in 2/139].

    Bagi seorang Muslim, mengikuti sunnah Rasulullah adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, untuk mengamalkan ajaran Islam yang benar lagi sempurna harus sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam serta para sahabat.

    Dasar-dasar ibadah yang telah ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah kewajiban yang harus ditaati oleh setiap muslim, seperti dalam firmanNya,
    وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
    "Dan apa yang Rasul berikan untuk mu, maka terimalah ia, dan apa yang ia larang bagimu, maka juhilah." (Qs. Al-Hasyr [59]: 7).

    Perilaku, perkataan dan takrir Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam disebut sunnah. Dalam Islam, sunnah Nabi adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Bahkan prilaku Rasulullah ini diakui oleh para sarjana Barat, merupakan gambaran kesempurnaan seorang manusia. Dan tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang diikuti perilakunya oleh berjuta-juta orang hingga detik ini kecuali Muhammad Rasulullah. Karena akhlak beliau merupakan akhlak yang paling sempurna. Allah menegaskan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam: 4).

    Allah nyatakan di ayat lain, "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu." (Qs. Al Ahzab : 21). "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (Qs. Al Anbiya': 107).

    Umat Islam sepakat, untuk memahami Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia, harus merujuk kepada sunnah Rasulullah.

    Karena, Al-Qur'an diturunkan disamping yang detail, memuat prinsip-prinsip hidup dan hukum Islam yang masih global, sedangkan sunnah Rasulullah mengajarkan petunjuk pelaksanaan dan rinciannya. Jadi, sunnah sangat diperlukan seorang muslim untuk mengamalkan Islam secara baik dan benar. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur'an, "Siapa yang taat kepada Rasul, maka ia taat kepada Allah." (Qs. Al-Nisaa : 80).

    Karena itu, bagi orang beriman, mengikuti sunnah atau tidak bukanlah suatu “kebebasan memilih”. Sebab mengamalkan ajaran Islam sesuai garis yang telah ditentukan oleh Rasulullah adalah kewajiban yang harus ditaati.

    Rasulullah Sebagai Uswah

    Hidup akan terasa indah dan bermakna jika mengikuti apa-apa yang diajarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setiap aktifitas yang diarahkan kepada Allah tidak akan menjauhkan dari hubungan hidup denganNya, bahkan membuat si hamba semakin disukai dan diridhaiNya. Tidak ada karunia dan kenikmatan yang lebih besar daripada ketentraman dan keserasian hidup. Sebab itu, awali segala aktifitas keseharian kita dengan arahan Allah, serta bimbingan Rasulullah.

    Kasih sayang yang dimiliki Rasulullah harus diserap oleh setiap muslim dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kecintaan kepada sesama dan semua makhluk Allah dapat terpelihara. Pengabdian hidup Nabi untuk kejayaan Islam, kita amalkan. Pengorbanannya untuk kedamaian umat manusia, kita jaga. Kesederhanaannya dalam hidup sehari-hari, kita ikuti. Dan keikhlasannya dalam beramal, kita praktekkan. Maka, dengan mengikuti prilaku dan akhlak Nabi yang mulia kita akan menjadi orang mulia, baik dalam pandangan Allah maupun di mata manusia.

    Mengikuti sunnah Nabi berarti mentaati Allah dan RasulNya. Enggan mengikuti sunnahnya, berarti menolak untuk masuk syurga. Hal ini seperti dalam sabda Rasululullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Siapa yang mentaatiku pasti dia masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.” (HR. Bukhari dan Ahmad).

    Mari Berjamaah!

    Begitu banyak sunnah yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam kehidupan ini. Salah satu dari sunnah Rasulullah yang sangat penting dan wajib diikuti serta diamalkan oleh kaum muslimin adalah menetapi kembali kehidupan berjama’ah di bawah pimpinan seorang Khalifah/imaamul muslimin.

    Sistem khilafah adalah contoh ideal dalam menata kehidupan muslimin dimana dan kapanpun. Ketiadaan sistem yang agung ini, akan menyebabkan umat Islam terombang-ambing dan tercabik-cabik oleh fitnah yang disebarluaskan musuh-musuh Islam.

    Tak bisa dipungkiri, runtuhnya khilafah Islamiyah menjadi penyebab utama lemahnya kesatuan umat Islam hari ini. Hilangnya kesadaran kaum Muslimin untuk kembali pada khithah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bila dibiarkan akan menjadi bencana yang besar. Padahal hidup berjama’ah merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana di tegaskan, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu mejadilah kamu dengan ni’mat Allah itu orang-orang yang bersaudara….” (Qs. Ali Imran : 103).

    Takhtim

    Muslimin akan kembali jaya bila bersungguh-sungguh dan istiqomah mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam setiap aspek kehidupan. Hanya dengan mengikuti sunnah Rasulullah, hidup seorang muslim menjadi mulia.

    Sementara, siapapun dari umat Islam yang menghindar dari sunnah yang telah digariskan oleh Allah dan RasulNya, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan jauh dari keberkahan.

    Mengikuti sunnah merupakan jalan terbaik untuk keluar dari berbagai permasalahan dunia yang melanda umat Islam saat ini. Ketika terjadi perselisihan, maka wajib bagi seorang muslim untuk  kembali kepada Allah dan RasulNya. Hal ini dinyatakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An Nisaa : 59).

    Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan (manusia) untuk mentaatiNya dan mentaati RasulNya, Allah mengulangi kalimat ‘Wa’atiiur Rasuula’ sebagai pemberitahuan bahwa taat kepada Rasul hukumnya wajib, tanpa pamrih dan tanpa membandingkan lagi dengan Kitabullah. Bahkan perintah beliau wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam Al Qur’an maupun tidak, “Karena beliau telah diberi kitab dan yang seperti itu bersamanya.” (I’lamul Muwaqqi’iin (II/89).

    Para ulama telah sepakat bahwa kembali kepada Allah berarti kembali kepada KitabNya (Al Qur’an) dan kembali kepada Rasul ketika beliau masih hidup, dan setelah beliau wafat kembali kepada Sunnahnya, yang demikian termasuk dari syarat-syarat keimanan.”

    Pertanyaannya, sudahkah kita menjadikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai suri teladan yang sebenar-benarnya sehingga kita ittiba’ kepadanya?

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

    Oleh: Bahron Anshori
    (Redaktur mirajnews.com)

  • Rabu, 13 November 2013

  • Mu’jizat Al-Qur’an Untuk Kejayaan Muslimin

    Al-Qur’an adalah firman Allah subhanahu wa Ta’ala yang diturunkan melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam yang apabila membacanya maka akan memperoleh pahala bagi si pembaca.

    Diantara fungsi Allah menurunkan Al Qur’an adalah sebagai mu’jizat. secara terminologi berasal dari kata al-i'jaz dari 'ajaza yang artinya melemahkan atau mengalahkan. Siapa yang dikalahkan tentu saja musuh-musuh Islam.

    Banyak sejarah yang menguatkan dan membuktikan bahwa mu’jizat yang Allah turunkan kepada setiap Nabi yang diutus menggentarkan musuh-musuh Islam.

    Mu’jizat Turun dengan Trend Zamannya

    Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah Bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara para nabi kecuali mereka diberi sejumlah mukjizat yang di antaranya manusia beriman kepadanya dan mukjizat yang aku terima adalah wahyu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

    Misalnya pada zaman Musa, trend yang sedang terjadi adalah ilmu sihir maka dengan mukjizat tongkat Musa bisa berubah menjadi ular dan mengalahkan ilmu sihir orang lain yang ada di sekitarnya.

    Pada zaman Isa, trend yang sedang berkembang adalah ilmu kedokteran dan pengobatan, maka pada saat itu mukjizat Isa adalah bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal yang merupakan puncak dari ilmu pengobatan.
    Zaman Daud memiliki suara merdu sehingga makhluk lain pun ikut bertasbih bersamanya, sanggup berbicara dengan burung, dan berhasil mengalahkan Jalut seorang prajurit raksasa dari negeri Filistin, sanggup melunakkan besi dengan tangan kosong.

    Demikian juga pada zaman Muhammad, trend yang sedang berkembang adalah ilmu sastra. Maka disaat itulah dirunkanAl-Qur'an sebagai mukjizat Muhammad. Nabi yang pada saat itu tidak bisa membaca dan menulis tapi bisa menunjukkan Al-Qur’an yang diyakini oleh umat Muslim, memiliki nilai sastra tinggi, tidak hanya dari cara pemilihan kata-kata tapi juga kedalaman makna yang terkandung di dalamnya sehingga Al-Quran dapat terus digunakan sebagai rujukan hukum yang tertinggi sejak zaman masa hidup nabi sampai nanti di akhir zaman.

    Al-Qur’an Menggentarkan Musuh Islam

    Al-Qur’an sebagai kitab terakhir yang menjadi pedoman umat Islam senantiasa dijaga oleh Allah atas otentiknya dan tidak ada seorangpun yang pernah berhasil membuat yang serupa atau menandinginya. Allah Subahana Wa Ta’ala menantang orang-orang kafir yang ragu terhadap kebenaran Al-Quran untuk membuat surat sepadan dengan Al Quran dari segi keindahan bahasa dan kebenaran isinya.

    Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (Al-Hijr : 9).

    Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS:Al-Isra/17:88).

    Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir (QS. Al Baqarah: 23-24).

    ‘Umar bin Khattab r.a, sahabat sekaligus khalifah kedua, sebelum masuk Islam, ia dikenal sebagai sosok yang jago gulat dan gemar mabuk-mabukan. Seluruh penduduk Makkah merasa takut kepadanya.‘Umar memeluk islam setelah mendengar surat Thoha yang dibacakan saudara(adik) perempuannya. Ia sangat keras dalam membela agama Allah. Ia menjadi salah satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan kaum Quraisy terhadap diri Nabi s.a.w dan sahabat.

    Mariyah, seorang wanita yang saat itu masih musyrik menyaksikan kemuliaan pribadi seorang Khubaib bin ‘Adi yang ditawan di rumahnya. Selama dalam tawanan Khubaib biasa menunaikan tahajjud dengan membaca surah-surah Al-Qur’an. Bila para wanita mendengar bacaannya, mereka menangis dan luluh hatinya.

    Singkat cerita setelah kematian Khubaib, Mariyah masuk Islam. Begitulah mu’jizat al-Qur’an yang memiliki keindahan dalam setiap kata-katanya hingga mampu meluluhkan hati orang-orang yang mulanya menentang kemudian sangat memuliakannya.

    Testimoni Non Muslim Terhadap Al-Qur’an

    Seorang Guru Besar berkebangsaan Perancis, Juthie menyatakan, “Sesungguhnya ajaran Al-Qur’an itu praktis dan sesuai dengan berbagai kebutuhan pemikiran”.

    Maurice Bucaille (19 Juli 1920-1998), ahli bedah Prancis berkata, "Saya menyelidiki keserasian teks Alquran dengan sains modern secara objektif dan tanpa prasangka. Mula-mula, saya mengerti, dengan membaca terjemahan, bahwa Alquran menyebutkan bermacam-macam fenomena alamiah, tetapi dengan membaca terjemahan itu saya hanya memperoleh pengetahuan yang  samar (ringkas). Dengan membaca teks Arab secara teliti sekali saya dapat mengadakan inventarisasi yang membuktikan bahwa Alquran tidak mengandung sesuatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi pandangan ilmiah di zaman modern ini."

    Henry de Castri berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an mampu menundukkan akal pikiran dan memikat hati nurani. ia diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti atas kebenaran risalahnya”.

    Pator Loizon berkata, “Muhammad mewariskan kepada dunia sebuah kitab yang sangat fasih dan mengandung berbagai budi luhur. Ia adalah kitab yang kudus. Tidak terdapat satu masalahpun yang bertentangan dengan penemuan ilmiah modern baru-baru ini. Dan ternyata keserasian antara ajaran Al-Qur’an dan hukum alam intim sekali.”

    Dilema dan Solusi

    Musush Islam telah mengetahui rahasia bahwa Al Qur’an akan membawa pengikutnya kepada kemenangan dan kejayaan di belahan dunia, membuat musuh Islam tidak senang dan meresa terusik. Mereka telah mengetahui dengan berbagai cara yang ditempuh selama ini gagal, karena Islam memiliki panduan yang sempurna yang apabila dia mengikutinya maka akan selamat. Karenanya mereka melakukan cara dengan berbagai tipu muslihat, termasuk berpura-pura masuk Islam mengganti identitasnya untuk mengetahui, mempelajari dan memahami Al-Qur’an.

    Ironisnya, mereka mengetahui dan meyakini Al-Qur’an sebagai sumber kejayaan, kemenangan, kebahagiaan dan lain sebagainya melebihi Muslim itu sendiri. Mereka belajar dari pengalaman, senjata bukan menjadi kekuatan.

    Dengan berbagai cara yang mencoba dengan sembunyi-sembunyi dan perlahan tapi pasti melalui pemikiran, adat-budaya, mencampurkan hak dengan yang bathil, dengan senjata yang dikenal dengan 3F (Fashion, Food, dan Fun).

    Serbuan propaganda ideologi dan budaya musuh-musuh Islam terutama dari Barat merasa rendah diri dan tergoda untuk meninggalkan sumber kekuatan utamanya yaitu Al-Qur’an. Mereka lebih bangga mengambil referensi dari dunia Barat sebagai pedoman hidup dan berprilaku. Terpesona dengan glamournya kemajuan ilmu dan tekhnologi membuat mereka malu untuk mempelajari Al-Qur’an dari kajian-kajian ilmiah.

    Sudah semestinya, kita sadar dan bangkit untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah agar keluar dari fitnah dan keterpurukan untuk menggapai kejayaan kejayaan Islam. Karena itu mempelajari Al-Qur’an menjadi kewajiban kita sebagai seorang Muslim, sebab Al-Qur’an adalah kunci keunggulan peradaban Islam. Dia yang akan membimbing kaum Muslimin menata kehidupan mereka dengan mengikuti cara yang diridhai oleh Allah Subahana Wa Ta’ala dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam.

    (Al-Qur’an dan syariat) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk, dan rahmat bagi kaum yang meyakini.(QS. Aljastiyah: 20).

    “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan Kitab ini (Al-Qur’an) dan (juga) menghinakan dengannya kaum yang lain” [HR. Muslim dan Ibnu Majah].

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

    Oleh: Nur Rahmi
    *Wartawan Mi'raj News Agency (MINA)

  • Kamis, 07 November 2013

  • Mensyukuri Nikmat Allah Suhanahu Wa Ta'ala

    Salah satu sifat Allah Subhanahu Wa Ta'ala adalah Ar-Razzaq (Pemberi Rizki), Kata Ar-Razzaq diambil dari kata Razaqa atau Rizq yang artinya rezeki. Dalam surat az-Zariyat ayat 58, Allah mensifati diri-Nya “Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”

    Ar-Razzaq adalah Allah yang berulang-ulang dan banyak sekali memberi rezeki kepada mahluk-Nya. Rezeki adalah segala pemberian Allah yang dapat dimanfaatkan.

    Setiap makhluk telah dijamin rezekinya oleh Allah SWT. Tetapi bukan berarti Allah memberikannya begitu saja. Manusia harus berusaha. Misalnya agar kebutuhannya terpenuhi, maka manusia harus bekerja. Allah menyiapkan sarana dan manusia diperintahkan mengolahnya. Seperti firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 15 : “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”

    Karena itu Allah Ta’ala mengisyaratkan bahwa jaminan itu untuk semua yang bergerak. Sesuai firman Allah dalam surat Hud : 6, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,...”

    Tidak dipungkiri, kebanyakan manusia menyangka bahwa kebahagiaan, keberhasilan serta keuntungan diukur dengan melimpahnya harta benda semata. Untung rugi pun hanya disandarkan dan ditentukan padanya. Maka, dunia merupakan tujuan tertinggi dan segalanya bagi mereka (ultimate goal). Tidak heran, pandangan inipun mendorongnya untuk melakukan manipulasi, korupsi dan saling menjatuhkan orang lain karena iri.

    Padahal dunia dibanding kehidupan akhirat sangatlah sedikit. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam menyatakan, “Tiadalah perbandingan dunia ini dengan akhirat, kecuali seperti seorang yang memasukkan jarinya ke dalam lautan luas maka perhatikanlah yang tersisa.” (HR. Muslim).

    Karena itu, sebagai tanda syukur kepada Ar-Razzak, barengi kekayaan dunia dengan kekayaan akhirat, niscaya kebahagiaan hakiki akan diperoleh.

    Kunci Keberkahan Harta
    Harta kekayaan seseorang akan berkah jika pemiliknya melakukan amalan-amalan sesuai dengan tuntunan Islam. Pertama, syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya. (QS Ibrahim [14]: 7). Kedua, silaturahim. Amalan ini merupakan upaya menyambung tali persaudaraan sesama manusia, merajut dan memperkuat ukhuwah Islamiyah. Praktik ini dapat melapangkan rezeki dari Allah.

    Ketiga, menafkahkannya di jalan Allah. Berkembangnya harta dipengaruhi juga oleh faktor di mana ia dibelanjakan. (QS al-Baqarah : 261). Keempat, senantiasa melakukan kebaikan. Segala kebaikan akan kembali kepada pelakunya. Kebaikan itu akan membuahkan keberkahan dan kebahagiaan. Dalam al-Qur’an, dijelaskan, ''Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu….'' (QS al-Isra' [17]: 7).

    Kelima, berzakat dan bersedekah. Zakat dan sedekah akan membersihkan harta seseorang karena di dalamnya terdapat hak orang lain (QS at-Taubah : 103).(an/file) Wallahu A’lam

  • Pelajaran dari Hijrah Rasulullah SAW.

    Hijrah bukan sekedar berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi dikemudian hari terbukti hijrah memiliki nilai stregis yang menandai berakhirnya masa pra Islam atau Jahiliyah. Hijrah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam beserta umatnnya pada saat itu juga merupakan titik balik bagi kemenangan muslimin dan sekaligus babak baru dalam sejarah Islam.

    Perpindahan Nabi dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah saat itu banyak menyisakan hikmah yang tersembunyi. Selain sebagai upaya menyambung dan mempersatukan antara fase Mekah dan fase Madinah yang sifat da’wahnya berawal dari aspek teoritis idiologis menjadi praktik aplikatif, Hijrah juga mengambarkan pola perjuangan Rasulullah dalam membangun kemasyarakatan Islam yang sesuai dengan aturan Allah.

    Berikut stategi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika sampai di Madinah yang beliau lakukan dalam penataan dan pembangunan masyarakat Islam, antara lain;

    1. Membangun Masjid
    Bukan istana kerajaan, bukan pula benteng pertahanan militer yang beliau bangun, melainkan yang beliau bangun adalah masjid. Hal ini mengidentifikasikan bahwa misi kerasulan Nabi Muhammad saw., adalah misi kenabian bukan misi militerisme yang akan menjadi ancaman bagi non muslim dan bukan pula misi tahta kerajaan yang menjadi target perjuangannya. Beliau di utus tidak lain untuk menyampaikan wahyu Illahi agar manusia sujud dan beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan segala sesuatu pun dan menyempurnakan akhlaq manusia dengan akhlaqul karimah, menebarkan kasih sayang dan persaudaraan yang di bangun dalam satu sistem Jama’ah dan Imaamah sebuah komunitas atau masyarakat robbaniyah yang terbukti;

    • Beliau membawa dan menyampaikan agama yang bersumber dari Allah Rabbul’Alamin bukan ideology, bukan pula hasil renungan dan gagasan pemikiran beliau.
    • Bahwa masyarakat yang dibangun bukan masyarakat theokrasi, bukan pula demokrasi atau monarchi, tetapi masyarakat yang “theocentrisme humanisme” yaitu masyarakat yang dibangun diatas pondasi aqidah Laa Ilaha Illallah yang bersifat jama’i, sebuah komunitas muslim beroreintasi pada pengabdian kepada Allah (Ta’abud Ilallah), bersifat Al Insaniyah Al-Alamiyah (kemanusiaan yang universal)/Rahmatan Lil’alamin, tidak bersifat lokal, kedaerahan dan ashobiyah (kesukuan atau kebangsaan) tetapi untuk seluruh umat manusia, “asy-syumuliyah wat takamuliyah” lengkap dan mencakup seluruh aspek kehidupan).

    Bukan pula sebuah gagasan pemikiran yang dituangkan dalam rumusan ideology politik, ekonomi, sosial dan budaya. Islam adalah wahyu ilaahi yang diturunkan sebagai hudan dan jalan hidup yang lengkap dan meliputi berbagai aspek (baca QS. Al-Maidah: 3) juga QS. Al-An’am115-116 yang artinya; “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.

    2. Membangun Ukhuwah Islamiyah
    Langkah selanjutnya Rasulullah membangun Ukhuwah Islamiyah, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, kaum Aus dan Hajrat yang sudah ratusan tahun mereka berseteru saling berperang, mensejajarkan antara tuan dan budak yang selama ini dianggap tabu. Hal ini mengisyaratkan bahwa Islam ditegakkan atas dasar aqidah dan ukhuwah, kaljasadil wahid (satu tubuh) bukan dilatar belakangi oleh kepentingan pribadi, golongan, ekonomi maupun kepentingan politik kekuasaan.

    3. Tegakknya Shalat Al Maktubah Bil Jama’ah
    Sesudah hijrah di Madinah maka pelaksanaan salat lima waktu disempurnakan dan ditetapkan oleh Rasulullah saw dengan berjama’ah di masjid yang sangat ditekankan (sunah mu’akadah), selain ibadah mahdhoh, di sisi lain shalat berjama’ah adalah gambaran hidup atau miniatur bentuk kemasyarakatan Islam di luar masjid. Di dalam shalat berjama’ah disyaratkan adanya imam dan ma’mum, ini artinya bahwa muslimin adalah bukan umat individu-individu yang anarchis, tetapi dia adalah yang satu, selalu hidup terpimpin dan terorganisasi sebagai umat jama’ah dan imaamah yang terpimpin menurut kepemimpinan Allah dan RasulNya. Umat yang dinamika dan orientasinya hanya berpihak kepada Allah atau Hizbullah.

    Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah: 55-56)

    Ibrah yang bisa kita petik dari shalat berjamaah diantaranya:

    A. Imam menghadap ma’mum dan memberi aba-aba “sawwu shufufakum, tarasu wa’tadlu”, lurus rapat dan luruskan shaf. Hal ini mengandung arti dalam kehidupan muslimin diluar masjid harus senantiasa berada pada satu barisan yang lurus dan rapat dalam persaudaraan, saling bahu membahu, solid dan kompak dalam membangun peradaban manju dan santun. Demikian pula seorang imam/pemimpin sebelum mengambil keputusan harus melihat keadaan dan kemampuan umat yang dipimpinnya.

    Rasulullah juga pernah bersabda mengingatkan imam sholat agar meringankan bacaan sholatnya. Artinya kepemimpinna umat ini hendaknya berorientasi pada kepentingan, kesejahteraan dan keselamatan umat yang dipimpinnya sebagai ciri khas kepemimpinan Islam yang mengikuti jejak kenabian atau disebut Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah.

    B. Wa Idza Kabbara Fakabbiru (apabila imam bertakbir maka bertakbirlah). Gerakan dalam sholat menghendaki imam dan makmum seirama, tertib dan disiplin. Ini juga mengambarkan bagaimana semestinya umat Islam bersikap dan berprilaku. Umat senantiasa mentha’ati pemimpinnya ketika ia diamanati, dengan catatan perintahnnya tidak berlawanan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, serta selama seorang imam masih menta’ati Allah dan RasulNya.

    Ketertiban ini pula yang menjadi gambaran bagaimana mestinya umat Islam dalam bermasyarakat harus terpimpin, kompak dan bersatu dalam kesatuan yang sholid. Satu Jama’ah dan Imaamah.

    4. Mengadakan Perjanjian dengan Non Muslim

    Ini juga berarti bahwa Rasulullah saw telah memberi landasan berpijak bahwa umat Islam bisa hidup berdampingan dan bisa bekerjasama dengan siapapun sepanjang dilakukan demi kemaslahatandan bukan untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimanan fitman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah: 7-9;

    “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

    “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

    “Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

    5. Sentral Dakwah Dan Penyiaran Islam

    Dari Madinatul Munawarah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengirim mujahid-mujahid dakwah ke segala pelosok negeri untuk mengajak manusia beriman dengan bijak dan pengajaran yang mulia. Disini pula Rasululla menerima kabilah-kabilah yang ingin berdialog dan mendalami masalah Islam. Sehingga Madinah menjadi sentral kegiatan dunia baru Islam, cahaya menerangi kegelapan jahiliyah lama maupun jahiliyah modern, sinarnya menembus segala penjuru dunia hingga saat ini.

    TAKHTIM

    Peristiwa hijrah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memberilakan landasan tempat berpijak dan contoh teladan terbaik. System dan pola juang dalam membangun serta menata umat dalam Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah yakni pola kepemimpinan yang mengikuti jejak kenabian yang bersifat universal dan rahmatan lil alamin, bukan dilandasi pada pola ideologi pemikiran maupun filsafat barat maupun timur yang biasa bertumpu pada nafsu dan kepentingan. 

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

    Disarikan dari buku “APLIKASI NILAI HIJRAH, DALAM PENATAAN UMMAT” 

  • Jumat, 01 November 2013

  • Ummat Pilihan

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imaran : 110)

    Imam Ahmad meriwayatkan dari Durrah binti Abu Lahab, ia berkata, “Seseorang  berdiri dan menuju Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam ketika beliau sedang berada di atas mimbar, lalu bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?

    Beliau bersabda, “Manusia yang paling baik ialah yang paling bertaqwa, paling giat menyuruh kepada yang ma`ruf, paling gencar melarang kemunkaran, dan paling rajin bersilaturahim.”

    Menurut Imam Qurthubi dan Imam Ibnu Katsir, predikat tersebut sama dengan predikat “ummatan wasathan” yang Allah sebut dalam firman-Nya:

    Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah 143)
    Dari ayat dan hadist di atas sangatlah jelas bagi kita bahwa kunci menjadi umat terbaik adalah menyeru kepada kebaikan, mencegah kemunkaran, dan memperkuat ikatan persaudaraan sesama Muslim, yang semua itu dilakukan atas dasar keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga dengan amalan inilah Islam telah mengeluarkan umat ini dari penyembahan kepada hamba sahaya menuju penyembahan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang satu. Mengeluarkan manusia dari kedzaliman berbagai agama kepada keadilan Islam. Membebaskan manusia dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat.

    Siapa Umat Terbaik?

    Menyeru kepada kebaikan adalah amalan yang sangat penting bagi setiap muslim karena itu adalah amalan pembeda antara seorang mu'min dengan orang munafik, sebagaimana Imam Qurtubi mengatakan:

    “Maka Allah jadikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai pembeda antara orang-orang yang beriman dan orang-orang yang munafik, hal itu menunjukkan bahwa sifat yang paling khusus bagi seorang mu’min adalah amar ma’ruf nahi munkar dan puncaknya adalah mengajak kepada Islam dan berjihad demi menegakkannya”.

    Inilah amalan yang Allah berikan pahala besar bagi orang yang melakukannya, sehingga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam, bersabda:

    Wahai Ali, sesungguhnya Allah Subhana Wa Ta’ala menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan isinya). (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

    Inilah kunci yang harus kita miliki untuk menjadi umat terbaik di muka bumi atau untuk mengembalikan kebaikan-kebaikan atau kejayaan yang telah diraih oleh generasi pendahulu kita yang telah menerangi dunia dengan sinar keimanan dan keadilan selama 14 abad yang silam, sehingga menjadi rahmat bagi seluruh alam.

    Berkaitan dengan kondisi umat yang terpuruk sekarang ini, ada yang bertanya apakah predikat tersebut hanya untuk kaum muslimin terdahulu, yakni di masa shahabat, ataukah berlaku hingga hari kiamat?

    Menurut Ibnu Abbas r.a., sebagaimana dikutip Imam Al-Qurthubi, kelompok orang yang berpredikat umat terbaik yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah, yang ikut dalam perang Badar, dan ikut dalam perjanjian Hudaibiyah. Namun, Umar bin Khaththab mengatakan bahwa siapa saja yang beramal seperti mereka, maka akan sama kedudukannya seperti mereka yang diikuti.

    Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf Juz I/392 menyebut dikatakan bahwa dalam ilmu Allah kalian adalah umat terbaik. Juga, kata beliau, bisa diartikan bahwa kalian disebut-sebut di kalangan umat-umat terdahulu sebagai khairu ummah. Tidak perlu dipertentangkan apakah yang terbaik di antara umat Islam ini, yang awal ataukah yang akhir, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya mengutip sebuah riwayat hadits bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam bersabda:

    Umatku bagaikan hujan, tak diketahui, yang lebih baik itu yang pertama ataukah yang terakhir” (HR. Abu Dawud At Thayalisi dan Abu Isa At Tirmidy).

    Lafazh  ukhrijat linnas merupakan sifat dari khairu ummah, yang artinya ditampilkan atau dimenangkan atas manusia. Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin bukan dibangkitkan untuk umat Islam semata, melainkan untuk seluruh umat manusia. Sebagaimana Rasulullah saw diutus untuk seluruh umat manusia, kaum muslimin pun mengikuti perjuangan beliau saw, yakni mengemban risalah Islam ke seluruh umat manusia.

    Menyambung Silaturrahim

    Sedangkan, kunci selanjutnya untuk menjadi Ummat yang terbaik adalah senantiasa menyambung silaturahim untuk menjaga Ukhwah Islamiah diantara sesama, sebagaaimana Rasulullah bersabda:

    "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum?" tanya Rasul pada para sahabat. "Tentu saja," jawab mereka. Beliau kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturahmi" (HR. Bukhari Muslim).

    Silaturahim adalah sarana utama dalam memperkuat ukhwah Islamiah, sehingga kenapa ummat Islam di ibaratkan laksana bangunan yang kokoh atau ibarat satu tubuh? Karena dengan seperti inilah akan munculnya rasa saling menghormati, mengasihi, empati dan saling menolong, sehingga dengannya akan melahirkan keuatan ummat yang super dahsyat yang tidak bisa dihancurkan oleh kekuatan senjata sekalipun.

    Sekarang telah jelas bahwa mengapa kaum muslimin disebut Allah Subhana Wa Ta’ala sebagai khoarul ummah (umat terbaik) dan  wasatlan ummatan (umat yang adil dan pilihan), yakni lantaran umat ini beriman kepada Allah SWT yang telah menurunkan syariat Islam yang paripurna (QS. Al-Maidah: 3) kepada rasul-Nya Muhammad saw, serta senantiasa menegakkan pelaksanaan syariat Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) dengan aktivitas ”amar ma’ruf nahi munkar”.

    Jika umat ini masih memiliki unsur-unsur kebaikan umat tersebut, maka predikat terbaik dan pilihan tersebut tentu masih lekat pada umat selanjutnya. Sebaliknya jika sifat itu hilang, layaklah predikat itu tak tersandang lagi.

    Wallahu A’lam bis Shawwab.

    H. Andri Lupias Satedy, Lc, MA.
    *Alumni International University of Africa-Khartoum Sudan

  • Copyright @ 2013 Buletin Jum'at Ar-Risalah.

    Designed by Templateism